Di sebuah milist ada seorang Ibu yang karirnya di kantor sangat OK (direktur) sharing tentang anaknya yang kena narkoba. Malah yang perempuan meninggal di usia 19 tahun. Dia sangat menyesal dan sekarang ingin fokus pada anaknya yang masih ada.
Ada lagi seorang Ibu yang bingung karena tidak ingin seperti ibu pertama tadi, tetapi juga berat melepas pekerjaan karena takut miskin. Saya maklum, jaman sekarang memang perlu nyali dan keyakinan yang kuat untuk itu (seperti saya he he he!). Belum lagi perasaan bagaimana jika secara keuangan bergantung pada suami sementara tidak semua suami menghargai istri yang fokus pada anak. Jaman ini memang sedang jauuuuh dari emansipasi (baca emansipasi versi saya). Ya, seolah semua yang dilakukan laki-laki itu lebih baik sehingga beramai-ramai wanita ingin seperti laki-laki.
Ada lagi Ibu lain yang mengatakan itu tergantung bagaimana kitanya. Karena dia merasa bisa menjalani pekerjaannya di luar rumah dan anaknya baik-baik saja meski dia pergi pagi sekali dan pulang jam 10 malam. Dan menurut dia, ada orang yang ibunya tidak bekerja tetapi anaknya kena narkoba juga, rusak juga, bandel juga.
Ada juga yang bilang (terbanyak yang saya dengar dari para wanita yang bekerja di luar rumah) yang penting quality time bukan quantity time.
Ups, sepertinya kalau urusan anak-anak kok pasti Ibu yang dipermasalahkan ya?
Menurut saya, anak itu urusan Ibu dan Bapak. Lha kan anak berdua? Kenapa hanya Ibu yang dipermasalahkan? He he he, jangan gitu dong!
Menurut saya (lagi), urusan rumah tangga itu urusan suami dan istri yang memang dari awal merekalah yang merencanakan dan menyebabkan terbentuknya sebuah rumah tangga. Ingat, anak-anak tidak terlibat sama sekali dalam perencanaan ini. Bahkan dalam pelaksanaan mereka lebih banyak sebagai obyek (penderita ha ha ha). Nggak lah, kalau suami istri bijak, tentu anak adalah obyek bahagia. Atau bahkan ikut menjadi subyek juga. Lha kok seperti pelajaran Bahasa ya?
Jadi, dalam sebuah rumah tangga, suami dan istrilah yang harus menentukan dari awal Visi, Misi, rencana jangka panjang dan jangka pendeknya. Juga pelaksanaan dan evaluasinya. Gitu kan? Apapun keputusan mereka, merekalah yang menentukan dan akan menanggung segala akibatnya. Dan, harusnya jangan sampai merugikan anak yang sebenarnya tidak ikut merencanakan tetapi PASTI ikut menanggung akibatnya.
Ya, terserah bagaimana mereka mengaturnya. Apakah Ibu di rumah Bapak bekerja, atau Ibu bekerja Bapak di rumah, atau dua-duanya bekerja, atau dua-duanya di rumah. Ya, karena kalau seorang Ibu di rumah karena terpaksa (karena disuruh atau karena tidak ada kesempatan bekerja di luar rumah) sudah pasti akan merugikan anak karena itu bukan pilihan hatinya.
Yang penting, jika memang berdua tidak di rumah, jangan pelit untuk menggaji profesional ngurus anak, ngurus rumah, memilih sekolah yang baik untuk anak (misalnya Berlian Bangsa School...........ha ha ha promosi!) dan bantu sekolah terutama secara finansial, jangan sok tahu tentang anak kalau memang tidak tahu. Ya belajar dari yang tahu. Tidak ada orang yang serba tahu, yang sempurna! Tulll ..........bet......?
Masalah quality time? Ya, jujur aja, itu karena “ngeles” apa bener-bener quality time? Pengalaman saya sih, kalau kerja seharian dari pagi sampai malam ya pasti tenaga terkuras, pikiran juga sudah terforsir, waktu, masa sih anak dikasih sisa-sisa waktu tapi dibilang waktu yang berkualitas? Apalagi kalau anak masih balita? Apa anaknya juga belum capek saat ibu bapaknya pulang? Yaaaaaaaaa tapi itu kan saya dan suami saya?! Siapa tahu Ibu Bapak lain “super hebat”. Jadi biarpun pulang malem masih ok kualitas tenaga, pikiran, dan waktunya. Salut buat mereka.
So, mau kerja keluar rumah, mau di rumah urus anak, terserah! Yang penting, semua dengan sepenuh hati. Jangan rugikan anak, jangan rugikan rumah tangga lain. SETUJU DONG ?!! Masalah hasil? Anak jadi baik atau tidak? Wah, itu perlu bahasan yang panjang. Lain kali ya. Bye now!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar