Akhir November 2001 secara tiba-tiba saya mendapat kabar dari Solo kalau Ibu sakit Hepatoma, kanker hati stadium IV. Memang tiba-tiba, karena sebelumnya ibu habis general check up persiapan mau berangkat haji Januari 2002. Adik saya yang dokter menangis terus karena dia tahu bahwa ibu merasa sakit sekali oleh penyakit itu dan secara medis umur ibu tidak akan lama lagi. Kami sudah memesan satu kamar di Rumah Sakit Islam Surakarta, dan sesuka ibu apakah mau tinggal di rumah atau di RS. Semua dokter sudah stand by, kapanpun ibu perlu mereka sudah siap.
Saya sekeluarga pulang ke Solo sekalian liburan Hari Raya Idul Fitri. Ibu ingin pulang, kami jemput ke RS. Di rumah, ibu kelihatan agak baikan. Bisa jalan-jalan ke dapur, ke kebun, ke ruang lain. Ruang-ruang tersebut tidak dekat mengingat rumah Bapak Ibu tidaklah kecil. Kami senang, ibu baikan. Semua anaknya pulang, termasuk kakak yang sedang sekolah S3 di Amerika Serikat dan kakak ipar yang di Jepang. Bapak Ibu nampak bahagia anak-anaknya berkumpul semua. Sepertinya kebahagiaan orangtua memang anaknya.
Setelah Lebaran kami harus pulang ke Jakarta karena memang libur hampir habis, dan kami lihat Ibu sudah baikan. Sampai Jakarta, wow, rumah kami yang memang tidak terlalu rapi terlihat sangat berantakan sekaligus “kosong”. Ternyata selama kami pergi ada maling yang menggerayangi rumah kami. Yah, rumah kami “bersih”, semua diambil mulai dari laptop, TV, Tape, radio, PC, blender, kompor gas + tabungnya, juicer, dll sampai sepatu dan mainan anak. Pokoknya "bersih", tinggal kulkas, sepeda motor dan mobil mungil saya. Mungkin karena besar-besar, jadi nggak dibawa, atau memang masih “milik” kami.
Urus laporan polisi, dsb. Cukup melelahkan setelah lelah mental karena ibu sakit, lelah fisik karena perjalanan jauh lewat darat (gantian nyetir suami dan saya), ditambah kejadian ini. Malamnya, ada telpon dari Solo bahwa ibu anfal, masuk RS lagi. Kami masih capek segalanya, jadi kakak-kakak saya menyarankan kami istirahat dulu, namun kami tetap monitor kondisi ibu lewat telpon yang nggak pernah lepas dari tangan. Saya selalu ingatkan kakak yang jaga ibu untuk selalu membimbing ibu untuk selalu menyebut Asma Allah.
Pagi 25 Desember 2001, ada kabar Ibu sudah dipanggil Allah setelah menyebut AsmaNya berulang-ulang dibimbing kakak saya yang selalu setia menjaga Ibu seumur hidupnya. Kakak saya ini memang dari lahir, sekolah, kuliah, hingga bekerja dan berumah tangga, tinggal di rumah keluarga besar kami. Insya Allah khusnul khatimah mengingat Ibu sebenarnya sudah siap berangkat haji juga. Semua kelengkapan pergi haji sudah beres mulai paspor haji, koper, manasik, pokoknya tinggal nunggu berangkat. Bahkan sebelum meninggal Ibu mengingatkan asistennya untuk menyiapkan semuanya karena kata Ibu, beliau segera "berangkat".
Kami pulang lagi ke Solo mengesampingkan rumah yang “bersih” oleh maling. Setelah pemakaman, kami membicarakan rencana kepergian Bapak yang akhirnya harus sendiri karena sudah mantap untuk tetap pergi sendiri meski tanpa didampingi Ibu. Bapak pergi haji dalam kondisi fisik cukup prima meski secara psikologis kami tidak tahu. Bapak itu priyayi Jawa tulen, sangat pandai menjaga kesehatan dan menyimpan rasa.
Februari 2002 dalam perjalanan ke kantor, saya mendapat telpon yang mengabarkan Bapak meninggal di Rumah Sakit di Mekkah setelah melakukan lempar Jumrah. Ya, Bapak meninggal persis setelah menyelesaikan hajinya. Bahkan Bapak belum sempat pergi ke kota Nabi Madinah. Saya tidak bisa menceritakan perasaan saya saat itu, ditinggal Ibu, kehilangan harta, dan ditinggal Bapak. Saya tidak bisa mempercayai begitu saja berita meninggalnya Bapak. Saya telpon semua sumber mulai dari televisi yang memberitakan, departemen agama, asrama haji, ups saya agak limbung.
Kami pulang lagi ke Solo bertemu semua kakak dan adik sekedar menenangkan hati kami semua bersaudara. Kami menjadi yatim piatu dalam waktu hampir bersamaan. Bapak Ibu memang sehidup semati. Mereka berdua meninggal dalam usia lebih dari 70 tahun setelah menikah selama lebih dari 50 tahun. Dan, dalam usianya memang secara fisik terlihat jauh lebih muda. Mungkin karena hidupnya selalu "sumeleh" (berserah diri sama Allah).
Teman Bapak pergi haji menyampaikan pesan-pesan Bapak sebelum meninggal, salah satunya adalah tahun depan ada anaknya yang pergi haji. Maka, tahun itu juga uang yang ada saya masukkan ke Bank untuk tabungan haji, urus no PORSI ke Depag, dll meski barang yang dicuri maling belum sempat terbeli. Kami anggap itu amanah sekaligus do'a Bapak.
Alhamdulillah 22 Januari 2003 saya dan suami berangkat haji. Bahkan rencana ONH biasa, tetapi kami berangkat dengan ONH plus. Lumayan, meski tetap bisa lama (26 hari) namun tidak sampai (40 hari). Jadi tidak terlalu lama ninggalin bungsu saya yang waktu itu baru 4 tahun. Tahun 2004 saya ajak semua anak saya ibadah umrah sekaligus ziarah ke makam Eyang Kakung nya, adik saya juga berangkat haji tahun itu. Tahun berikutnya kakak saya. Subhanallah, do’a Bapak rupanya makbul. Dan semua barang kembali terbeli,................... bahkan berlebih.
Idul Adha selalu mengingatkan saya akan peristiwa itu. Selalu membuat kami kangen Bapak Ibu, kangen Baitullah, kangen untuk kembali ke “Rumah Allah”. Kangen untuk memanjatkan do’a - do’a di tempat mustajab. Semoga Bapak Ibu selalu “tersenyum” di alam sana. Bapak Ibu, sembah sungkem ingkang putra. Sedaya lepat nyuwun sagunging pangaksami. Mugi Gusti ingkang murbeng dumadi tansah ngijabahi. Amiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar