Halaman

Senin, 31 Desember 2007

BENCANA........................LAGI

Bencana! Banjir, tanah longsor, kembali menerjang tanah air tercinta. Televisi dan media lain "heboh" memberitakan hal ini. Dan tentu saja kejadian yang dramatis akan menempati prioritas utama. Entahlah mengapa pemberitaan sekarang senang sekali mengedepankan kisah dramatis seperti seorang ibu yang pingsan karena tidak makan dan kedinginan, balita yang meninggal karena terjatuh, dsb.

Milist-milist pun tidak ketinggalan ramai membicarakan dan menggalang dana. Yayasan, LSM, semua heboh. Hebat empati mereka?

Kalau saya justru prihatin dengan keadaan ini. Ya, mereka berempati pada korban bencana. Sementara, mereka sendiri sedang "menyiapkan bencana" yang jauuh lebih besar dan hebat di muka bumi ini sekian puluh tahun mendatang.

Dewii, jangan menuduh gitu donk!!!

He he he, maaf deh. Mungkin saya juga punya andil untuk itu. Ya, mungkin kita semua sedang merencanakan "bencana" yang sangat besar jika kita tidak waspada dari sekarang. Bencana itu akan terjadi jika kita tidak segera membenahi diri kita, menyiapkan anak-anak kita untuk menyongsong era mereka nanti.

Bayangkan bagaimana orangtua sekarang sibuk mencari eksistensi mereka sendiri, anak-anak diserahkan pengasuhannya ke pembantu, baby sitter, sopir. Anak-anak dijejali dengan les ini itu, sekolah unggulan, fasilitas materi berlimpah. Kita lupa, anak-anak perlu "kasih sayang", "perhatian", "bimbingan" contoh, arahan, bekal budi pekerti, perilaku, attitude, akhlaq.

Ya, akhlaq!!

"Lho anak saya sudah ngaji tiap sore! Hafalan Al Qur'an juga sudah banyak."
"Iya, anak saya ke gereja tiap minggu!"

He he he sekali lagi maaf, memang mungkin masih sulit menerima pendapat saya yang saat ini "aneh". Kalau kita sadar, anak-anak sekarang kehilangan makna sebuah keluarga. Mereka kelihatannya sangat aman, sangat terurus, padahal TIDAK. Ya, bahkan ngaji tiap hari, ke gereja tiap minggu, seringkali hanya karena orangtuanya ingin lepas tanggung jawab. Mereka ingin dianggap agamis, tetapi tidak membimbing dan memberi contoh sendiri untuk anaknya. Jadi, agamapun hanya dilihat secara materialistis. Bangga anaknya pinter ngaji meski penerapannya tidak ada. Bangga anaknya rajin ke gereja meski kelakuannya minus mereka nggak peduli.

Ya, orangtua sibuk bekerja dengan dalih untuk anak, tetapi sebenarnya untuk diri mereka sendiri. Apa betul anak memerlukan ganti mobil baru tahun depan atau kebersamaan meski dengan mobil butut? Apa betul anak membutuhkan apartemen, apa betul anak perlu mainan mahal, baju mahal, liburan mahal, jajan ke restoran mahal, atau rumah sederhana namun hangat dan penuh canda tawa? Apa betul anak perlu pembantu banyak, baby sitter seorang satu, atau bersama menyelesaikan keperluan rumah? Apa iya anak perlu orangtuanya memakai gelar berentet di depan maupun di belakang namanya, atau orangtua bijak yang selalu mencari solusi cerdas untuk membimbing mereka?

Coba kita introspeksi diri. Kita berbuat yang terbaik untuk mencegah "bencana" hebat yang akan terjadi jika kita tidak menyiapkan generasi mendatang dengan baik. I wish, kita juga "heboh" menanggapi persiapan penanggulangan "bencana" lebih dari menanggapi bencana banjir, tanah longsor, tsunami, dsb.

Setuju donk!!!!

Tidak ada komentar: