Halaman

Senin, 03 Desember 2007

HATI-HATI PENGARUH LUAR

Sepetember 2001

Farras baru kelas 1 SD. Dia memang tajam analisanya seperti do’a kami yang kami panjatkan lewat namanya, FARRAS (yang sangat tajam pikirannya), namun kami ingin dia juga ABIYYU (yang berhati mulia). Dia sekolah di SDIT yang waktu itu masih baru mulai marak. Ya, dia masuk saat sekolah itu sudah jalan tahun ketiga.

“Ma, kata Bu guru dan Pak guru di sekolah, kita nggak boleh belanja di (dia menyebut salah satu merk makanan waralaba terkenal).”
“?????????? Mengapa pinter?”
“Karena, keuntungannya akan dipakai untuk nembakin anak-anak muslim.”
“??????????!!!!!!!!!!!!HHHHHHHHGGGGGGGGGGTTTTT??????!!!!!!!!!!!”

Astaghfirullah, geraaam sekali rasanya aku mendengar anakku diberi pengaruh seperti itu. Mengapa mereka memberi pengaruh seperti itu kepada anak usia 6 tahun? Apa mereka punya data sebagai bukti atas provokasi mereka itu? Apa mereka tidak sadar kalau itu adalah fitnah jika tidak benar? Apa mereka tidak takut dituntut? Itu kan sudah SARA? Ya, berbagai pertanyaan berkelebat di kepalaku yang bingung.

Kemudian aku hanya berusaha untuk memaklumi, mungkin mereka khilaf, mungkin mereka belum tahu, mungkin mereka masih sangat baru sehingga masih “terlalu” semangat dengan “ghirahnya” yang salah arah. Tapi, tunggu dulu, bukan DEWI kalau diam saja. Aku harus jaga anakku dari pengaruh yang aku tidak mau untuk anak-anakku.

“Sayang mama yang pinter, mungkin Bapak & Ibu guru di sekolah salah ngomong karena capek. Bukan gitu nak. Papa kan kenal sama pemiliknya di Indonesia.”
“Emang iya, Ma?”
“Lha iya, orang Papa sekantor (waktu Papa masih kuliah kan kerja sambilannya di gedung yang sama dengan Om pemilik waralaba itu.”
“Dia orang Islam Ma?”
“Iya, malah, di gedung itu tadinya nggak ada masjid untuk shalat Jum’at. Tapi karena Om itu di situ, maka dia buat masjid. Nah, karyawan situ bisa shalat Jum’at sekarang. Kan masjid itu dibangunnya dari keuntungan makanan itu. Nah, berarti, beruntung kan Islam ada yang diambil waralabanya oleh Om itu di Indonesia.”
“Ooooooooo, gitu ya Ma? Untung aku belum ceritain ke orang-orang. Nanti pada nggak beli lagi kan kasihan Om itu ya Ma. Dia sudah baik.”
“Iya, lagian karyawannya juga banyak yang muslim lho. Untung aja Mas Farras cerita ke mama. Jadi mama bisa koreksi kata bu gurunya mas Farras.”
“Ya memang harus cerita ke mama. Kan Mama paling pinter, pasti lebih ngerti. Apalagi dibanding guruku, ya pasti pinteran mama donk. Kalau apa-apa nggak cerita mama kalau salah gimana?”

He he he, jadi GR nih.
But, inilah salah satu penghiburku jika ada tanggapan miring tentang keputusanku melepas pekerjaan kantor (yang menurut sebagian besar orang pekerjaan hebat dan menjanjikan) dan memilih menjadi “Pencetak Generasi”.

Tidak ada komentar: