Halaman

Selasa, 26 Februari 2013

"NDESO"

Kiriman seorang teman.......

oleh : Ika S. Creech *)

Deso (baca ndeso) itulah sebutan untuk orang yang norak, kampungan, udik, shock culture, countrified dan sejenisnya. Ketika mengalami atau merasakan sesuatu yang baru dan sangat mengagumkan, maka ia merasa takjub dan sangat senang, sehingga ingin terus menikmati dan tidak ingin lepas, kalau perlu yang lebih dari itu. Kemudian ia menganggap hanya dia atau hanya segelintir orang yang baru merasakan dan mengalaminya. Maka ia mulai atraktif, memamerkan dan sekaligus mengajak orang lain untuk turut merasakan dan menikmatinya, dengan harapan orang yang diajak juga terkagum-kagum sama seperti dia. Lebih dari itu ia berharap agar orang lain juga mendukung terhadap langkah-langkah untuk menikmatinya terus-menerus. Hal ini biasa, seperti saya juga sering mengalami hal demikian, tetapi kita terus berupaya untuk terus belajar dari sejarah, pengalaman orang lain, serta belajar bagaimana caranya tidak jadi orang norak, kampungan alias ndeso.


Semua kampus di Jepang penuh dengan sepeda, tak terkecuali dekan atau bahkan Rektorpun ada yang naik sepeda datang ke kampus. Sementara pemilik perusahaan Honda tinggal di sebuah apartemen yang sederhana. Ketika beberapa pengusaha ingin memberi pinjaman kepada pemerintah Indonesia mereka menjemput pejabat Indonesia di Narita. Pengusaha tersebut bertolak dari Tokyo menggunakan kendaraan umum, sementara pejabat Indonesia yang akan dijemput menggunakan mobil dinas Kedutaan yaitu Mercedes Benz.


Ketika saya di Australia berkesempatan melihat sebuah acara dari jarak yang sangat dekat, yang dihadiri oleh pejabat setingkat menteri, saya tertarik mengamati pada mobil yang mereka pakai yaitu merek Holden baru yang paling murah untuk ukuran Australia. Yang menarik, para pengawalnya tidak terlihat karena tidak berbeda penampilannya dengan tamu-tamu, kalau tidak jeli mengamati kita tidak tahu mana pengawalnya.

Di Sidney saya berkenalan dengan seorang pelayan restoran Thailand. Dia seorang warga negara Malaysia keturunan China, sudah menyelesaikan Docktor, sekarang sedang mengikuti program Post-Doc, Dia anak seorang pengusaha yang kaya raya di negaranya. Tidak ingin menggunakan fasilitas orang tuanya malah jadi pelayan. Dia juga sebenarnya memperoleh beasiswa dari perguruan tingginya.


Satu bulan di Jepang, saya tidak melihat orang menggunakan HP Nokia Communicator, mungkin kelemahan saya mengamati. Setelah saya baca koran, ternyata konsumen terbesar HP Nokia Communicator adalah Indonesia. Sempat berkenalan juga dengan seorang yang berada di stasiun kereta di Jepang, ternyata dia anak seorang pejabat tinggi negara, juga naik kereta. Yang tak kalah serunya saya juga jadi pengamat berbagai jenis sepatu yang di pakai masyarakat Jepang ternyata tak bermerek, wah ini yang ndeso siapa ya?

Sulit membedakan tingkat ekonomi seseorang baik di jepang atau di Australia, baik dari penampilannya, bajunya, kendaraannya, atau rumahnya. Kita baru bisa menebak kekayaan seseorang kalau sudah mengetahui riwayat pekerjaan dan jabatanya di perusahaan. Jangan-jangan kalau orang Jepang diajak ke Pondok Indah bisa pingsan melihat rumah mewah dan berukuran besar. Rata-rata rumah di Jepang memiliki tinggi plafon yang bisa digapai dengan tangan hanya dengan melompat. Sehingga untuk dudukpun banyak yang lesehan.


Sampai akhir hayatnya Rasulullah tidak membuat istana negara dan benteng pertahanan(khandaq hanyalah strategi sesaat, untuk perang ahzab saja), padahal Rasulullah sudah sangat mengenal kemewahan istana
raja-raja negara sekelilingnya, karena beliau punya pengalaman berdagang. Lalu dimana aktivitas kenegaraan dilakukan? Jawabannya di Masjid. Beliau punya banyak jalan yang legal untuk bisa membangun istana. Di Mekkah menikah dengan janda kaya, di Madinah menjadi kepala negara, mempunyai hak prerogatif dalam mengatur harta rampasan perang dan ada jatah dari Allah untuk dipergunakan sekehendak beliau, belum hadiah dari raja-raja. Tetapi mengapa beliau sering kelaparan, mengganjal perut dengan batu, puasa sunnah niatnya siang hari, shalat sambil duduk menahan perih perut dan seterusnya.


Ketika Indonesia sedang terpuruk, Hutang sedang menumpuk, rakyat banyak yang mulai ngamuk. Negara sedang kere, rakyat banyak yang antri beras, minyak tanah, minyak goreng dll. Maka harga diri kita tidak
bisa diangkat dengan medali emas turnamen olah raga, sewa pemain asing, banyak perayaan yang gonta-ganti baju seragam, baju dinas, merek mobil, proyek mercusuar, dll, dsb, dst..... Bangsa ini akan naik harga dirinya kalo hutang sudah lunas, kelaparan tidak ada lagi, tidak ada pengamen dan pengemis, tidak ada lagi WTS, angka kriminal rendah, korupsi berkurang, pendidikan terjangkau, sarana kesehatan memadai, punya posisi tawar terhadap kekuatan global, serta geopolitik dan geostrategi yang disegani. Maka orang
Ndeso (alias norak) tidak mampu mengatasi krisis karena tidak bisa menjadikan krisis sebagai paradigma dalam menyusun APBD dan APBN. Nah, karena yang menyusun orang-orang norak maka asumsi dan paradigma yang dipakai adalah negara normal atau bahkan mengikut negara maju. Bayangkan ada daerah yang menganggarkan dana untuk sepak bola 17 milyar Rupiah, sementara anggaran kesejahteraan rakyatnya hanya 100 juta Rupiah, wiiieh!!!


Akhirnya penyakit norak ini menjadi wabah yang sangat mengerikan dari atas sampai bawah :
- Orang bisa antri Raskin sambil pegang HP
- Pelajar bisa nunggak SPP sambil merokok
- Orang tua lupa siapkan SPP, karena terpakai untuk beli TV dan kulkas
- Orang bule mabuk karena kelebihan uang, Orang kampung mabuk beli minuman patungan
- Pengemis bisa mendengarkan MP3 player sambil goyang kepala
- Para pengungsi bisa berjoged dalam tendanya
- Orang-orang dapat membeli gelar akademis di ruko-ruko tanpa kuliah
- Ijazah Doktor luar negeri bisa di beli sebuah rumah petakan gang sempit di Cibubur
- Kelihatannya orang sibuk ternyata masih sering keluar masuk McDonald
- Kelihatannnya orang penting, ternyata sangat tahu detail dunia persepakbolaan
- Kelihatan seperti aktivis tapi habis waktu untuk mencetin HP
- 62 tahun merdeka, lomba-lombanya masih makan kerupuk saja
- Agar rakyat tidak kelaparan maka para pejabatnya dansa-dansi di acara tembang kenangan.
- Agar kampanye menang harus berani sewa bokong-bokong bahenol ngebor
- Agar masyarakat cerdas maka sajikan lagu goyang dombret dan wakuncar
- Agar bisa disebut terbuka maka harus bisa buka-bukaan
- Agar kelihatan inklusif maka harus bisa menggandeng siapa saja, kalau perlu jin tomang juga digandeng

Yang lebih mengerikan lagi adalah supaya kita tidak terlihat kere, maka harus bisa tampil keren. Makin kiamatlah kalo si kere tidak tahu dirinya kere.

*) Penulis adalah Putra Indonesia Asli, kini
bertempat tinggal di Paris, Perancis dan bekerja
sebagai Pembawa Acara di salah satu stasiun di Perancis.

Senin, 04 Februari 2013

Djasmerah....Jangan Sekali2 Melupakan Sejarah

Aku gak ngerti dengan kondisi pemikiran bangsaku (elite politik utamanya) sekarang ini. Sakjane mereka mikirin negara, mikirin partainya, mikirin golongannya, atau mikirin diri sendiri? Ribuuut aja! Simpang siur berita membuat rakyat (eh....aku sih) tambah gaje, kesanku kok pada kepo gitu. Keknya pada merasa paling bener, paling hebat, paling lurus, lha malah yang menyedihkan kok kesannya ada yang merasa paling suci, maksum, gak mungkin salah apalagi dosa! Gubrag banget deh.......ditambah seolah orang di luar kelompoknya pasti salah, harus ngertiin mereka, tapinya mereka sama sekali gak mau ngertiin orang lain. Dll...

Belum lagi yg sukanya ngebanggain si ini si itu yg notabene bukan orang Indonesia, bukan KITA...Padahal kalo mau lihat sejarah, haeiiii.......bangsa kita, orang kita sendiri hebat2.

Nih aku copas in tulisan temenku yg TOP deh menurutku;

Saya sedih melihat banyak orang Indonesia senang mendasarkan referensi pemikiran, anutan biografi pada orang-orang asing, mereka terasing dari sejarahnya sendiri, mereka terasing dari pemikiran nenek moyangnya sendiri.

Banyak yang lebih bangga mengutip bab-bab pemikiran Machiavelli dalam buku kecilnya Ill Principo, atau Sang Pangeran ketimbang membaca buku kisah Para Negarawan dalam Pararaton, mereka lebih hapal soal raja-raja Arab ketimbang raja bangsa sendiri, mereka lebih paham soal Salahuddin Al Ayubi tapi tak tau siapa Panembahan Senopati, siapa Iskandar Muda, mereka senang menangisi Imam Ali, tapi tak mengerti bagaimana Aryo Penangsang dibunuh atau Syekh Siti Djenar memberikan pelajaran tentang cinta pada Tuhan, mereka menyenangi puisi-puisi Gibran atau tarian Rumi tapi tak pernah mengerti kidung-kidung Sunan Kalijogo, tembang Asmaradhana atau bait gurindam serta olah batin yang diajari orang-orang kita terdahulu.

Mereka suka bicara Che Guevara tapi nggak tau soal Peris Pardede atau cerita soal Yunan Nasution, mereka suka cerita soal Daniel Ortega menyerbu pasukan pemerintah Nikaragua dan membangun gerakan sandinista tapi banyak yang tak tau cerita Mayor Untung diterjunkan ke Irian Barat dan menghantam 8 orang pasukan Inggris dan Belanda sendirian dengan belati, banyak yang hapal soal Jenderal-Jenderal bangsa lain tapi tak paham soal Dading Kalbuadi atau Witono, mereka suka penyerbuan D-Day tapi tak tau aksi gerilya soal Chaerul Saleh yang nenteng senjata di seputaran gunung gede dan ditembaki pasukan Nasution. Mereka bicara soal revolusi Sovjet tapi ketika bicara tatanan resopim dan pantja azimat revolusi dikiranya hanya sekedar jimat, mereka fasih bercerita soal ekonomi terencana Mao atau Rancangan Ekonomi New Deal FDR tapi jarang dari mereka membaca rancangan ekonomi Djuanda dalam Deklarasi Ekonomi 1960, mereka suka membesar-besarkan Ho Chi Minh dan mengecilkan arti Jokowi dan Bung Karno yang telah berkeringat membentuk peradaban bangsanya, setara atau tidak setaranya tokoh bukan ditentukan pada skala tapi ditentukan pada persepsi kecintaan, mencintai tokoh bangsa sendiri daripada bangsa asing adalah awal kita membangun rasa percaya diri sebagai bangsa.

Mereka naif bangga dengan apapun yang dari luar, padahal sejarah banyak mengajarkan pada kita bahwa orang tua kita sudah memberikan ilmu yang luas untuk kita belajar, belajar apa yang terjadi pada bangsa sendiri.

Mungkin hanya Sukarno dan Suharto, Presiden  yang tahu soal bagaimana negeri ini bersejarah secara otentik sehingga mereka mengerti apa yang dimaui bangsa ini, apa suasana batin bangsa ini ditangkap dalam kebijakan publik mereka.

Hakikat Jangan Sekali-Kali Melupakan Sejarah atau Djasmerah, bukan soal kembali menyelami arti zeitgeist (semangat jaman) dimasa lalu, tapi juga pertama-tama adalah komplit soal referensi bangsa sendiri. Dan bangunlah dalam hatimu mencintai bangsa ini seperti mencintai tanpa sebab, sebab cinta yang tulus adalah cinta tak terdefinisi, mencintai bangsa ini harus dengan dasar bangga, sekali lagi bangga.

-Anton DH Nugrahanto-.