Halaman

Senin, 31 Desember 2007

BENCANA........................LAGI

Bencana! Banjir, tanah longsor, kembali menerjang tanah air tercinta. Televisi dan media lain "heboh" memberitakan hal ini. Dan tentu saja kejadian yang dramatis akan menempati prioritas utama. Entahlah mengapa pemberitaan sekarang senang sekali mengedepankan kisah dramatis seperti seorang ibu yang pingsan karena tidak makan dan kedinginan, balita yang meninggal karena terjatuh, dsb.

Milist-milist pun tidak ketinggalan ramai membicarakan dan menggalang dana. Yayasan, LSM, semua heboh. Hebat empati mereka?

Kalau saya justru prihatin dengan keadaan ini. Ya, mereka berempati pada korban bencana. Sementara, mereka sendiri sedang "menyiapkan bencana" yang jauuh lebih besar dan hebat di muka bumi ini sekian puluh tahun mendatang.

Dewii, jangan menuduh gitu donk!!!

He he he, maaf deh. Mungkin saya juga punya andil untuk itu. Ya, mungkin kita semua sedang merencanakan "bencana" yang sangat besar jika kita tidak waspada dari sekarang. Bencana itu akan terjadi jika kita tidak segera membenahi diri kita, menyiapkan anak-anak kita untuk menyongsong era mereka nanti.

Bayangkan bagaimana orangtua sekarang sibuk mencari eksistensi mereka sendiri, anak-anak diserahkan pengasuhannya ke pembantu, baby sitter, sopir. Anak-anak dijejali dengan les ini itu, sekolah unggulan, fasilitas materi berlimpah. Kita lupa, anak-anak perlu "kasih sayang", "perhatian", "bimbingan" contoh, arahan, bekal budi pekerti, perilaku, attitude, akhlaq.

Ya, akhlaq!!

"Lho anak saya sudah ngaji tiap sore! Hafalan Al Qur'an juga sudah banyak."
"Iya, anak saya ke gereja tiap minggu!"

He he he sekali lagi maaf, memang mungkin masih sulit menerima pendapat saya yang saat ini "aneh". Kalau kita sadar, anak-anak sekarang kehilangan makna sebuah keluarga. Mereka kelihatannya sangat aman, sangat terurus, padahal TIDAK. Ya, bahkan ngaji tiap hari, ke gereja tiap minggu, seringkali hanya karena orangtuanya ingin lepas tanggung jawab. Mereka ingin dianggap agamis, tetapi tidak membimbing dan memberi contoh sendiri untuk anaknya. Jadi, agamapun hanya dilihat secara materialistis. Bangga anaknya pinter ngaji meski penerapannya tidak ada. Bangga anaknya rajin ke gereja meski kelakuannya minus mereka nggak peduli.

Ya, orangtua sibuk bekerja dengan dalih untuk anak, tetapi sebenarnya untuk diri mereka sendiri. Apa betul anak memerlukan ganti mobil baru tahun depan atau kebersamaan meski dengan mobil butut? Apa betul anak membutuhkan apartemen, apa betul anak perlu mainan mahal, baju mahal, liburan mahal, jajan ke restoran mahal, atau rumah sederhana namun hangat dan penuh canda tawa? Apa betul anak perlu pembantu banyak, baby sitter seorang satu, atau bersama menyelesaikan keperluan rumah? Apa iya anak perlu orangtuanya memakai gelar berentet di depan maupun di belakang namanya, atau orangtua bijak yang selalu mencari solusi cerdas untuk membimbing mereka?

Coba kita introspeksi diri. Kita berbuat yang terbaik untuk mencegah "bencana" hebat yang akan terjadi jika kita tidak menyiapkan generasi mendatang dengan baik. I wish, kita juga "heboh" menanggapi persiapan penanggulangan "bencana" lebih dari menanggapi bencana banjir, tanah longsor, tsunami, dsb.

Setuju donk!!!!

Minggu, 30 Desember 2007

LIBUR SEKOLAH

Anak-anak libur sekolah, kami di rumah saja menikmati kebersamaan. Lagipula, nggak mungkin kami ninggal papanya yang tidak cuti. Ya, kami memang tidak biasa pergi liburan ninggalin papanya sendirian di rumah. Kasihan Ma, anak yatim.... ha.... ha.... ha.... begitu anak-anak bercanda.

Hari ini Mas Rafi minta nasi goreng ikan asin ala Mama, Mas Hafizh pengen membuat “roti cane” ala kami, Mas Farras hayo aja semua disikat. Mas Rafi dan Mas Farras jagain princess cantik, Mas Hafizh ngupas dan nguleg bawang untuk bumbu, juga “nguleni” adonan roti.

“Maaa, ada mBak Ira dari Bee magazine.” Aku memang janji nemuin sales Bee. Ternyata yang ditawarkan kami sudah punya. Maklum, kami keluarga “pembaca”!

“Mas tahu nggak kalau Bee itu yang punya Om Sundoro temen Mama Papa?”
“Teman seangkatan Mama ya?”
“Iya. Hebat ya dia, usahanya OK lho! Teman Mama yang lain juga hebat lho. Ada yang sudah jadi pejabat. Nggak Cuma yang laki-laki, yang perempuan juga sudah pada sekolah ke Amerika dan sekarang sudah jadi pejabat di kantor. Hebat ya mereka?”
“Nggaaak, biasa aja. Hebatan juga Mama!”
????????????
“Apa hebatnya Mama kok Mas bilang lebih hebat dari mereka?”
“Lha Mama malah ngajari orang yang kuliah S3 di Amerika, teman Mama Cuma kuliah S2 kan? Mama nanti juga bakalan punya perusahaan dan sekolahan di Amerika dan negara lain di seluruh dunia. Trus, anak-anak Mama nanti juga sekolah atau ngajar di Amerika. Tinggal di mana aja negara di dunia semua perlu kami”
“Iya, betul Mas, Mama juga cantik, pinter, hebat! Kalau Mama masih ngantor, pasti Mama sudah jauh lebih dari mereka!”
"Iya, Mama kan nggak ngantor karena sayang sama kita, karena menurut Mama kita jauh lebih penting dari karir Mama, karena Mama mau yang terbaik yang ngurus kita.............yaitu MAMA! Iya kan Ma?"
“Mama nggak punya Bee tapi ngasih teman Mama yang punya Bee sama semua karyawannya uang. Kan Mama pembelinya.”

Begitu celoteh mereka bertiga yang membuatku “melambung”. Mereka memang paling bisa membuatku senang dan makin yakin akan keputusanku menjadi “pencetak generasi” dan meninggalkan karir di kantor.

“Nasi goreng sudah masak, Maa? Baunya sedap sekali. Aku jadi lapar nih!”
“Gimana, kurang apa nasi gorengnya?”
“Waah, enak sekali. Nggak kurang apa-apa. Boleh nambah nggak nanti?”
“Ya of course, Mama masak banyak kok.”

He he he, padahal aku kehabisan garam. Mau beli, di luar hujan, nyuruh anak nggak tega. Karena ada ikan teri yang memang asin, jadi lumayan tertolong.

“Maa, kalau nggak ada ikan asinnya nasi gorengnya kurang asin ya?” Rupanya anak sulungku sudah tahu rasa. O’ o’ saya ketahuan!
“Memang sih Mas, tapi tetep aja nilainya 99 dalam skala 100!” Si ganteng kecil rupanya tidak mau mengecilkan hatiku, mamanya tercinta. He he he senangnya punya anak baik.

Tapi, tetep mereka menghabiskan nasi goreng buatanku yang “mak nyuss” dengan gembira dan penuh pujian. Walah, memang bumbu yang paling sedap adalah besarnya cintaku yang selalu aku sertakan dalam setiap masakanku yang sebenarnya berbumbu “minimalis”. Dan, kebersamaan kami dalam memasak adalah poin tersendiri yang menambah lezatnya masakan kami. Ha ha ha memang sebelum menikah, aku bisa dibilang TIDAK PERNAH MASAK!

“Maaa, roti canenya sudah ya banting-bantingnya. Capek!”
Sudah dulu ya cerita liburannya, sulung saya nyerah. Berarti, seperti biasa saku mesti turun tangan. Bye now!!!

Maaf ya teman-teman, anak-anakku tidak bermaksud mengecilkan kehebatan kalian lho!!!

Sabtu, 29 Desember 2007

BERPENDAPAT.........LAGI!

Saat anak-anak mulai besar saya merasa tidak masalah jika saya menimba ilmu formal lagi. Ya....kan jadi ibu mesti pinter. Memang “belajar” itu dari buaian hingga liang lahat tidak pernah boleh putus. Belajar dari sekitar, pengalaman, buku, short course, kehidupan, dan formal. Nah, yang terakhir ini perlu dana yang lumayan besar dan waktu.

Dengan waktu kuliah hanya hari Sabtu Minggu, saya merasa tidak terlalu banyak mengambil waktu berharga saya dengan anak-anak. Lagipula, anak-anak bisa ikut mengantar saya kadang-kadang bersama papanya.

Waduh, ternyata teman saya anak-anak yang baru lulus dari universtias tersebut (ternama) dengan IP yang menurut saya spektakuler! Agak ngeper juga saya sebenarnya. Tapi karena saya kuliah memang untuk belajar, bukan mencari gelar seperti biasanya orang, ya fine fine aja.

Lho..........lho.............lho.............kok ternyata mereka nggak sehebat IP nya ya? Wa.......lhadalah, mereka malah pada marah sama saya karena menurut mereka, kehadiran saya membuat standart nilai (letter A, B, C) menjadi tinggi. Ya, karena nilai absolut (angka) saya 90 an, maka nilai saya menjadi A, nah..........nilai mereka menjadi turun grade! Jadi IP hebat mereka bukan karena nilai tinggi tetapi karena semua jelek, ya yang tertinggi jadi A. salah saya atau salah siapa ya??

Eit, tapi saya mau cerita tentang “berpendapat” ya? Sorry melantur!

Dalam perkuliahan, saya sering bertanya (namanya juga belajar, banyak yang nggak tahu!), dan “berpendapat”.

“Anda memakai referensi buku apa, pendapat siapa, untuk dasar menyampaikan pendapat ini? Setahu saya, belum pernah ada pendapat seperti itu.”
“Memang belum pernah ada karena ini pendapat saya, Bu.”
“Anda boleh membuat statement dan pendapat anda akan diakui jika anda sudah menyelesaikan S3 anda. Sekarang, jika anda mengemukakan pendapat haruslah mereferen ke pendapat orang lain yang memang sudah diakui pendapatnya. Atau buku yang sudah diterbitkan oleh penerbit yang cukup bisa diandalkan.”

Walah-walah...........saya sampai bengong! Enakan juga di rumah saya, biar anak saya masih kecil, kalau pendapatnya benar ya diakui. Eeee ibu dosen saya ini kok lain ya. Padahal kalau sama dosen yang dijuluki “killer” oleh teman-teman saya, pendapat saya cukup dihargai jika memang bagus. Malah kalau dia tidak setuju, saya masih bisa mempertahankan pendapat saya dan “berdebat” dengannya.

Ternyata “materialsme” dalam dunia akademis juga ada ya. Gelar akademis yang dimiliki seseorang menentukan apakah pendapat dihargai atau tidak. Jadi, penilaian bukan pada apa yang disampaikan tetapi pada siapa yang menyampaikan.

Ealaahh lha kata pepatah (maaf agak jorok) “Emas tetaplah emas meski keluar dari pantat ayam” itu artinya apa ya?

Jumat, 28 Desember 2007

LOE GUE

Saat anak-anakku sekolah di sekolah Dasar Islam terpadu, mereka bilang kalau dilarang bicara loe dan gue oleh guru-guru mereka (istilah mereka, NO LG!). Aku bingung mencari kata yang tepat untuk memberi penjelasan kepada mereka tanpa membuat mereka meremehkan gurunya yang menurutku salah.

Ya, menurutku salah! Karena loe dan gue (setahuku) adalah bahasa betawi yang berarti kamu dan saya dalam Bahasa Indonesia, anta dan ana dalam Bahasa Arab, you dan me dalam Bahasa Inggris, je dan tu dalam bahasa Perancis, dsb.

Lalu, mengapa dilarang? Apa karena harus berbahasa Indonesia yang baik dan benar?
Hmm.....tapi aku mendengar sendiri bahwa saat berbicara antar guru, banyak yang menggunakan kata ana dan anta/ente. Bukankah itu juga bukan Bahasa Indonesia yang baik dan benar? Lalu karena apa donk? Lha kok melarang anak-anak berbahasa Betawi tetapi guru-gurunya berbahasa Arab? Lho?? Apa karena bahasa Arab mereka pikir lebih bagus? Atau lebih Islami? Lha memang bahasa Betawi gak Islami? Apa yang serba Arab berarti lebih Islami? Siapa bilang? Hmm..... PR lagi deh.

“Sayang, sebenarnya menggunakan LOE dan GUE itu tidak apa-apa asal memakainya di saat dan tempat yang benar, jadi tidak melanggar norma kesopanan. Karena itu Bahasa Betawi, salah satu Bahasa daerah yang harus kita lestarikan. Sama seperti Bahasa Jawa, Sunda, Madura, Bugis, dll.”

“Trus kenapa guru melarang Ma, malah ada yang sampai kena sanksi lho.”

“O, mungkin memakainya aja yang tidak benar, jadi nggak sopan.”

Aku mencoba memberi pengarahan tanpa merendahkan atau menyalahkan guru-gurunya, karena aku tidak ingin menjatuhkan integritas mereka. Bagaimana mungkin anak-anak bisa belajar kepada orang yang tidak mempunyai integritas lagi di depan mereka? Tetapi aku juga tidak mau anak-anakku mendapatkan pemahaman yang salah. Ya....mereka (para guru), menurutku hanya tidak paham dan ikut2an saja. Hei.....guru bukan malaikat yang tidak punya salah. Mereka juga sangat mungkin kut-ikutan tanpa mengetahui mengapanya, filosofinya. Juga tidak menanyakan kenapa tidak boleh? Kenapa melarang?

Oohhh.......... aku sangat prihatin dengan pendidikan yang salah kaprah begini. Memang sering pemakaian LOE GUE terdengar tidak sopan. Tetapi itu mungkin hanya karena nada bicara atau logatnya saja. Namun, intinya tidak ada bahasa daerah yang “DILARANG” dalam agama Islam. Islam itu universal, jangankan bahasa daerah, bahasa manapun diterima dengan baik dalam Islam. Yang penting esensinya tidak meyalahi ajaran Islam.

So, jangan suka melebih-lebihkan sesuatu yang sebenarnya bukan masalah yang pening dan mengurangi yang justru penting!!! Apalagi dalam agama.

Kamis, 27 Desember 2007

MENDIDIK ANAK MELAKUKAN PEKERJAAN DI RUMAH

Seakan sudah menjadi trend di masyarakat kita untuk mempekerjakan pembantu rumah tangga di setiap rumah keluarga yang “merasa” cukup berada. Mereka tidak mendidik anak-anak mereka untuk bisa mandiri memenuhi kebutuhan sendiri seperti merapikan kamar, mencuci piring setelah makan, menyapu lantai, dsb.

Bahkan ada yang menganggap itu adalah “gengsi” tersendiri. Semakin “kaya” seseorang semakin banyak pembantu yang bekeja pada mereka. Dan, anak-anak mereka semakin “bodoh”. He he he jangan tersinggung dong! Maksudnya makin bergantung. Buktinya, saat lebaran, pembantu mudik dan keluarga itu harus cari pembantu pengganti harian yang mahal. Ada yang sampai “ngungsi” ke rumah keluarga atau bahkan.... ke hotel!

“Waaah, repot dong Bu, nggak ada yang bisa bantu Mamanya.”
“Waduh, pasti rame ya tiap hari “smack down”, orang 3 laki-laki semua. Apa Ibu nggak kewalahan kalau mereka berantem?”
“Bu, pembantu itu Cuma 250-300 ribu perak ini, masa sih nggak mampu?”
“Ssssttttttttttt Bu Dewi itu pelit ya, bayar pembantu aja nggak mau. Padahal kan dia kaya. Ke luar negeri aja bisa, haji bisa, umrah sekeluarga, masa bayar pembantu aja?”

Yaaah, begitulah. Mulai dari yang bertanya langsung sampai yang “ngrasani”, saya dengar kata-kata negatif tentang saya dan keluarga saya. Nggak papa! Mereka berhak memberi penilaian sesuai sudut pandang mereka.

Saya semakin tahu kalau saya memang berbeda. Anak laki-laki bersaudara tidak harus berantem apalagi pukul-pukulan, smack down, atau apalah namanya. Laki-laki atau perempuan tidak tergantung pada suka berantem atau tidak! Anak laki-laki tidak berarti tidak bisa membantu mamanya di rumah. Perempuan, juga harus bisa membela dirinya jika ada yang mengganggu. Dan, pembantu di rumah bukanlah suatu keharusan jika semua anggota keluarga melakukan sendiri keperluannya. That’s simple.

Saat saya tidak ada pembantu, saya melakukan semua pekerjaan rumah tangga dengan bernyanyi, kadang malah sedikit menari atau akrobatik ringan. Pokoknya semenarik mungkin. Kalau bisa lebih menarik dari iklan TV. Ha ha ha . Anak-anak pasti akan senang melihat saya dan “pengen” melakukan apa yang saya kerjakan (memang itu tujuan saya). Ya, saya ingin anak-anak membantu saya tanpa saya suruh.

“Maa, boleh ikutan ngepel nggak? Maa, aku aja yang nyapu ya? Maa aku aja yang cuci piring ya? Maa aku aja yang njemur baju ya? Masak yuk Ma, seperti kemaren!”

Permohonan penuh rayuan itu yang biasanya saya dengar dari jagoan-jagoan cilik saya. Saya tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Saya ajari mereka caranya, dan kamipun “rock ‘n roll” bersama. Ya, kami bekerja sambil bernyanyi, berjoget, bercanda, wah......pokoknya “heeeboh”. Gagang sapu, tongkat pel, bisa berubah jadi mike. Kain pel bisa berubah jadi papan seluncur. Sabun cuci pun menjadi gelembung-gelembung indah di udara.

Sampai-sampai Rafi yang saat itu masih umur 2 tahunpun ikut basah kuyup karena ngepel sambil bergulingan karena lantai licin. Yang penting saya mengawasi agar tidak bahaya. Dan sesudahnya kami bersihkan diri, minum susu hangat, makan, istirahat. Ya, mereka bertiga "tewas" dalam mimpi indah mereka. Senyum manis di bibir mereka karena "merasa sudah berharga" membantu mamanya. Itu sangat penting!

Hasilnya? Saat mereka masih kecil, memang tambah “hancur” alias berantakan. Tapi, ne pa de problema. Setelah mereka tidur, saya membersihkan lagi "hasil karya" mereka.
Bukan masalah bagi saya harus mengulang lagi nantinya dan pasti lebih capek. Ya, karena tujuan saya mendidik mereka sudah tercapai. Karena prinsip saya, merapikan “berantakan” rumah itu jauh lebih mudah dibanding jika saya harus merapikan “berantakan”nya attitude mereka setelah mereka lebih besar apalagi setelah dewasa. Membersihkan lantai yang kotor karena ulah mereka lebih mudah dibanding "membersihkan" kelakuan mereka yang salah arah, karena saya tidak mau repot saat mereka kecil.


Sekarang, tidak ada pembantu bukanlah masalah besar bagi kami. Kami “bekerja sama” sebagai tim dalam menyelesaikan semuanya. Saat hari raya Qurban pun kami bakar sate bersama di halaman. Mulai dari potong-potong daging, buat bumbu, dll sampai makan kami lakukan bersama. Dan, nggak berat lho!

“Waah, Maa, satenya mak nyus, empuk dan jauuh lebih enak dibanding tadi di sekolah. Kita bisa buka warung sate nih!” Begitu komentar buah hati saya menikmati sate buatan kami.

Tapi tetep saja kadang mereka males lho. Namanya juga anak-anak!! Jadi harus dimotivasi lagi semangatnya dengan cara yang “indah”. Itulah perlunya kreativitas, kecerdasan, kepandaian, dari seorang ibu. Nggak cukup pendidikan S3 kan untuk menjadi IBU?!!

Rabu, 26 Desember 2007

SAYA BERSYUKUR HIDUP ITU SINGKAT

Aneh?? He he he masa sih??

Terkadang ambisi dan nafsu membuat saya merasa sedih, kecewa, marah, jika ada orang yang curang, menipu, mencuri, atau memfitnah saya. Apalagi saya merasa selalu berusaha tidak mengambil hak orang, menepati janji, dan tidak menyakiti hati orang lain. Namun, tetap saja itu terjadi. Menyakitkan sebenarnya!

Orang yang tahu saya, akan geram dan mengatakan kalau saya memang selalu dimanfaatkan orang lain karena terlalu lembut hati, atau malah “lembek”. Tidak mau “melabrak” pemfitnah atau sekalian lapor polisi agar orang yang memfitnah dan menipu saya (dalam jumlah besar) dipenjara. Ya, karena yang kecil-kecil ada juga. Sebelnya, mereka bergaya dengan sok kaya tetapi utang nggak dibayar-bayar dengan alasan macam-macam.

Ya, saya memang tidak tega memasukkan penipu saya ke penjara. Bukan apa-apa, saya hanya kasihan anak-anaknya. Saya khawatir perkembangan mental anak-anaknya akan terganggu jika orangtuanya masuk penjara. Sok ya saya? Begitu kata teman. Nggak kok saya nggak sok. Saya bener-bener nggak tega.

Meski saya sering gemes sama orangtuanya yang kabur dan menghilang bersama uang saya. Apalagi jika ada kabar yang “menyakitkan” yang mampir ke telinga saya tentang dia. He he he, saya masih manusia. Demikian juga yang memfitnah saya tidak berhenti juga. Yah, mungkin saya “terlalu bagus” di matanya sehingga untuk menjelekkan saya dia perllu memfitnah. Hua ha ha “narcist” amat Dew!

Hiburan saya adalah bahwa setelah mereka “tipu” saya tidak merasa menjadi miskin, kekurangan, atau tersiksa karena memikirkan. Saya memang selalu bersyukur dengan apa yang saya dapat. Apalagi saya sadar, hidup ini singkat. Mengapa mesti saya habiskan dengan memikirkan uang saya yang dibawa lari orang yang tidak amanah? Mengapa saya habiskan dengan mencari orang yang lari dari hutangnya?

Lebih baik saya mencari lagi, mensyukuri yang didapat, dan memanfaatkan hidup yang singkat ini dengan baik. Saya akan menunggu jika mereka sadar akan mengembalikan uang saya. Toh mereka tahu saya dimana. Sebisanya saya tetap menagih sebagai kewajiban saya mengingatkan meski itu sulit karena dia lari. Jika tidak di dunia, saya yakin utang itu tetap akan ditagih di alam kubur atau di akhirat nanti. Yah, itung-itung penambah pahala atau pengurang dosa. Anggap saja investasi, Bo. Dasar!

Itulah kenapa saya bersyukur hidup ini singkat. Sehingga saya bisa memprioritaskan mana yang lebih perlu untuk mendapat porsi lebih dari pikiran, tenaga, dan potensi saya. Dan mana yang tidak perlu terlalu saya pikirkan karena hanya akan mengurangi kualitas hidup saya.

Orang yang memfitnah saya? Emang gue pikirin? Biarin aja dia makin sakit kepala mencari cara untuk menjelekkan saya (susah ya, saya memang cantik sih...........hi hi hi). Karena dia pasti makin sakit hati jika saya tidak peduli fitnah yang dia hembuskan dan saya makin “jaya”. Makanya jangan suka memfitnah orang.....................hebat...............bat...............bat! O O’ kamu kesusahan !!!

Pokoknya, hidup ini singkat. Nikmati dengan bersyukur men!!

Selasa, 25 Desember 2007

SEKARANG INI, KITA SEDANG DIJAJAH !!

Walah, kok pesimis gitu sih, Ma? Kalau anak sulung saya mendengar saya berpendapat negatif, pasti dia akan komentar seperti itu. He he he dia sedang belajar mempunyai pendapat atas segala sesuatu. Meski kadang pendapatnya lucu dan tidak nyambung, namun kadang tajam juga. Maklum masih remaja 15 tahun.

Coba perhatikan, kita selalu mengacu ke negara lain, kita selalu minder, selalu menganggap orang lain lebih pandai, barang dari negara lain lebih bagus, sikap bangsa lain lebih bagus, kalau sudah lulusan luar negeri dibilang hebat, dll. Minder wader yang sangaaat tidak perlu dan tidak pantas! Jelas sangat tidak pantas karena kita negara kaya, bangsa pandai, bangsa besar, barang kita sangat bagus, kita bisa dan mampu memproduksi berbagai barang. Narcist? Bukan! Percaya Diri!

Kenapa kita bangga memakai barang buatan luar negeri? Kita adalah produsen, banyak sekali produk yang diaku oleh negara lain adalah buatan kita yang kemudian mereka kasih merk dan dijual ke banyak negara termasuk............Indonesia! Sepeda motor? Bangsa kita sudah bisa produksi yang bertenaga baterai, murah, hemat energi, ramah lingkungan, kenapa tidak disosialisasikan besar-besaran seperti motor jepang yang mahal dan menggunakan BBM (yang kian menipis dan mahal)? Makanan, wuih, gudangnya semua jenis makanan yang sangat beragam ini bisa jadi tuan rumah di negeri sendiri bahkan bisa diekspor kalau diberdayakan. Budaya, waah, Indonesia gudangnya berbagai seni budaya tinggi yang sangat beragam mengingat Indonesia multi cultural. Sampai sampai negara lain yang tidak mempunyai budaya khas ngaku-ngaku budaya kita. Apa lagi????

Penduduknya? Wow, pandai-pandai, trampil- trampil, cantik, tampan, Cuma.........nggak percaya diri! Mengapa? Karena dididik untuk tidak percaya diri. Lha iya, orang pasti akan mengatakan seseorang hebat jika lulusan luar negeri, jika pakaian buatan luar negeri, jika ada orang asing pasti langsung merasa inferior. Sedihnya lagi, tanpa melihat apa sebenarnya beda kita dengan orang asing itu selain dia warga negara asing, bentuk tubuh asing, bahasanya asing, pokoknya serba ASING!!

Sepertinya memang kita hanya kurang satu hal, PERCAYA DIRI !!!! bagaimana jika kita bangkitkan lagi nasionalisme kita agar timbul percaya diri? Kita sangat bisa menggalakkan yang namanya swadesi. Kita memakai produksi sendiri. Pasti bisa!! Kita produksi barang banyak-banyak, pakai saja cara ATM (Amati, Tiru, Modifikasi) seperti yang dilakukan Cina. Ya, awalnya, kita tiru saja produk yang sudah ada dengan cara kita, dengan bahan kita, dan kita sendiri yang pakai. Pelan pelan kita tingkatkan mutunya, dan jika produksi berlebih, kita ekspor ke negara lain dengan harga murahpun nggak papa orang memang sisa kita saja kok. Jangan selalu yang diekspor yang bagus, eee........malah yang untuk kita sendiri yang sisa-sisanya saja!

Jika kita percaya diri sebagai produsen, tidak perlu ada TKI karena di negara kita sendiri butuh tenaga kerja banyak untuk produksi barang.

Bagi para pemegang kepemimpinan, ayo jangan mau dibeli oleh negara lain dengan imbalan pribadi yang menarik tetapi menjual bangsa. LSM janganlah cari uang dari eksploitasi bangsa sendiri. Jangan memberikan informasi ke negara lain demi mendapat dana segar. Harusnya, negara lain perlu mengirimkan mata-mata canggih, mengeluarkan biaya super mahal, hanya demi mendapat informasi. Bukannya mendapat dengan murah lewat LSM, atau................malah Cuma-Cuma.

Ya, jangan mau dijajah. Karena, saat ini kita memang sedang dijajah!

OK!? satu Nusa Satu Bangsa Satu Bahasa, INDONESIA.

Tanah airku tidak kulupakan Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh Tidakkan hilang dari kalbu
Tanahku yang kucintai Engkau kuhargai
Biarpun banyak negeri kujalani Yang masyur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku. Disanalah ku rasa tenang
Tanahku tak kulupakan, Engkau kubanggakan

MERDEKA !!!

FENOMENA JALAN BEKASI

Berkali-kali saya dan suami pergi ke suatu tempat di Bekasi. Waktu itu letaknya menurut saya jauh dan jalan menuju ke sana sangat jelek. Perlu perjuangan tersendiri mencapai tempat itu karena harus pelan dan berhati-hati mengendarai mobil.

Ada informasi kalau ada jalan lain yang lebih enak untuk pergi ke sana. Kami pernah mencobanya, namun akhirnya kami putar balik dan kembali melewati jalan biasa karena rasanya sangat lama dan makin “meragukan”.

Suatu hari kami mencoba ke sana dengan lewat “jalan baru” yang kami dapat dari seorang teman. Lho! Kok lebih cepat dan jalannyapun lebih halus. Ternyata, jalan tersebut adalah jalan yang dulu kami lewati dan kemudian kami menyerah berputar balik. hanya sekarang kami berlawanan arah, kami menuju ke sana. saat itu kami dari sana. Dan tempat kami memutar balik ternyata tidak lama lagi sudah sampai.

Ibrah yang kami ambil adalah, kami tidak boleh menyerah hanya karena merasa sudah capek berusaha, bosan, tidak sampai-sampai ke tujuan. Usaha terus, selalu beri harapan pada dirimu jika sedang hampir putus asa, bahwa sebentar lagi akan sampai.

Senin, 24 Desember 2007

RAPAT

“Ma, Papa kok setiap hari rapat melulu sih?”
“Emang Dek, enak ya jadi Papa, kerjanya Cuma rapaaat terus. Eee............tiap bulan tinggal tanda tangan trus dapat gaji.”
“Emang iya Ma?”
“Rapat kan juga nggak gampang Mas.”
“Nggak gampang apanya? Orang Cuma duduk rame rame, ngobrol, makan makanan kecil, minum air putih, nulis nulis dikit, udah deh. Itu sih gampang Ma, Mas juga bisa.”
“Tapi kan supaya bisa ngobrol (mengeluarkan pendapat) tadi juga perlu pemikiran dan ide, analisa, dsb sayang.”
“Iya tahu Maa, itu sih gampang. Asal kita punya banyak ilmu ya pasti bisa ngobrolnya.”
“Nah, itu yang Mama maksud. Kalau kalian pengen nanti setelah dewasa kata-katanya didengar orang, bekerjanya tidak mengandalkan otot tetapi otak, bekerjanya relatif lebih nyaman, sekarang harus mau agak bersusah dengan banyak belajar. Jangan banyak membuang waktu percuma seperti main game, baca komik yang tidak terlalu bermanfaat, main-main, dsb.”
“Iyaaa, yaah deek, Mama pasti gitu ya. Pinter aja ambil kesempatan nasihatin kita. Tapi emang kita harus diingatin Mama terus. Habis kita juga sering lupa waktu kalau sudah main game.”
“Itu memang salah satu tugas Mama, Mas. Ingetin anaknya, nasihatin anaknya.”

Itulah sekelumit pembicaraanku dengan ganteng-gantengku membahas pekerjaan Papanya. They are “BERLIAN”.

Minggu, 23 Desember 2007

MOTHER’S DAY

Hari ini saya cukup banyak acara. Dari pagi sudah keluar rumah, pulang, lalu pergi lagi dan baru sampai rumah jam 17 an. Baby cantikku juga kelihatan capek. Sampai di dekat kantor walikota (dekat rumah) dia mulai rewel. Ee..............ternyata saat sampai rumah, melihat Masnya bukain pintu pagar dia langsung tersenyum sangat lebar. Mungkin dia rewel karena capek sekaligus kangen Masnya.

Masuk rumah, langsung dibombardir dengan berbagai “laporan” dari jagoan-jagoan saya. Ganteng terkecilku Rafi (8 tahun) dengan tergopoh-gopoh berlari ke dalam dan kembali dengan membawa setangkai bunga kertas buatannya dan sebuah amplop mungil berwarna biru untuk dia berikan kepada saya.

Isinya kertas kuning berbentuk kupu-kupu dengan gambar hati warna hijau (warna favoritnya) yang digabung dengan huruf-huruf sehingga kalau dibaca berbunyi :

I LOVE MUM. Dan di sebaliknya tertulis “HAPPY MOTHER’S DAY”.
Saat kupu-kupu dengan totol-totol orange berbentuk hati itu saya buka, ada tulisan:

To: My Lovely Mum
December 22nd 2007

Dearest Mum,
I Love You
I Need You
I Care You
May Allah bless you forever..................

From your Son

Wusss................rasa capek di badan langsung menguap dengan setangkai bunga kertas buatan tangan mungil dan sebuah amplop mungil warna biru tersebut. Hadiah dan apresiasi indah meski kelihatannya diungkapkan dengan sangat sederhana. Happy Mother’s Day semuaaa.........................

Sabtu, 22 Desember 2007

TINGKAH LAKUMU MENGHIBURKU

Baby kecil cantikku sudah pandai berjalan. Setiap hari dia telusuri inchi demi inchi lantai rumah, berulang-ulang. Dia tidak bosan untuk mengulang jalan yang pernah dia lewati. Langkahnya yang lucu, kadang berlari riang, kadang tertatih-tatih, kadang berhenti, jongkok, memperhatikan sesuatu yang dilihatnya, dipegang, lalu.............hap masuk mulut mungilnya yang cantik. Oleh karena itu lantai rumah harus selalu bersih.

Suatu kali dia berdiam duduk bersimpuh di depan rak buku, dan ”merapikan” buku-bukunya, mengambil satu persatu, dibuka-buka, ditaruh di tempat yang dia suka, lalu diambilnya buku lain. Demikian seterusnya sampai dia bosan dan beralih ke obyek menarik lainnya. Nah, giliran mamanya yang mengembalikan ke rak buku lagi.

Kali lain dia ambil sapu dan menyapu sesukanya. Kalau ada kotoran maka dengan semangat dia akan menyebarkan kotoran itu dengan sapunya. Berada di depan lemari pakaiannya sambil “menyeleksi” semua yang ada dalam jangkauan tangan mungilnya. Atau sekedar membuntuti kemanapun saya melangkah.

Mulut mungilnya juga tidak pernah kehabisan suara. Kadang saya mengerti ucapannya, namun lebih sering tidak. Ha ha ha tetep saja saya tahu apa yang dimaksudkannya. Ya, dia sudah bisa berkomunikasi dengan saya meski bahasa verbalnya masih terbatas yang saya pahami. Kadang tangisan manja karena mengantuk menghentikan mobilitasnya dan dia minta untuk tidur sambil diiringi minum ASI, dipeluk mama.

Princessku memang selalu menghiburku. Sakit, capek, kesel, marah, seakan tidak berarti lagi jika melihat tingkah lakunya. Seperti juga tingkah Mas-Masnya yang selalu menghibur...............bahkan samapi kini mereka sudah beranjak remaja.

Kamis, 20 Desember 2007

TIDAK TAHUKAH ENGKAU ?

Tidak tahukah engkau rasa sakit yang telah kau buat?
Telah menancap kuat dan selalu menyisakan perihnya
Mencabik cabik sampai relung hatiku
Setiap saat setiap waktu, rasa sakit itu seakan selalu mengancamku
Menerorku.....................

Mungkin itu hanya suatu peristiwa bagimu
Yang akan pergi dengan berlalunya waktu
Selesai setelah ada kata maaf terucapkan
Hingga kau bisa buat lagi dan buat lagi, sakit-sakit yang baru padaku
Menambah perihnya luka lama yang belum terobati

Tidak tahukah engkau rasa sakit yang telah kau buat?
Telah merusak tatanan hatiku
Telah merusak persepsiku akan cinta tulus
Telah merusak keikhlasan dalam perbuatan
Telah merusak arti kata persahabatan
Telah merusak makna kepercayaan
Telah merusak hidupku

Kini hidupku tidak sama lagi
Hidupku penuh was-was akan takutnya tersakiti
Akan ancaman bahaya, bahkan dari teman sendiri
Banyak hal dan peristiwa,
Yang sulit aku persepsikan
Yang bisa membangkitkan rasa sakitku
Mungkin aku trauma
Mungkin aku paranoid
Mungkin aku sudah mati
Dalam sisa hidupku ini

Rabu, 19 Desember 2007

FAMILY GATHERING ???

Pertengahan tahun 2007 di hari libur, kantor suami mengadakan “Family Gathering”. Katanya sih, seluruh keluarga diundang untuk acara tersebut. Anak-anak tentu saja menyambut gembira mengingat selama ini papanya lebih banyak menghabiskan waktu, pikiran, tenaga, dan perasaannya untuk keperluan negara. Yah, kami hanya mendapatkan sisa-sisanya saja. Kami sudah membayangkan kebersamaan dengan keluarga yang indah, bermain bersama.

Tapi ternyata...........................
Karyawan laki-laki maupun perempuan bergabung dalam satu permainan, anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, melakukan permainan yang berbeda. Aku dan bayiku, tidak ada yang peduli. Ya, kami “telantar” nggak jelas di lapangan panas terik. Sementara papanya disuruh ninggalin kami begitu saja karena acara karyawan sudah mulai. Memang ada tenda, ada makanan, tetapi semua nggak jelas dan nggak “welcome”. Tidak ada kami dipersilahkan ke mana, makan apa, ngapain. Semua......... liar!!!

Mereka mengambil suami dengan "paksa" seolah itu bagian dari pekerjaan kantornya. Aku tidak tahu suami terpaksa atau justru menikmati, seperti orang lain pada umumnya. Aku juga tidak tahu apakah dia "sadar" telah mengambil hak kami, hari kami, uang kami, untuk "kesenangan" bersama para karyawan lainnya. Ya, tanpa meminta persetujuanku dengan seenaknya kantor menarik bayaran, mengambil hari libur, atas acara mereka yang sama sekali tidak menguntungkan aku dan anak-anakku.

Aku sangat tidak setuju dengan acara seperti itu yang sebenarnya hanya “mengambil” kembali suamiku dari keluarga agar “lebih akrab” dengan karyawan lainnya. Apa belum cukup 5 hari seminggu dan lebih dari 8 jam seharinya? Buat apa mereka harus menjalin keakraban bahkan di luar jam dan hari kerja? Tidak sadarkah mereka sudah “merusak” keakraban yang seharusnya lebih diperlukan yaitu keakraban keluarga? Belum lagi acara-acara lain yang sering mereka buat baik di dalam maupun di luar jam kerja demi yang mereka sebut menjalin keakraban? Ulang tahun, makan siang bersama, buka puasa bersama, pisah kenal, dsb dsb.

Tidak sadarkah mereka bahwa mereka mungkin sudah sangat jarang menjalin keakraban dengan keluarga? Tidak sadarkah mereka sudah sangat jarang makan bersama keluarga, ulang tahun, buka puasa bersama keluarga, dsb dsb? Tidak sadarkah mereka sudah membuat kerusakan jalinan suci keluarga, merusak bangsa dan negara dengan acara-acara yang mereka buat itu?

Sejauh itukah? YA!! Definitely!! Aku berani mengatakan itu karena memang begitu menurutku, mengapa negara ini terpuruk, salah satunya karena tidak lagi adanya kesolidan rumah tangga dengan cinta kasih dan keikhlasan. Mengapa? Karena dirusak oleh kita sendiri dengan dalih B E K E R J A !! Materialistis, cari uang, dsb sudah didewakan di negeri ini. Bahkan seolah semua yang mendukung kelancaran dan kenyamanan bekerja sangat dipentingkan meskipun harus MERUSAK jalinan yang diikat oleh agama yang bernama KELUARGA.

Bukankah seharusnya orang bekerja agar rumah tangganya makin baik dan berjalan bagus? Bukankah rumah tangga adalah roda utama yang harus diputar? Bukankah bekerja untuk mendukung rumah tangga dan bukan sebaliknya? Bukankah bekerja hanyalah faktor pendukung saja dan bukan instrument utama dalam kehidupan?

Jahat sekali materialisme itu!!!

Bagaimana prioritas yang seharusnya ?????????

Selasa, 18 Desember 2007

IDUL ADHA SELALU BERKESAN

Akhir November 2001 secara tiba-tiba saya mendapat kabar dari Solo kalau Ibu sakit Hepatoma, kanker hati stadium IV. Memang tiba-tiba, karena sebelumnya ibu habis general check up persiapan mau berangkat haji Januari 2002. Adik saya yang dokter menangis terus karena dia tahu bahwa ibu merasa sakit sekali oleh penyakit itu dan secara medis umur ibu tidak akan lama lagi. Kami sudah memesan satu kamar di Rumah Sakit Islam Surakarta, dan sesuka ibu apakah mau tinggal di rumah atau di RS. Semua dokter sudah stand by, kapanpun ibu perlu mereka sudah siap.

Saya sekeluarga pulang ke Solo sekalian liburan Hari Raya Idul Fitri. Ibu ingin pulang, kami jemput ke RS. Di rumah, ibu kelihatan agak baikan. Bisa jalan-jalan ke dapur, ke kebun, ke ruang lain. Ruang-ruang tersebut tidak dekat mengingat rumah Bapak Ibu tidaklah kecil. Kami senang, ibu baikan. Semua anaknya pulang, termasuk kakak yang sedang sekolah S3 di Amerika Serikat dan kakak ipar yang di Jepang. Bapak Ibu nampak bahagia anak-anaknya berkumpul semua. Sepertinya kebahagiaan orangtua memang anaknya.

Setelah Lebaran kami harus pulang ke Jakarta karena memang libur hampir habis, dan kami lihat Ibu sudah baikan. Sampai Jakarta, wow, rumah kami yang memang tidak terlalu rapi terlihat sangat berantakan sekaligus “kosong”. Ternyata selama kami pergi ada maling yang menggerayangi rumah kami. Yah, rumah kami “bersih”, semua diambil mulai dari laptop, TV, Tape, radio, PC, blender, kompor gas + tabungnya, juicer, dll sampai sepatu dan mainan anak. Pokoknya "bersih", tinggal kulkas, sepeda motor dan mobil mungil saya. Mungkin karena besar-besar, jadi nggak dibawa, atau memang masih “milik” kami.

Urus laporan polisi, dsb. Cukup melelahkan setelah lelah mental karena ibu sakit, lelah fisik karena perjalanan jauh lewat darat (gantian nyetir suami dan saya), ditambah kejadian ini. Malamnya, ada telpon dari Solo bahwa ibu anfal, masuk RS lagi. Kami masih capek segalanya, jadi kakak-kakak saya menyarankan kami istirahat dulu, namun kami tetap monitor kondisi ibu lewat telpon yang nggak pernah lepas dari tangan. Saya selalu ingatkan kakak yang jaga ibu untuk selalu membimbing ibu untuk selalu menyebut Asma Allah.

Pagi 25 Desember 2001, ada kabar Ibu sudah dipanggil Allah setelah menyebut AsmaNya berulang-ulang dibimbing kakak saya yang selalu setia menjaga Ibu seumur hidupnya. Kakak saya ini memang dari lahir, sekolah, kuliah, hingga bekerja dan berumah tangga, tinggal di rumah keluarga besar kami. Insya Allah khusnul khatimah mengingat Ibu sebenarnya sudah siap berangkat haji juga. Semua kelengkapan pergi haji sudah beres mulai paspor haji, koper, manasik, pokoknya tinggal nunggu berangkat. Bahkan sebelum meninggal Ibu mengingatkan asistennya untuk menyiapkan semuanya karena kata Ibu, beliau segera "berangkat".

Kami pulang lagi ke Solo mengesampingkan rumah yang “bersih” oleh maling. Setelah pemakaman, kami membicarakan rencana kepergian Bapak yang akhirnya harus sendiri karena sudah mantap untuk tetap pergi sendiri meski tanpa didampingi Ibu. Bapak pergi haji dalam kondisi fisik cukup prima meski secara psikologis kami tidak tahu. Bapak itu priyayi Jawa tulen, sangat pandai menjaga kesehatan dan menyimpan rasa.

Februari 2002 dalam perjalanan ke kantor, saya mendapat telpon yang mengabarkan Bapak meninggal di Rumah Sakit di Mekkah setelah melakukan lempar Jumrah. Ya, Bapak meninggal persis setelah menyelesaikan hajinya. Bahkan Bapak belum sempat pergi ke kota Nabi Madinah. Saya tidak bisa menceritakan perasaan saya saat itu, ditinggal Ibu, kehilangan harta, dan ditinggal Bapak. Saya tidak bisa mempercayai begitu saja berita meninggalnya Bapak. Saya telpon semua sumber mulai dari televisi yang memberitakan, departemen agama, asrama haji, ups saya agak limbung.

Kami pulang lagi ke Solo bertemu semua kakak dan adik sekedar menenangkan hati kami semua bersaudara. Kami menjadi yatim piatu dalam waktu hampir bersamaan. Bapak Ibu memang sehidup semati. Mereka berdua meninggal dalam usia lebih dari 70 tahun setelah menikah selama lebih dari 50 tahun. Dan, dalam usianya memang secara fisik terlihat jauh lebih muda. Mungkin karena hidupnya selalu "sumeleh" (berserah diri sama Allah).

Teman Bapak pergi haji menyampaikan pesan-pesan Bapak sebelum meninggal, salah satunya adalah tahun depan ada anaknya yang pergi haji. Maka, tahun itu juga uang yang ada saya masukkan ke Bank untuk tabungan haji, urus no PORSI ke Depag, dll meski barang yang dicuri maling belum sempat terbeli. Kami anggap itu amanah sekaligus do'a Bapak.

Alhamdulillah 22 Januari 2003 saya dan suami berangkat haji. Bahkan rencana ONH biasa, tetapi kami berangkat dengan ONH plus. Lumayan, meski tetap bisa lama (26 hari) namun tidak sampai (40 hari). Jadi tidak terlalu lama ninggalin bungsu saya yang waktu itu baru 4 tahun. Tahun 2004 saya ajak semua anak saya ibadah umrah sekaligus ziarah ke makam Eyang Kakung nya, adik saya juga berangkat haji tahun itu. Tahun berikutnya kakak saya. Subhanallah, do’a Bapak rupanya makbul. Dan semua barang kembali terbeli,................... bahkan berlebih.

Idul Adha selalu mengingatkan saya akan peristiwa itu. Selalu membuat kami kangen Bapak Ibu, kangen Baitullah, kangen untuk kembali ke “Rumah Allah”. Kangen untuk memanjatkan do’a - do’a di tempat mustajab. Semoga Bapak Ibu selalu “tersenyum” di alam sana. Bapak Ibu, sembah sungkem ingkang putra. Sedaya lepat nyuwun sagunging pangaksami. Mugi Gusti ingkang murbeng dumadi tansah ngijabahi. Amiin.

ZUHUD

Meski hanya dua dari empat anak saya yang saya beri nama yang ada kata “zuhud”nya, tetapi saya sangat ingin semua anak saya mempunyai sifat zuhud. Ya, saya sangat berharap semua anak saya akan meletakkan harta di tangan, bukan di hati. Sehingga, mereka akan menjadi “tuan”nya harta dan bukan malah menjadi “budak” harta.

“Tapi kok, Mbak bilang ingin anaknya kaya?”
“Katanya ingin mereka zuhud?”

Begitu pernah ada yang bertanya kepada saya. He he he, mana ada seorang ibu yang tidak ingin anaknya kaya harta? Justru karena itulah saya ingin mereka zuhud. Kalau mereka tidak kaya harta, bagaimana kita tahu mereka zuhud? Kalau miskin harta tentu akan sulit membedakan antara zuhud dan kepepet (memang hartanya Cuma segitunya). Jadi, untuk menjadi zuhud ya harus kaya dulu.

Ya, orang Islam harus kaya. Tapi tentu saja dengan cara yang benar menurut agama. Pernah saya mendengar ada orang yang menanggapi statement saya ini dengan minta gaji yang tinggi dari tempat bekerjanya tanpa membuktikan kemampuannya memberikan kekayaan pada perusahaan tersebut.

Lha, bukan begitu dong. Orang Islam kaya karena memang bekerja keras, bukan minta gaji tinggi. Kalau dia usaha sendiri, bekerja keras, jujur, amanah, maka masalah rejeki insya Allah akan datang karena sunatullahnya begitu. Kalau belum datang? Ya, mungkin:
Kurang keras bekerjanya
Ada amalan shaleh yang kurang
Belum saatnya, mesti sabar
Sebenarnya rejeki sudah datang, tapi tidak bersyukur. Jadi merasa belum dapat rejeki meski merasa sudah kerja keras.
Kaya, adalah rasa cukup. Jadi bisa saja orang yang hartanya tidak sebanyak orang lain tetapi dia lebih kaya.
Nah, kalau dia seorang pekerja dimanapun dia bekerja, maka kewajiban dia adalah bekerja keras memberikan yang terbaik bagi perusahaan. Nah, kalau memang perusahaan mendapat hasil yang banyak karena hasil kerja kita kan akan memperhatikan renumerasi kita juga. Jadi, jangan masang tarif padahal nggak ada kontribusi yang bagus yang menguntungkan perusahaan.

So, mau zuhud ??? jadilah “kaya”.

Senin, 17 Desember 2007

IDUL QURBAN

Akhir-akhir ini di berbagai milist beredar cerita tentang seorang kakek tua pensiunan pegawai pemda berpenampilan lusuh, bersepeda, membeli kambing terbesar seharga Rp 2 juta tanpa menawar. Sedangkan pemilik mobil mewah tidak jadi membeli kambing itu karena terlalu mahal dan setelah menawar pun harga tidak bisa turun sama sekali. Di situ juga diceritakan bagaimana pedagang kambing terkesan meremehkan si kakek tua karena penampilannya.

Ups!!
Memang terkesan “heroik”, mengagumkan semangat ber”qurban” si kakek sederhana tersebut. Dan, betapa sikap si pedagang itu yang sepertinya mencerminkan masyarakat kita sekarang. Ya, pedagang itu melihat orang dari penampilan, dari harta, dari materi. Bukankah sekarang ini masyarakat kita seperti itu? Dan jelas itu sikap yang SALAH.

Namun disini, yang saya lihat selain sikap pedagang yang materialis itu justru pembeli itu juga kurang tepat dalam bertindak. Lho, hampir semua orang yang membaca cerita itu kagum sama si kakek. Kok ya saya berani-beraninya malah mengkritik? He he he maaf deh, tapi memang begitu.

Pertama, dari berbagai penawaran kambing kurban yang sampai ke saya, belum pernah ada yang harganya sampai Rp 2 juta. Paling tinggi Rp 1,25 juta, atau anggap saja Rp 1,5 juta. Kedua, seandainya kita akan membeli kambing biarpun untuk ibadah Qurban, ya tetep ditawar dong. Kenapa? Supaya tetap berlaku hukum jual beli, harga wajar, tidak ada yang dzalim, tidak ada yang didzalimi. Lagipula, jika kita bisa mendapat harga yang lebih murah namun masih wajar untuk membeli hewan Qurban maka uang kita akan lebih bernilai. Ya, kita bisa tetap ber qurban, sisa uang masih bisa memenuhi kebutuhan lain atau bisa diinfaq kan untuk hal lain.

So, apakah langsung membayar tanpa menawar adalah ke “hebat” an orang ber Qurban? Menurut saya, TIDAK !! Itu adalah ke”bodoh”an, karena pedagang juga belum bisa diandalkan kejujurannya dalam menentukan harga. Disamping itu, dengan menawar, kita tetap berqurban dengan hewan yang baik, harga wajar, dan malah bisa melakukan amalan lain dengan sisa uang kita.

Jangan jangan cerita itu ditulis oleh pedagang hewan Qurban??? Ha ha ha kok jadi berprasangka buruk ya? Nggak kok, mungkin cerita itu memang benar, mungkin pedagang itu sudah jujur dan harga yang ditawarkan wajar, mungkin si kakek memang sudah tahu kewajaran harga dan sangat bersemangat dalam berqurban, mungkin cerita itu memang ideal untuk membangkitkan semangat ber QURBAN yang semakin menipis di masyarakat materialistis.

Yang penting, be smart to do everything.

Minggu, 16 Desember 2007

KESEHARIANKU

Sebelum subuh, saya bangun, ambil air wudlu, memasak air, dan menyiapkan mug-mug dengan ramuan minuman kesukaan suami dan anak masing-masing di dalamnya. Ya, saya akan tinggalkan semua itu nanti jika masuk subuh untuk shalat terlebih dahulu. Jika saat air mendidih bayi cantik saya minta ASI, maka suami atau anak laki-laki sulung saya tinggal menyeduh semua minuman yang telah saya siapkan sesuai kesukaan mereka masing-masing.

Sambil masak air, saya menyiapkan sarapan untuk suami, anak-anak, dan bayi saya, agar saat nanti bayi saya bangun makanannya sudah hangat (tidak panas).

Adzan subuh berkumandang, suami dan anak-anak ke Masjid, saya shalat di rumah. Setelah semua siap, saya akan kembali ke bayi cantik saya agar tidurnya kembali lelap karena ada saya di sisinya. Jika memungkinkan saya menyapu seluruh rumah.

Jam 7.00 anak ketiga saya harus berangkat ke sekolah dengan sepedanya. Sambil mengawasi dia mandi, berpakaian, dan berkemas, saya suapi bayi saya, dan mendengar laporan karyawan yang akan berangkat ke kantor. Setelah makan, dia mandi, dan kami berdua bermain bersama.

Jam 9-10 an adek bobok, saya masak, bersih-bersih, siapin makan siang si cantik supaya saat bangun tidur makanannya sudah hangat tidak lagi panas. Jika tidak ada keperluan keluar rumah, saya membuka komputer, internet, cek e-mail, cek bisnis, telpon, dll. Sambil mengerjakan itu semua, saya buka komputer, on line. Seleksi E-mail yang masuk (200-300), baca yang perlu atau ingin dibaca. Balas kalau perlu atau ingin juga.

Ops, shalat dzuhur, suapin baby, siapin minuman hangat di termos untuk suami dan 3 jagoan ganteng, eeee........... tahu tahu ganteng kecil datang dari sekolah. Sambil mendengar “laporan” nya tentang kesehariannya, tetep ngurus princess kecil. Mandiin baby, main sama baby dan jagoan kecil, jagoan-jagoan besarpun satu persatu datang dengan “laporan” masing-masing. Wuih ........rame lho mereka dengan “heboh” saling cerita dan godain. Yang pasti si kecil jadi pusat perhatian mereka dengan tingkahnya yang selalu ada penambahan kepandaian.

Maghrib, semua ganteng saya shalat jama’ah di masjid dekat rumah. Isya juga. Malem, setelah suami pulang, nemani suami makan, ngobrol, “laporan” juga dia he he he, dan....saat suami bercengkerama dengan anak-anak, saya bersih-bersih rumah. Yah, biasanya mereka menggunakan satu ruang tumplek bleg di sana. Jadi, saya lebih leluasa membersihkan rumah. Nyapu, ngepel, cuci piring, dll. Setelah baby tidur (biasanya suami juga tidur) saya setrika baju.

Ups, selesai semua. Cek semua persiapan besok pagi, keperluan suami, anak-anak, ok?! Sikat gigi, wudlu, shalat, sedikit meregangkan badan, saya siap mengistirahatkan anugerah Allah ini agar segar lagi keesokan harinya. Jika terbangun dini hari, saya shalat malam dan tidur lagi.

Nah, kembali lagi ke awal. Tapi, jika saya sangat capek atau baby nggak mau ditinggal, maka pagi hari sudah bisa jalan tanpa saya bangun setelah shalat subuh. Biasanya ini terjadi jika siangnya saya mesti pergi, nyetir sendiri, bawa baby, macet, bla bla bla.

Jumat, 14 Desember 2007

KANGEN BAPAK IBU YANG SUDAH TIADA

Sering saya merasa sangat kangen dengan kedua orangtua saya. Ya memang, beliau berdua sudah meninggal 5 tahun lalu. Hampir bersamaan. Ibu sebelum pergi ibadah haji dan Bapak setelah melempar jumrah, belum sempat pulang ke tanah air. Ya, Bapak dimakamkan di Ma’la Mekah.

Saya sering merasa bersalah karena banyak mengecewakan Bapak Ibu semasa hidupnya. Saya belum pernah membahagiakan beliau berdua (dengan harta benda). Karena saya memang anak ke 9 dari sepuluh bersaudara, maka beliau sudah cukup tua saat saya mulai berpenghasilan. Dan, beliau tidak terlalu berminat dengan harta jika saya menawarkan membeli sesuatu. Atau mungkin karena bijak, maka beliau tahu saya masih belum mampu dan beliau tidak mau merepotkan.

Kadang saya merasa cemburu dengan kakak kakak atau adik saya satu satunya, karena mereka saya lihat dekat dengan Bapak Ibu. Memang tempat tinggal mereka lebih dekat Bapak Ibu dibanding saya. Tapi, semua itu berubah 180 derajat saat saya tahu yang sesungguhnya. Namun sayang, saya tahu setelah beliau berdua tiada.

“Mbak, aku mau pergi haji. Kan sebelum Bapak wafat ngendika kalau tahun depan anaknya ke sana. Insya Allah aku ke sana. Aku pengeeen banget berdo’a di tempat-tempat mustajab, minta supaya Bapak Ibu mendapat tempat yang terang, lapang, nyaman, rumah yang indah di alam kubur. Aku pengen membuat Bapak Ibu bangga di sana, pamer sama "tetangga-tetangga" kalau sering dapat "kiriman" dari anaknya termasuk dari DEWI.”

Begitu saya minta restu kakak saya waktu akan pergi haji tahun 2003, setahun setelah Bapak Ibu wafat. Kakak saya nangis dan bilang kalau saya memang anak baik, shalihah, pantas Bapak Ibu sangat bangga sama saya. Beliau sering bilang:

“Dewi itu dari kecil selalu membanggakan dan nggak pernah mau merepotkan orangtua. Dari kecil selalu hebat prestasinya, setelah besar kuat pegang prinsip. Nggak peduli resikonya berat. Mau hidup susah demi prinsipnya. Padahal kalau dia mau, dia bisa sangat kaya mengingat posisi pekerjaannya. Setelah jadi istri juga baik, jadi Ibu juga hebat ndidik anaknya.”

Ups, saya sangat terpukul mendengar cerita kakak yang selalu tinggal serumah dengan Bapak Ibu hingga akhir hayat. Kakak saya itu justru menyatakan kecemburuannya terhadap saya karena meski serumah dengannya tetapi Bapak Ibu selalu memuji saya.

Sejak saat itu makin mantap saya dalam setiap perbuatan meniatkan untuk kebaikan beliau berdua. Saya sering melihat dan mendengar orangtua yang membanggakan kiriman (pemberian) anaknya dalam bentuk harta di dunia. Saya berharap, orangtua saya juga membanggakan “kiriman” saya di alam kubur setiap saya melakukan kebaikan. Saya sangat ingin kubur mereka nyaman, terang, indah, karena “kiriman” saya. Amiiin.

Kamis, 13 Desember 2007

PRINCESS BUKA SEPATU

He he he, princess dari kerajaan mana ya? Hmm, ini adalah the real princess. Princess karena hati dan tingkah lakunya, bukan karena keturunan. Amiin.

Eeeeeeeeeee jangan ngambek dulu, ini princess kami. Bayi cantik yang umurnya belum genap 1 tahun. Biar begitu, dia sudah hoby membaca lho! Apapun yang anda lihat, yang jelas maksudnya adalah membaca seperti Mas Masnya yang memang hoby membaca. Mereka sambil membaca jika saya suruh menjaga adeknya. Mereka hampir selalu membaca saat si adek bayi melihat mereka.

Saat bayi kami itu membaca, mukanya serius, mata bergerak kiri kanan seolah mengikuti alur tulisan, sambil tidak lupa membuka helai demi helai halaman buku yang dia pegang. Kalau ada salah satu Masnya yang membaca di dekatnya, maka tidak segan segan dia akan menukar bukunya dengan buku yang sedang dibaca Masnya............dengan paksa!

Ngetik juga menjadi kebiasaan bayi kami. So, jangan lengah jika sedang di depan komputer. Tangan mungilnya akan ambil bagian pencet pencet keyboard. Bahkan kadang diselingi melepas kabel mouse atau kabel printer yang memang di depan. Mencet power On? Nah, ini yang membuat Mas Masnya berteriak karena belum sempat save.

Beberapa minggu terakhir ini, ada kebiasaan baru yang dilakukan Vania, bayi cantik kami. Setiap mendengar suara klakson dari Papanya saat pulang kantor, dia akan menghentikan aktifitasnya, berdiri, dan berlari (maksudnya jalannya as fast as she can). “Papaaaaa.....Papaaaaa.......Papaaaaa......” akan meluncur dari mulut mungilnya. Masnya akan mendahului membuka pintu pagar untuk Papanya, supaya si adek tidak ikut keluar karena nanti Masnya akan sulit menjaganya.

Sesudah Papanya masuk rumah, princess kecil akan salim cium tangan Papanya (lengkap dengan ludah dan kadang ingus kalau sedang pilek, iiiiiiiihhhh jorok ya adek ini?), dan.................dia akan membuka sepatu Papanya.

Tapi pernah Papanya pamit akan pergi ke kantor (biasanya Papanya pergi dia masih tidur tetapi saat itu dia sudah bangun), setelah cium tangan Papanya dia langsung bungkuk dan mau melepas sepatu Papanya. Ha ha ha sampai Papanya harus melakukan gerakan seperti menari karena menghindari serangan tangan mungil yang berusaha melepas sepatunya.

“Aku dulu gitu nggak Ma? Aku dulu gitu nggak Ma?”

Begitu selalu Mas Masnya bertanya kepada saya jika adeknya melakukan sesuatu yang mereka anggap lucu, aneh, pinter, atau “nakal”. Untungnya saya tidak pernah kehilangan moment-moment yang tidak akan pernah terulang kembali tersebut dari setiap anak saya. Tingkah adeknya akan menjadi reminder yang membuat saya tidak kehabisan stock cerita ke mereka. Tingkah mereka saat kecil rupanya menjadi bahasan yang sangat menarik bagi mereka.

Princess memang princess! She always makes our family bright.

Rabu, 12 Desember 2007

KAMU ADALAH APA YANG KAMU MAKAN

Mungkin kita semua sering mendengar ungkapan ini. Saya setuju dengan ungkapan tersebut. Namun, he he he lagi lagi bukan Dewi kalau nggak punya pendapat sendiri (versi Dewi) tentunya. Ya, keluarga besar saya pasti akan berkomentar seperti itu jika saya mulai berpendapat. Dari kecil kata mereka saya memang “tengil” suka berbeda pendapat, namun pasti punya alasan yang cukup logis. Ha ha ha jangan pada kesel ya, wajar dong saya terkenal di keluarga besar saya.

Yang kita makan sehari-hari memang akan terlihat pada diri kita, perform kita, tingkah laku kita, bicara kita, bahkan bentuk fisik kita.

Diri kita terdiri dari fisik yang memerlukan asupan makanan untuk tubuh kita, akal yang memerlukan asupan ilmu pengetahuan, dan soul yang memerlukan asupan makanan rohani yang biasanya berupa ibadah baik ritual maupun amal keseharian kita.

Nah, dari sana akan terlihat jelas bahwa kita memang apa yang kita makan. Bagaimana bentuk fisik badan kita, bagaimana kita berbicara dan berpendapat, serta bagaimana refleksi rohani kita dari tingkah laku dan pembawaan diri kita. Maka, wajar jika Rasulullah Muhammad saw dikatakan pribadinya adalah Al Qur’an. Seharusnya, orang Islam memang berpribadi Al Qur’an karena apa yang dimakan, dibaca, dan dilakukan bercermin dan bersumber dari ayat-ayat Al Qur’an.

Selasa, 11 Desember 2007

IBU YANG MENGAGUMKAN

Saya memasukkan salah satu cerita blog saya ke milist. Karena menurut saya cerita ini bisa menginspirasi teman-teman saya untuk menjadi lebih bersyukur.

Kebetulan kok ya tokohnya perempuan...seorang ibu hebat yang sangat pandai mensyukuri karunia Allah. Nah gara-gara itu, ada seorang teman (laki-laki) yang ngambek. Karena tokoh yang sering saya angkat adalah Ibu, perempuan. Padahal ada juga seorang Bapak, di Pursuit Happiness.

Ya memang kebanyakan yang tangguh dalam menghadapi kenyataan hidup seperti itu adalah seorang ibu. Dan ibu tersebut biasanya memang sangaat hebat, tangguh, tabah, gigih, bahkan saat harus berjuang sendiri karena suaminya menyerah dengan meninggalkan mereka.

Namun, yang membuat saya angkat topi untuk mereka, mereka tidak lantas mencari tempat curhat yang merugikan orang lain. Ya, mereka tidak curhat kepada suami orang lain yang bisa menyebabkan rusaknya rumah tangga orang lain tersebut. Mereka mencari profesional, komunitas, lembaga, buku, untuk berbagi dan mencari solusi. Itulah hebatnya mereka dan ini yang pantas dikagumi.

Karena terkadang, seorang ibu curhat masalah rumah tangganya kepada temannya yang laki-laki (suami orang lain). Ini biasanya dilakukan oleh wanita pekerja kantor, mereka curhat ke teman kantor laki-laki (suami orang lain) dengan alasan kalau cerita ke teman laki-laki lebih enak, rahasia dijaga, dsb. Padahal, sangat aneh jika meminta suami orang lain untuk mendengar cerita rumah tangganya, masalah anaknya, terkadang aib suaminya, dan menjaga agar merahasiakannya. Dan, sangat aneh lagi jika laki-laki tersebut harus merahasiakannya dari istrinya sendiri. Perempuan macam apa itu?!

Hal ini sangat berbahaya karena sangat mungkin akan membuat laki-laki (suami orang) tersebut akan merahasiakan masalah istri orang terhadap istrinya sendiri. Lho??? Bukannya harus menjaga rahasia istri sendiri malah menjaga rahasia istri orang lain (belum tentu juga ceritanya bener!)? Dia juga bisa merasa diperlukan, simpati, dan kemudian berakibat merusak rumah tangganya sendiri yang sebenarnya tidak bermasalah jika tidak ada orang lain (teman perempuan) yang curhat. Tidakkah laki-laki itu sadar jika istrinya yang seperti itu maka aibnya akan yang disebarkan ke laki-laki lain? Atau tidakkah dia berfikir jika perempuan itu sanggup menyebarkan aib suaminya maka dia pasti sangat sanggup memfitnah demi keuntungan pribadinya?

Menurut saya pribadi, istri / ibu yang seperti ini memang bukan istri yang baik, bukan ibu yang baik. Karena istri yang baik tidak akan menceritakan keburukan suaminya kepada orang lain apalagi kepada suami orang lain. Istri yang baik tidak akan meminta suami orang lain menjaga rahasia rumah tangganya dari istrinya sendiri. Ibu yang baik tidak akan membuka aib bapak dari anak-anaknya kepada bapak anak lain.

So, wajar dong saya menaruh respect kepada ibu mengagumkan yang tidak merusak rumah tangga orang lain meski dia mempunyai anak yang berkebutuhan khusus, ditinggalkan suami, mencari nafkah seorang diri, tetapi tetap tahu kalau anaknya itu berlian yang membutuhkan cutting, shaping, oleh tangan yang tepat, IBUnya. Ya, Ibu yang meski punya banyak masalah, tetap tidak menambah masalah dengan merusak rumah tangga orang lain.

MEMANDIKAN ANAK

Sejak anak berumur 2-3 tahun, sebaiknya kita mulai mengajari anak untuk mandi sendiri. Ya, mandi sendiri namun mandinya masih kita mandikan. Walah, kok mbulet gitu sih?

He he he............., nggak mbulet kok. Maksudku, kita masih memandikan, tetapi katakan ke anak bahwa dia saat itu mandi sendiri. Mama/Papanya hanya membantu. Mengapa harus begitu? Ya, karena di umur itu anak akan sangat bangga dan semangat untuk belajar jika kita menganggap mereka sudah mampu. Mereka merasa diakui eksistensinya, gitu bahasa kerennya.

Kita ajari cara mandi secara lengkap dan benar termasuk cara keramas dan sikat gigi. Pada umur ini, seringkali mereka akan susah keluar dari prosesi mandi. Maka kita harus membuat agenda sesudah mandi tidak kalah menariknya dengan acara mandi. Ini memang sangat personal tergantung anaknya. Misalnya anak yang suka mewarnai, maka sesudah mandi adalah mewarnai. Anak yang suka cerita, sesudah mandi kita akan bacakan cerita, anak yang suka keluar rumah, sesudah mandi adalah jalan-jalan di sekitar rumah, dsb.

Untuk anak yang sudah lebih besar umurnya (5-7 tahun) apabila sudah mulai diajarkan mandi pada usia 2-3 tahun, maka mereka sudah bisa dilepas untuk mandi sendiri. Biarkan anak mandi di kamar mandi akan tetapi pintu jangan ijinkan untuk mereka kunci dari dalam. Ini karena jika anak terkunci berbahaya dan akan memudahkan kita untuk memonitor mereka agar mandinya benar, bersih, dan tidak main air. Ha ha ha.......... ini sih berdasar pengalaman aja! Secara.........anaknya banyak sih!!

Sesudah mereka mandi periksa hasilnya dan beri mereka penilaian bagus berbentuk pujian jika memang bersih agar mereka bangga dan semangat. Jika ada yang kurang bersih, kritik dengan cara yang tidak menyakitkan hatinya, atau menyalahkan, apalagi menghina dengan mengatakan bahwa dia bodoh. Jangan ya Bu, Pak, kata-kata kita adalah do'a bagi mereka. So, katakan yang baik-baik saya.

Namun, paling tidak seminggu sekali tetap mandikan dia. Katakan kalau Ibu dan Bapak sangat ingin memandikan mereka karena kangen dan bukan karena agar lebih bersih.

Selamat mandiiiiiiiiiiii........cibang.........cibung...........

Sabtu, 08 Desember 2007

LINGERIES

Sekarang ini, televisi adalah pendidik utama di masyarakat. Memang, karena setiap saat televisi akan mengkampanyekan segala sesuatu langsung ke ruang keluarga setiap rumah di negara ini. Hampir 24 jam sehari kita dididik oleh televisi. Wow, fantastik ya.

Ya memang hebat si televisi ini. Langsung masuk ke setiap ruang paling pribadi di setiap rumah tangga untuk menyebarkan pengaruhnya. Karena memang dikemas menarik dan berulang-ulang, tentu saja sangat cepat dan melekat kuat pada pemirsanya.

Sedihnya, pengaruh yang disebarkan banyak yang tidak sesuai dengan misi pembentukan generasi bangsa agar menjadi bangsa besar seperti cita-cita pahlawan kita dulu saat memperjuangkan kemerdekaan.

Kali ini saya menyoroti masalah pakaian. Negara kita negara yang beragama. Memang mayoritas Islam, tetapi tidak harus pakaian muslim. Negara kita multi culture, kenapa tidak mengkampanyekan pakaian daerah yang ada di seluruh Indonesia? Ada batik, kebaya, baju bodo, baju encim, songket Palembang, dll. Sangaaat beragam dan cenderung “sopan” dan mendidik. Ya, tidak seperti yang sekarang justru banyak dipakai oleh orang yang sering tampil di televisi, baju yang lebih tepat dipakai untuk tidur di kamar pribadi karena sangat mirip “lingerie”.

Menurut saya, lebih banyak kerugian baik moral maupun materi yang disebabkan oleh kampanye lingerie. Secara moral, sudah bergeser arti kesopanan dan rasa malu bangsa Indonesia. Ya, dulu memakai pakaian seperti itu di depan umum akan dianggap tidak sopan dan pemakainyapun akan malu. Sekarang, kadang malah dipuji karena dianggap modern, seksi, cantik, dan bangga! Kelihatannya “Cuma” pakaian, tetapi dampaknya sangat banyak kalau mau ditelusuri. Tetapi, karena sudah begitu mewabah, akan buang-buang waktu, energi, dan biaya jika harus mencari dan memperdebatkan akibatnya. Belum lagi sikap perlawanan yang akan timbul dari para pendukungnya.

Secara materi, jelas sangat merugikan. Ya, karena akhirnya kita beramai-ramai mengeluarkan devisa untuk impor barang karena memang tren ini bukan berasal dari Indonesia. Dan, bangsa kita memang sudah sedemikian “minder”, tidak ada kebanggaan menggunakan produksi bangsa sendiri sehingga mereka akan bangga jika barang yang mereka gunakan barang impor. Walah, padahal itu produk kita yang mereka kirim balik.

Bayangkan jika kita kampanyekan pakaian bangsa kita sendiri. Wow, tentu akan sangat maju perekonomian kita karena produk kita akan banyak diserap pasar. Belum lagi efeknya secara moril. Kita akan kembali bangga dengan diri kita, bangsa kita, kekayaan kita, keragaman budaya kita, dan bahkan akan sangat menarik bangsa lain untuk mengunjungi negara kita karena penduduknya berpakaian sehari-hari sangat indah dan beragam, dan bahkan akan membeli produk kita sebagai buah tangan saat kembali ke negaranya. Karena sudah dipakai sehari-hari dan dikenal oleh seluruh nrgara di dunia, maka tentu tidak akan terjadi “pencurian” aset budaya kita oleh negara lain manapun.

Jumat, 07 Desember 2007

BERPENDAPAT

Seringkali saya mendengar atau membaca pendapat orang yang disampaikan baik lisan maupun tulisan yang ngglibet. (??????????) Maksud saya muter-muter, menggunakan istilah-istilah aneh yang sering tidak relevan atau malah makin bikin runyam alias makin nggak jelas maksudnya. Ya mereka berusaha mengeluarkan istilah akademis, intelek, keren, yang sudah mereka pelajari di bangku kuliah meski ada istilah lain yang lebih awam, mudah dipahami, dan lebih pas. Apa biar dianggap pinter kali ya?? He he he berarti sadar dong kalau sebenarnya nggak pinter, makanya perlu “dianggap” pinter?

Dan anehnya, seringkali pendapat yang demikian keluar dari orang-orang yang secara akademis sudah tinggi levelnya. Yah, setelah dia S2 atau bahkan S3. Lha kan ini membuat saya makin heran dan bingung.

Kok bingung Dew? Kan kalau makin tinggi sekolahnya memang makin banyak istilah aneh (intelek) yang mereka tahu. Gitu kali ya?! Ya nggak banget menurut saya.

Karena menurut saya, seharusnya semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin pandai menyederhanakan masalah yang tadinya rumit, istilah-istilah aneh, menjadi mudah dimengerti oleh orang lain. Dan, semakin luas pengertian itu bisa diterima dan dipahami oleh masyarakat berbagai tingkatan. Buat apa sekolah sampai doktor kalau hanya membuat orang bingung dan mengerenyitkan kening kalau mendengar dia berbicara atau membaca tulisan dia to?

Jadi, kalau ingin orang lain tahu kita pinter, sangat tidak perlu berbicara atau berpendapat dengan istilah yang membuat orang bingung. Atau, jangan-jangan dia menggunakan istilah istilah aneh karena dia sendiri sebenarnya tidak paham? Cuma bangga aja bisa ngomong seperti itu? Terdengar keren? Ha ha ha, padahal nggak perlu kita tunjukkan kalau memang kita pinter, orang lain pasti akan mengakui kok. Ya kan??!! Kan!!!

Kamis, 06 Desember 2007

MENYAPIH BAYI

Pertengahan Oktober 1994

Umur anakku sudah 2 tahun. Hmmm.......... aku harus menyapih dia dari ASI sesuai perintah Al Qur’an susukan anakmu selama 2 tahun. Ya, aku harus menyapih dia dan pasti bisa, karena itu perintah Allah. Allah tidak mungkin memerintahkan sesuatu pada kita manusia kalau hal itu tidak bisa dilakukan. Yah, itu keyakinanku, prasangka baikku pada Allah.

Jujur? Aku sebenarnya juga bingung. Lha kan ini pengalaman pertama karena anak pertama. Sudah banyak masukan (yang sayangnya negatif) yang pernah aku terima selama ini sejak orang tahu aku memberi ASI full (tanpa susu formula) hingga anakku umur 2 tahun. Waduuuuh................ gimana niiiih............???

“Dicampur (diselingi) susu kaleng lho, nanti dia nggak mau susu kaleng kalau sudah disapih!”
“Waduh........... nanti kurang gizi lho, anak laki-laki kan perlu susu banyak, nyusunya kuat, kalau nggak ditambah susu kaleng nanti nggak cukup.”
“Waah............. siap-siap aja nyusuin anak sampai besar. Kalau nggak dibiasakan minum susu kaleng juga, nanti susah disapihnya.”
“Bu Dewi siap-siap nanti bengkak kalau nyapih, sakiiit sekali kalau anak biasa hanya ASI tiba-tiba disapih. Makanya jangan hanya dikasih ASI aja, disambung aja kalau sudah setahun. Nggakpapa kok, tambah bagus malah!”
“Ha ha ha.......... selamat capek ya Bu, pasti Hafizh rewel banget saat disapih. Dititipin aja ke suadara saat disapih.”

Wow, agak khawatir juga nih menjelang penyapihan. Akhirnya aku meneruskan mencari “ilmu” lagi sebelum menerapkannya pada “berlian” ku. Setelah selama ini mencari dari berbagai referensi bacaan, dokter maupun paramedis saat imunisasi, maka sekarang aku “berburu” dari pengalaman Ibu lain yang pernah menyapih.

Weee............ lhadalah........... kok negatif semua gitcu ya tanggapannya? Apa iya sih aku salah? Kan aku cuma ngikuti "manual" nya aja, Al Qur'an. Susukan anakmu selama dua tahun! Lhaaa........... ya aku manut aja!!!

OK, hari ini action dimulai. Seperti pengalaman orang, aku olesi payudara dengan berbagai makanan (bergantian setelah makanan 1 tidak sukses beralih ke yang lain) yang rasanya “tidak enak” namun aman bagi bayi gantengku yang dempal itu. Mulai dari butrowali, air daun pepaya, dll. Namun anakku ganteng, pinter, cerdas, yang memang sudah pandai berbicara sejak umur setahun ini berkomentar (sok tahu..........atau cerdas ya?!) ha ha ha.................:

“Waduh Mama mandinya nggak bersih ya, kok masih kotor?”
“Kok rasanya nggak enak gini sih Ma, makanya kalau mandi disabun yang bersih ya.”

Dia kemudian mengambil waslap, dicelup air, dan digunakan untuk membersihkan sebelum mulai minum ASI (ikutan mamanya kalau melap dia pakai waslap). Setelah dia rasa bersih, dia mulai minum dengan nyaman. Ncut......ncut...........glek.........glek.

"Naaa........... gini kan enak, Ma. Nggak pahit lagi deh!"

Ups, gagal deh nyapihnya. Jangan jangan bener kata orang. Tapi aku tetap yakin dan tidak putus asa. Akhirnya, aku ajak jagoan kecilku duduk, dan...............(betul sekali) berdiskusi. Ha ha ha............... memang diskusi “ala kami” ini sering aku gunakan untuk mendidik berlianku.

“Mas, sekarang kan ganteng mama sudah hampir umur 2 tahun. Sudah gede ya? Tinggal beberapa hari lagi lho.”
“Trus kenapa, Ma?”
“Ya menurut Al Qur’an sih, Mas sudah harus Mama sapih, nggak boleh lagi minum ASI.”
“Trus Mas Hafizh minum apa dong Ma?”
“Minum susu formula, nanti kita belanja di supermarket. Mas boleh milih sendiri susunya. Gimana?”
“Ya sudah, tapi kalau Mas pengen boleh nggak Ma sekali-sekali?”
“Waaah, ya sudah pasti boleh kalau Cuma sekali-sekali. Dan........., jangan lama-lama ya, malu kan sama Allah kalau sudah besar masih minum ASI.”

Alhamdulillah, ternyata hanya perlu satu minggu untuk menyapih “berlian” ku yang memang cerdas luar biasa ini. Tanpa bengkak, rewel, dititip, atau yang lain. Dasar anak hebat, susu formula bergelas-gelas dia habiskan dalam sehari sejak disapih. Makan juga tetep OK. So, setelah disapih badannya yang dempal tidak menyusut seperti perkiraan orang.

Memang, anak adalah manusia kecil yang sudah sempurna diciptakan Allah. "Berlian" mereka itu. Tinggal bagaimana kita orang dewasa di sekitarnya menjaganya, memoles, shaping, dan cutting agar kilaunya makin terpancar menerangi sekitarnya. Nah, cara ini kemudian aku akan terapkan untuk adik-adiknya nanti.

Menyapih bayi............... siapa takut???

PELACUR

Kok??
Ya memang pelacur. Istilah ini dulu waktu saya kecil akan ditujukan kepada orang yang menjual dirinya secara seksual. Dan setahu saya istilah ini sudah cukup menjadi sanksi sosial yang mujarab. Alasan apapun orang melakukan itu, akan malu karena sebutan “PELACUR” tadi. Memang kita harus malu melakukan hal yang tidak baik, apapun alasan kita melakukannya.

Seiring waktu, entah kenapa istilah pelacur diganti Wanita Tuna Susila (WTS), dan sekarang malah dirubah lagi penyebutannya menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK). Mengapa harus begitu? Siapa yang punya ide merubah istilah itu? Apa dia sudah memikirkan akibatnya?

Menurut saya, untuk perbuatan buruk, memang harus dengan istilah yang membuat orang malu. Di situlah sanksi sosial akan terjadi. MALU! Paling tidak orang harus malu melakukan hal buruk karena penyebutan atas pelakunya saja sudah membuat orang malu. Tidak perlu istilahnya diperhalus karena memang bukan perbuatan yang pantas untuk dimaklumi apapun alasannya. Karena, kalau yang memang merasa tidak mau melakukannya pasti akan mencari cara untuk terlepas dari perbuatan itu meski harus bertaruh nyawa.

So. Pelacur biarlah tetap dipanggil pelacur. Bukan pekerja seks komersial karena memang itu bukan salah satu profesi yang layak diterima di masyarakat yang beradab.

Selasa, 04 Desember 2007

KARIR ATAU RUMAH TANGGA ?

Di sebuah milist ada seorang Ibu yang karirnya di kantor sangat OK (direktur) sharing tentang anaknya yang kena narkoba. Malah yang perempuan meninggal di usia 19 tahun. Dia sangat menyesal dan sekarang ingin fokus pada anaknya yang masih ada.

Ada lagi seorang Ibu yang bingung karena tidak ingin seperti ibu pertama tadi, tetapi juga berat melepas pekerjaan karena takut miskin. Saya maklum, jaman sekarang memang perlu nyali dan keyakinan yang kuat untuk itu (seperti saya he he he!). Belum lagi perasaan bagaimana jika secara keuangan bergantung pada suami sementara tidak semua suami menghargai istri yang fokus pada anak. Jaman ini memang sedang jauuuuh dari emansipasi (baca emansipasi versi saya). Ya, seolah semua yang dilakukan laki-laki itu lebih baik sehingga beramai-ramai wanita ingin seperti laki-laki.

Ada lagi Ibu lain yang mengatakan itu tergantung bagaimana kitanya. Karena dia merasa bisa menjalani pekerjaannya di luar rumah dan anaknya baik-baik saja meski dia pergi pagi sekali dan pulang jam 10 malam. Dan menurut dia, ada orang yang ibunya tidak bekerja tetapi anaknya kena narkoba juga, rusak juga, bandel juga.

Ada juga yang bilang (terbanyak yang saya dengar dari para wanita yang bekerja di luar rumah) yang penting quality time bukan quantity time.

Ups, sepertinya kalau urusan anak-anak kok pasti Ibu yang dipermasalahkan ya?

Menurut saya, anak itu urusan Ibu dan Bapak. Lha kan anak berdua? Kenapa hanya Ibu yang dipermasalahkan? He he he, jangan gitu dong!

Menurut saya (lagi), urusan rumah tangga itu urusan suami dan istri yang memang dari awal merekalah yang merencanakan dan menyebabkan terbentuknya sebuah rumah tangga. Ingat, anak-anak tidak terlibat sama sekali dalam perencanaan ini. Bahkan dalam pelaksanaan mereka lebih banyak sebagai obyek (penderita ha ha ha). Nggak lah, kalau suami istri bijak, tentu anak adalah obyek bahagia. Atau bahkan ikut menjadi subyek juga. Lha kok seperti pelajaran Bahasa ya?

Jadi, dalam sebuah rumah tangga, suami dan istrilah yang harus menentukan dari awal Visi, Misi, rencana jangka panjang dan jangka pendeknya. Juga pelaksanaan dan evaluasinya. Gitu kan? Apapun keputusan mereka, merekalah yang menentukan dan akan menanggung segala akibatnya. Dan, harusnya jangan sampai merugikan anak yang sebenarnya tidak ikut merencanakan tetapi PASTI ikut menanggung akibatnya.

Ya, terserah bagaimana mereka mengaturnya. Apakah Ibu di rumah Bapak bekerja, atau Ibu bekerja Bapak di rumah, atau dua-duanya bekerja, atau dua-duanya di rumah. Ya, karena kalau seorang Ibu di rumah karena terpaksa (karena disuruh atau karena tidak ada kesempatan bekerja di luar rumah) sudah pasti akan merugikan anak karena itu bukan pilihan hatinya.

Yang penting, jika memang berdua tidak di rumah, jangan pelit untuk menggaji profesional ngurus anak, ngurus rumah, memilih sekolah yang baik untuk anak (misalnya Berlian Bangsa School...........ha ha ha promosi!) dan bantu sekolah terutama secara finansial, jangan sok tahu tentang anak kalau memang tidak tahu. Ya belajar dari yang tahu. Tidak ada orang yang serba tahu, yang sempurna! Tulll ..........bet......?

Masalah quality time? Ya, jujur aja, itu karena “ngeles” apa bener-bener quality time? Pengalaman saya sih, kalau kerja seharian dari pagi sampai malam ya pasti tenaga terkuras, pikiran juga sudah terforsir, waktu, masa sih anak dikasih sisa-sisa waktu tapi dibilang waktu yang berkualitas? Apalagi kalau anak masih balita? Apa anaknya juga belum capek saat ibu bapaknya pulang? Yaaaaaaaaa tapi itu kan saya dan suami saya?! Siapa tahu Ibu Bapak lain “super hebat”. Jadi biarpun pulang malem masih ok kualitas tenaga, pikiran, dan waktunya. Salut buat mereka.

So, mau kerja keluar rumah, mau di rumah urus anak, terserah! Yang penting, semua dengan sepenuh hati. Jangan rugikan anak, jangan rugikan rumah tangga lain. SETUJU DONG ?!! Masalah hasil? Anak jadi baik atau tidak? Wah, itu perlu bahasan yang panjang. Lain kali ya. Bye now!!

BOLEH MEROKOK

Yang beneeer ?? Boleh merokok?
Ha ha ha, baca terus donk!!

Memang sekarang sudah banyak tempat umum yang menyediakan area khusus untuk merokok. Yah, tetapi penggunaannya belum terlihat efektif. Para perokok tetap saja asyik merokok di tempat umum tanpa malu atau risih. Seperti juga pelaku kesalahan lain yang tidak pernah malu atau risih.

Biarpun banyak tempat memasang gambar rokok yang dicoret alias dilarang merokok, tetep saja orang yang merokok lebih bebas dibanding orang yang tidak merokok dalam memanfaatkan udara bersih dan segar yang memang sudah sulit didapat di Jakarta ini atau mungkin juga di kota lain ya?

Malah, di ruang yang tertutup semua, sirkulasi juga muter saja karena ber AC, tetap saja para perokok bebas menggunakannya untuk merokok. Dan............sayangnya hampir tidak ada yang “berani” menegur meski ada larangan merokok di area tersebut. Karena memang biasanya yang salah lebih galak dan anehnya apabila terjadi perdebatan orang sekitar biasanya akan menyalahkan yang menegur (cerewet amat sih!??).

Ya, dunia ini kok saya rasa makin aneh. Kalau kita berbuat benar malah banyak tidak dibela orang. Kita akan dianggap tidak toleran atas kesalahan kecil orang. Lho!!!! Padahal sekecil apapun kalau salah ya harus dibilang salah dan disalahkan, ditegur supaya tidak makin besar. Jangan dibela! Yang benar yang harus dibela. Tapi, yah....begitulah kenyataannya. Mungkin orang sudah terlalu banyak berbuat salah sehingga kalau membela kebenaran takut dibilang munafik atau takut kesalahannya juga akan dibongkar. Kan setiap orang pasti punya salah to?

“Maaf ya Pak, bisa rokoknya dimatikan? Saya tidak tahan asapnya. Ada anak kecil dan bayi pula.”
“Ini kan tempat umum.”
“Justru karena ini tempat umum, maka saya minta Bapak jangan merokok di sini.”
“Suka-suka saya dong, orang ini tempat umum. Saya kan juga berhak merokok di sini.”
“Bapak yang baik, jika ini bukan tempat umum, jika ini tempat pribadi Bapak, maka memang benar suka-suka Bapak. Tetapi oleh karena ini tempat umum, maka Bapak tidak bisa suka-suka. Karena ini tempat umum, Bapak WAJIB menjaga kebersihan udara di sini dan sama sekali tidak berhak mengotorinya dengan asap rokok atau polutan lain. Tuhan menciptakan udara segar untuk semua manusia. Semua manusia berhak atas udara bersih itu, bukan udara dengan asap rokok. Maka jika Bapak mau mengotori udara dengan asap rokok, sebaiknya di tempat yang bukan untuk umum.”

Begitu pernah saya menegur orang yang merokok di tempat umum. Dan, tidak ada satu orangpun yang membela saya. Mereka diam, atau malah menyalahkan saya yang mereka nilai tidak toleransi terhadap orang lain. Mereka tidak membela saya yang mereka nilai “sok”, yang mereka nilai ikut campur urusan orang lain, dsb.

Baru urusan menegur orang merokok di tempat umum saja ternyata sudah berat dan banyak “serangan”, gimana kalau menegur perbuatan lain yang sudah dianggap “biasa” meski itu salah? Nah, bagaimana kita ingin negara kita baik, bersih, tidak ada koruptor, jika untuk kesalahan (yang dianggap kecil karena sudah biasa dilakukan orang) kita tidak diberi kesempatan untuk mngingetkan pelaku kesalahan?

Padahal menurut saya merokok itu berarti sudah merusak tubuh yang Allah ciptakan untuk kita rawat seperti juga bagian diri kita yang lain (akal dan rohani kita). Jadi merokok itu ya salah!! Meski di ruang tertutup dan dihisap sendiri asapnya. tapi kan terserah, dia juga yang nanggung akibat dan yang akan mempertanggung jawabkan perbuatannya itu. Yang jelas; “BIASAKANLAH YANG BENAR DAN JANGAN MEMBENARKAN YANG BIASA!”

Senin, 03 Desember 2007

HATI-HATI PENGARUH LUAR

Sepetember 2001

Farras baru kelas 1 SD. Dia memang tajam analisanya seperti do’a kami yang kami panjatkan lewat namanya, FARRAS (yang sangat tajam pikirannya), namun kami ingin dia juga ABIYYU (yang berhati mulia). Dia sekolah di SDIT yang waktu itu masih baru mulai marak. Ya, dia masuk saat sekolah itu sudah jalan tahun ketiga.

“Ma, kata Bu guru dan Pak guru di sekolah, kita nggak boleh belanja di (dia menyebut salah satu merk makanan waralaba terkenal).”
“?????????? Mengapa pinter?”
“Karena, keuntungannya akan dipakai untuk nembakin anak-anak muslim.”
“??????????!!!!!!!!!!!!HHHHHHHHGGGGGGGGGGTTTTT??????!!!!!!!!!!!”

Astaghfirullah, geraaam sekali rasanya aku mendengar anakku diberi pengaruh seperti itu. Mengapa mereka memberi pengaruh seperti itu kepada anak usia 6 tahun? Apa mereka punya data sebagai bukti atas provokasi mereka itu? Apa mereka tidak sadar kalau itu adalah fitnah jika tidak benar? Apa mereka tidak takut dituntut? Itu kan sudah SARA? Ya, berbagai pertanyaan berkelebat di kepalaku yang bingung.

Kemudian aku hanya berusaha untuk memaklumi, mungkin mereka khilaf, mungkin mereka belum tahu, mungkin mereka masih sangat baru sehingga masih “terlalu” semangat dengan “ghirahnya” yang salah arah. Tapi, tunggu dulu, bukan DEWI kalau diam saja. Aku harus jaga anakku dari pengaruh yang aku tidak mau untuk anak-anakku.

“Sayang mama yang pinter, mungkin Bapak & Ibu guru di sekolah salah ngomong karena capek. Bukan gitu nak. Papa kan kenal sama pemiliknya di Indonesia.”
“Emang iya, Ma?”
“Lha iya, orang Papa sekantor (waktu Papa masih kuliah kan kerja sambilannya di gedung yang sama dengan Om pemilik waralaba itu.”
“Dia orang Islam Ma?”
“Iya, malah, di gedung itu tadinya nggak ada masjid untuk shalat Jum’at. Tapi karena Om itu di situ, maka dia buat masjid. Nah, karyawan situ bisa shalat Jum’at sekarang. Kan masjid itu dibangunnya dari keuntungan makanan itu. Nah, berarti, beruntung kan Islam ada yang diambil waralabanya oleh Om itu di Indonesia.”
“Ooooooooo, gitu ya Ma? Untung aku belum ceritain ke orang-orang. Nanti pada nggak beli lagi kan kasihan Om itu ya Ma. Dia sudah baik.”
“Iya, lagian karyawannya juga banyak yang muslim lho. Untung aja Mas Farras cerita ke mama. Jadi mama bisa koreksi kata bu gurunya mas Farras.”
“Ya memang harus cerita ke mama. Kan Mama paling pinter, pasti lebih ngerti. Apalagi dibanding guruku, ya pasti pinteran mama donk. Kalau apa-apa nggak cerita mama kalau salah gimana?”

He he he, jadi GR nih.
But, inilah salah satu penghiburku jika ada tanggapan miring tentang keputusanku melepas pekerjaan kantor (yang menurut sebagian besar orang pekerjaan hebat dan menjanjikan) dan memilih menjadi “Pencetak Generasi”.

Minggu, 02 Desember 2007

KASIHAN ADEK BAYI

Maret 2007.
Anak sulungku memperhatikan terus bagaimana aku mengurus adik bayinya yang berumur 3 bulan. Dia memperhatikan kami dengan sangat serius. Entah apa yang ada di benaknya.

“Untung dulu Mama urus kami sendiri waktu kami bayi.”
“Ada apa sayang?”
“Aku seneng mama urus aku waktu bayi, bukan baby sitter atau pembantu.”
“Memangnya kenapa kalau yang urus baby sitter atau pembantu?”
“Coba mama lihat adek Vania, keciil, pasrah diapain aja, nggak bisa ngapa-ngapain, terserah yang ngurusin mau diapain, dikasih apa ke mulutnya pasti dia makan, semuaaa bener-bener terserah yang urusin.”
“Memang iya. Bayi manusia itu memang secara fisik paling lemah dibanding bayi binatang. Kalau bayi binatang, lahir, nggak lama kemudian bisa berdiri, jalan, bahkan cari makanan.”
“Iya Ma, coba kalau bayi diurus oleh orang yang nggak sayang seperti sayangnya mama sama kami, kasihan kan?”
“Ya, Mama memutuskan urus kalian sendiri karena memang yang diberi amanah itu Mama. Memang ada amanah yang bisa didelegasikan pelaksanaannya ke orang lain. Tapi menurut Mama, khusus untuk pengurusan anak terutama bayi sampai umur 5 tahun, Mama harus yang langsung ngurus kalian. Ya, Mama merasa tidak ada yang pantas dan kapabel untuk mengurus kalian selain Mama!”
“Makasih ya Ma, Mama memang paling hebat di dunia.”

Itulah sekelumit percakapanku dengan buah hati sulung yang sudah beranjak remaja. Dia memang “Berlian”.

Sabtu, 01 Desember 2007

SIAPA POSTING KE BLOG SAYA?

Hari ini saya sangat heran.

Saat membuka blog, kok ada posting yang masuk draft dan saya tidak kenal dengan posting itu. Siapa yang bisa masuk blog saya bahkan posting di sana?

Langsung saya buka dan saya baca isi postingan tersebut.

Walaaah, saya baru "ngeh" dan bisa menduga siapa "pelaku"nya. Ya, melihat bahasanya yang hanya dia dan Allah yang tahu, pastiii baby cantik tersayang yang pinter yang telah masuk blog saya dan melakukan posting.

Hp saya juga ternyata beberapa SMS atau panggilan telah dilakukan dari Hp saya dengan tulisan yang "sangat indah" sampai tidak terbaca.

Begini resikonya punya "berlian" dengan karat yang tidak akan tertolak di pasar manapun.

SHALAT SAMBIL URUS BAYI, SIAPA TAKUT ??

Tidak setiap punya bayi ada orang lain di rumah yang bisa menjaga bayi saya saat saya harus melakukan hal tertentu, shalat misalnya. Makanya saya harus kreatif menyiasatinya.

Saat bayi saya masih sangat kecil (dibawah 3 bulan), saya biasa shalat di dekat dia agar dia melihat saya selama saya melakukan shalat. Yah, dia saya taruh di sebelah saya persis. Saya berharap, dia melihat dan mengikuti kegiatan saya tersebut dengan mata dan hatinya. Yakin aja!

Apabila dia menangis dan tidak mau ditaruh, saya shalat sambil menggendong dia. Biasanya sih, dia akan sangat menikmati dan terkadang sampai tergelak-gelak. Entah apa yang membuat dia tertawa seperti itu. Mungkin dia merasa mamanya lucu, mungkin dia senang seperti naik ayunan, atau dia senang karena ikut shalat. Wallahu alam.

Sejak dia bisa duduk (6-7 bulan), dia akan mengikuti gerakan saya shalat. Seperti bersedekap, mulut komat kamit, dan.........sujud! ya, seperti bayi cantik saya sekarang (11 bln) setiap saya shalat diapun shalat. Takbiratul ihram, sujud, berdo’a (menengadahkan dua tangan dan mengusap mukanya). Kemudian dia akan mencium tangan saya, papanya, dan mas-masnya jika mereka ada.

Nah, nggak ada alasan nggak shalat karena nggak ada yang “pegang” bayi kita kan? Ternyata malah membuat baby cepat belajar shalat!

Jumat, 30 November 2007

KE MASJID, DULUUUUUUUUUUUUUU

Karena cerita tentang anakku kok males ke masjid, saya jadi ingat kisah mereka duluuu (4-5 tahun lalu / sekitar tahun 2002-2003). Saya copy aja ya.............. :

Sore itu adzan Maghrib sudah berkumandang, disusul suara Iqamat mengajak umat Islam segera berdiri untuk mendirikan Shalat Maghrib. Dengan sarung masing-masing, Hafizh (10 th), Farras (7 th), dan si bungsu Rafi (3 th) sudah siap ke masjid.

Tapi..................., lho! Kok malah pada diam ya?

“Sudah Qamat lho ganteng-ganteng!”
“Ntar dulu, Ma.”
“Hayooo, nunggu apa lagi, sudah hampir selesai 1 raka’at tuh.”

Mereka bertiga malah asyik mengerumuni papanya yang baruuuu aja datang dari kantor dan sedang melepas sepatunya.

Saya sangat heran dengan ketidak biasaan mereka ini. Kemudian papanya berlalu ke kamar mandi setelah mengelus kepala tiga jagoannya. Tiba-tiba mereka bertiga berkacak pinggang (lucu sebenarnya tetapi saya berusaha serius karena muka mereka serius, dan....tambah lucu).

“Jadi begitu ya, Mama! Kalau anak-anaknya aja disuruh shalat ke masjid, kalau SUAMINYA nggak ke masjid dibiarin!”

Mereka bertiga langsung melesat ke masjid takut kehilangan 1 rakaatnya dan meninggalkan saya yang sangaaaat terkesima dan suami saya yang langsung keluar dari kamar mandi karena mendengar protes mereka. Haaaaaaaaaah mereka bilang ke saya SUAMINYA? Waduuuh, kok gituuuu???

Kami berdua saling pandang, senyum, komentar: “That are your sons!”

Kamis, 29 November 2007

LHO, KOK ANAK-ANAKKU MALES SHALAT KE MASJID?

Adzan Maghrib sudah berkumandang...................................

Iqamat sudah diperdengarkan.............................

Kok anak-anak masih pada asyik dengan kegiatannya? Nggak seperti biasanya mereka begini? Saya perhatikan, sudah 2-3 hari ini adaa saja alasan mereka bergantian minta ijin tidak shalat berjamaah ke masjid.

“Maaa, aku sedang makan.”
“Maaa, aku sedang mandi.”
“Maaa, aku nggak shalat di masjid dulu ya, capek.”
“Maaa, hujan gerimis, boleh dong nggak ke masjid.”

Begitu mereka beralasan bergantian. Tapi, hari ini kok kompak? Semua masih santai, tidak ada yang tergopoh-gopoh berlari ke Masjid karena raka’at pertama sudah mulai. Ya, mereka kadang nunggu baca surat apa gerangan sang Imam shalat saat itu. Jika surat pendek, mereka segera melesat ke masjid takut ketinggalan raka’at pertama. Tapi, jika surat panjang, wah, nyantai dulu aah.toh suratnya panjang, masih sempet ngikut imam di raka’at pertama. Bandel memang, namanya anak-anak, karena banyak surat yang mereka hafal, malah dijadikan alat untuk lambat-lambat ke masjid.

Mulai dari.................:
“Siapa yang mau uang Rp 1.000,- dan siapa yang mau Rp 27.000,-?”
“Bagaimana Allah mau memberikan yang kalian minta kalau kalian tidak melaksanakan apa yang Allah suka?”
“Kira-kira papa mama Allah kasih rejeki nggak ya kalau anak-anaknya nggak shalat jamaah di masjid?”
“Siapa yang mau rumah iiiiiindaaaaaaaaaaaaah banget di syurga?”

Sampai...........:
“Mama tidak mau kalian tidak shalat jamaah di masjid padahal tidak ada uzur!”
“Mulai sekarang, pulang sekolah mandi, makan, dll supaya saat shalat Maghrib tidak ada yang beralasan macam-macam untuk tidak berjamaah di masjid. Mama tidak mau anak-anaknya tidak dicintai Allah karena tidak melakukan apa yang Allah suka!”

He he he, galak ya? Nggak sih, semua ngomongnya pakai ngelus dan ciumi mereka lho. Kalau parah, baru deh agak menunjukkan kesedihan hampir nangis gitu. Mereka nggak mau lihat mamanya sedih, apalagi sampai nangis gara-gara tingkah mereka.

Alhamdulillah, sekarang sudah tidak begitu lagi. Mereka sudah shalat jamaah ke masjid tanpa disuruh. Tapi memang saya harus sekali-sekali memotivasi mereka. Lha, kan papanya sampai rumah sudah lewat Isya’.

Saya memang tidak ingin anak-anak saya tidak melakukan apa yang Allah suka, termasuk shalat berjamaah di masjid.

Rabu, 28 November 2007

“DIAJENG”

Dua bulan yang lalu, Vania, bayiku yang masih berumur 9 bulan sering mengeluarkan suara yang sangat familiar di telinga kami (aku, suami, dan anak-anak). Mulanya kami tidak terlalu memperhatikan. Namun lama kelamaan makin nyata terlebih saat bayi saya itu menangis atau merajuk.

“Dieejeeeeng..........” begitu kata yang dia ucapkan. Kami sekeluarga sontak tertawa bersama saat kami akhirnya beramai-ramai memperhatikan dengan seksama apa yang sebenarnya dia ucapkan.

He he he. Mengapa kami tertawa? Ya, karena DIAJENG itu adalah panggilan dari suamiku kepadaku yang merupakan bahasa Jawa yang artinya “adinda”. Suamiku tidak menyangka baby cantik kami sudah mulai bicara di umur 9 bulan. Jadi dia masih memanggilku “diajeng” karena anak kami yang lain sudah besar dan faham untuk tidak meniru bagaimana papanya memanggil mamanya.

Sejak itu, suamiku memanggilku “Mama”. Sekarang, Vania mungil kami yang berumur 11 bulan memanggilku “Mama”. Sambil berjalan ala “drunken master” dia akan teriak “Mama...............Mama............” he he he. That’s our pretty baby.

Senin, 26 November 2007

JALAN

Pagi ini, 12 November 2007 bayi cantikku mulai bisa berjalan tanpa berpegangan. Menjelang umurnya yang ke 11 bulan. Lucu sekali. Meski hanya beberapa langkah, sudah sangat menggembirakan seluruh anggota keluarga.

Semua memberi semangat jika melihat dia berdiri untuk berjalan. Semua menyarankan untuk perlahan-lahan dan hati-hati agar tidak jatuh. Ya, semua memberi dukungan positif, even saat dia terjatuh.

Duuhh, indahnya jika seumur hidup kita mendapat dukungan semangat dan hiburan seperti itu. Apapun yang kita lakukan pasti akan berbuah manis dan tidak ada putus asa karena banyak support yang selalu menyertai setiap langkah kita.

KORUPSI

Saya pernah menulis opini tentang mengapa korupsi semakin merajalela dan sulit diberantas di suatu media. Bisa ditebak? Tidak dimuat! He he he memang tulisan saya tidak lagi diminati media cetak seperti saat saya kecil dulu. Kenapa ya? Mungkin kalau anak kecil punya pendapat berbeda dianggap inovatif. Eee sudah tua kok nggak mau ikut arus? Ya nggak laku! Padahal katanya sudah era reformasi? Ternyata reformasi itu hanya berlaku untuk yang banyak temannya.

Nggak papa.
Ok, saya akan tulis lagi pendapat saya tentang sulitnya korupsi diberantas, dan saya masukkan blok saya. Siapa yang mau ngelarang hayo! Pasti dimuat donk!

Menurut saya, korupsi akan sulit diberantas selama masyarakat menyukainya. Ngawur! Lho, masa sih saya ngawur? Kan menurut saya. Kalau memang masyarakat tidak menyukainya, pasti akan ada sanksi sosial yang berat jika ada orang yang korupsi meski dia bagi-bagi kepada orang lain dan tidak ketahuan atau ditangkap. Kadang saya pikir, orang akan teriak berantas korupsi kalau dia dan / atau keluarganya tidak kebagian atau tidak mendapat kesempatan untuk melakukan korupsi.

Ngawur lagi? Ya nggak to. Wong orang atau kelompok orang yang mengaku berbasis agama aja setelah mendapat kesempatan mereka juga korupsi. Kok saya berani ngomong gitu? Lha saya hanya melihat tindakan mereka dan mendengar dari mulut mereka sendiri. Memang saya tidak pernah mendokumentasikan karena saya tidak ada maksud mendiskreditkan seseorang. Yang menyedihkan, untuk mendasari perbuatan mereka itu tidak sungkan-sungkan menggunakan ayat Allah. Naudzubillah mindzalik.

Ada lagi fenomena yang tidak kalah menyeramkan. Orangtua terutama Ibu yang semestinya menjadi saringan paling bagus agar anaknya selalu “fitrah” sudah jarang berfungsi dengan baik. Iya, seorang ibu saat sekarang ini akan bangga dan tidak banyak bertanya jika anaknya kaya, banyak melimpahinya dengan harta, fasilitas, dsb. Akan tetapi seorang ibu akan menanyakan “mengapa” jika anaknya masih miskin saja sementara teman-temannya sudah berlimpah harta.

Kadang memang kesannya orang tidak korupsi, akan tetapi dia akan memberikan kesempatan kepada keluarga, teman, golongan, untuk “proyek” yang ada di lingkungan kerjanya. Yah, itu korupsi juga Bu, Pak.

So, kapan korupsi mudah diberantas? Kalau masyarakat sudah tidak suka dan sanksi masyarakat akan efektif kedapa orang yang melakukan korupsi dalam bentuk apapun. Kalau kita sudah mendidik anak-anak kita untuk malu berbuat jelek, malu mengambil yang bukan hak kita, malu untuk tidak jujur, dll. Ya, kita masing-masing memperbaiki diri maka masyarakat akan menjadi baik karena komponennya sudah baik.

Minggu, 25 November 2007

WARTAWAN

Profesi ini akan sangat memberi pengaruh kepada masyarakat. Apalagi sekarang ini, terutama wartawan televisi sangat mempengaruhi cara pandang masyarakat. Masyarakat kita belumlah dewasa dalam menanggapi berita yang disajikan oleh para wartawan di media televisi utamanya. Banyak diantara mereka yang “asal telan” informasi yang tersaji tanpa memilah dan mengolah terlebih dahulu.

Masyarakat menganggap apa yang disajikan oleh wartawan sudah masak, sudah ditelaah dan dicompare dari berbagai sudut pandang, sehingga mereka percaya 100%. Belum lagi mengingat penonton bukan hanya orang dewasa. Terkadang ada tayangan dewasa yang memang ditayangkan malam hari, tetapi iklan atas tayangan tersebut di jam-jam yang “asal” ada pagi, siang, atau sore hari. Pernah anak saya yang waktu itu berumur 7 tahun bertanya; “Ma, ejakulasi dini itu apa?” Nah, siapa yang mau bertanggung jawab?

Ada lagi, tayangan dengan tulisan kecil diatas layar “BO” tetapi tayangan tersebut isinya beberapa tidak pantas untuk anak-anak. Itu namanya “kurang ajar” yang membuat orangtua harus menyelesaikan pekerjaan si pembuat tayangan karena harus menjelaskan sesuatu yang bukan porsi anak-anak kepada anak-anak. Harusnya, “BO” artinya tayangan memang untuk semua umur akan tetapi perlu penjelasan. Contohnya “Tom and Jerry” yang sering terjadi ketidak adilan karena selalu Tom yang celaka meski Jerry yang nakal.

Dalam pemberitaan, wawancara (yang sering seperti interogasi dan memojokkan), ilustrasi berita, kekerasan, reka ulang yang harusnya hanya konsumsi polisi atau penegak hukum lain dengan tujuan menggali kebenaran dan sama sekali tidak ada kepentingannya publik melihat hal itu tetapi dengan gamblang disajikan kepada publik.

Wartawan, seharusnya mendulang pahala yang banyak jika fungsinya mencerdaskan masyarakat dengan informasi yang benar dan bertanggung jawab. Jangan karena merasa harus menyampaikan kebenaran tetapi tidak peduli dampak buruk yang bisa terjadi.

Sabtu, 24 November 2007

INVESTASI

Saya ingin cerita pengalaman saya mengelola uang semoga bermanfaat. Ada saran? Welcome banget.

Sejak kecil saya biasa berfikir jauh ke depan dalam segala hal.Sejak anak pertama lahir, saya berfikir tentang biaya sekolahnya. Saya dan suami pegawai negeri, meski kata orang gaji kami "lumayan" apalagi berdua dan ditambah sambilan di malam hari (mumpung masih muda), saya yakin saat anak saya besar inflasi akan "mbalap" penghasilan.Praktis aja, tiap bulan saya sisihkan Rp25.000,- tiap anak saat gajian untuk ditabung sejak anak lahir. Karena takut terpakai, saya beli US$. Waktu itu US$1 = Rp2.400,-. Tak disangka, tahun 1997 US$ melejit sampai Rp 18.000,-, saya rupiahkan US$ saya dan kembali saya US$ kan saat harga Rp 6.000,-

Jadi berlipat kan?OK? Saat saya merasa sulit membagi waktu antara karir dan anak, saya putuskan untuk fokus pada anak. Dasar nggak bisa diam, saya coba berbagai usaha dan investasi. Bahkan sempat tertipu (berkali-kali) , ada yang sampai sekarang masih terutang belum tertagih. Ada teman pengacara akan tuntut dan lapor polisi karena jumlah "lumayan besar" bagi saya, tapi saya nggak tega (kasihan anak-anaknya kalau Bapak Ibunya ditangkap polisi). Sekarang mereka nggak tahu kemana tapi saya berharap Allah buka hati mereka untuk mengembalikan uang saya.

Karena pensiun PNS saya anggap tidak cukup untuk membiayai gaya hidup kami nanti (saya ingin bebas waktu dan uang saat pensiun tanpa ngrepoti anak), maka sejak beberapa tahun lalu saya investasi jumlah tertentu tiap bulan di reksadana. Ya, menurut saya menabung kurang OK, investasi baru OK.

Sekarang saya punya baby lagi, jadi tidak bisa mobile, karena saya selalu urus baby saya sendiri dan menikmati kerepotan yang tidak akan pernah terulang. Maka saya alihkan dana usaha yang tersisa dengan investasi yang bisa saya pantau lewat dunia maya. Konservatif banget sih, dana segitunya harus konservatif.

Saya juga ingin investasi akhirat (ilmu yang bermanfaat), maka sejak 2 tahun lalu saya membuka sekolah (TK & SD). Memang tidak gratis karena saya ingin nantinya sekolah bisa survive membiayai dirinya sendiri tanpa minta-minta. Lagipula, menurut saya, bukan hanya anak dari keluarga miskin yang perlu dibantu. Anak dari keluarga yang mampu secara materi juga perlu bantuan berupa pendidikan yang tepat. Sekarang sekolah masih pinjam rumah saya yang agak luas (sementara saya pindah ke tempat lain yang kecil). (Ada masukan dari Bapak Ibu yang baik untuk mencari lahan dan dana untuk membangun gedung? Karena sekolah ini bukan profit motif). Lho, kok malah curhat? Maaf jangan terlalu diambil hati n jadi beban ya.

Memang, kami hemat, berusaha bijak dalam finansial (kan nantinya juga akan ditanya darimana kita mendapat dan kemana membelanjakan rejeki kita), anak-anak saya ajak berfikir dan bertindak bijak, dan kami bersyukur atas semua ini.Nah, harapan saya, sekolah anak-anak (anak saya 4)lancar, suami saya bisa pensiun muda, "pacaran" lagi karena anak-anak sudah besar, jalan-jalan, dll. Amiin.