Halaman

Kamis, 27 September 2007

PUASA KOK SEBENTAR YA MA?

Pagi ini, anak ketigaku Rafi (8 tahun) sedang makan sahur. Dia tidak aku bangunkan sahur pada waktunya dan saya anjurkan makan sahur pada jam 6-7 pagi setelah dia mandi karena kondisinya yang kurang fit. Pada saat sehat, tanpa dibangunkan pun dia akan bangun sahur pada waktunya. Alhamdulillah, dia memang “berlian”.

Sambil mendampingi dia makan, mengurus si cantik babyku (umur 9 bulan) yang berhasil membuka resluiting tasku kemudian mengeksplore dan meng”audit” isinya , aku bersenandung lagu puasa.

“Ma, puasanya tinggal sebentar lagi lho. Kok sebentar ya Ma? Masa Cuma sebulan, kan setahun ada 12 bulan. Kenapa tidak setahun aja ya Ma?”

“Memangnya kenapa pinter? Nah, Mama tahu, pasti karena pengen pahala yang banyak ya? Kan bisa tetep menabung pahala yang banyak even bukan di bulan puasa, taqwa ! ”

“Iya sih Ma dengan selalu berbuat baik. Tapi kalo bulan puasa pahalanya banyakan Ma.”

Wow, surprise yang menyejukkan hatiku di pagi hari. Mungkin sebagian dari Bapak Ibu yang baik mengira Rafi berkata begitu karena dia bisa sahur telat atau karena saat bukan bulan puasa dia susah makan

Maaf sekali, itu sangat salah. Dia anak yang rajin dan semangat berpuasa dari kecil serta anak laki-laki yang kuat makan + minum susu.

Yang jelas banyak pelajaran yang saya dapat dari diskusi-diskusi kecil yang hebat seperti ini dengan nara sumber yang hebat-hebat pula. Ya, anak-anak adalah narasumber yang hebat dan orisinil.

Rabu, 26 September 2007

KENAPA TANGAN DITANYA???

Kejadian ini saat anak keduaku.Farras, kelas 2 SD. Dia di sekolah Islam Terpadu bersama kakaknya yang sudah kelas 5. Karena sekolah Islam, tentu saja muatan Islamnya ditambahkan ke materi umum dan jam sekolahpun agak panjang.
It’s Ok, karena anak-anakku juga biasa kegiatan seharian sebelum umur sekolah. Karena keterlibatan mereka dalam kegiatanku merawat dan mengurus mereka (belajar dengan mamanya seharian sebenarnya).

Suatu malam saat papanya sudah pulang dari kantor, Farras bertanya pada papanya.
“Pa, kenapa sih nanti di hari kiamat kita ditanya sama Allah perbuatan kita waktu di dunia. Tangan ditanya, kaki ditanya, mulut ditanya, semua ditanya. Kata bu guru tadi di sekolah nanti semua akan ditanya.” Tapi kenapa??

“Ya kan Allah mau mengetahui apa yang dilakukan dari masing-masing anggota tubuh kita saat di dunia. Jujur tidak mereka“

“Tapi kan Pa, Allah sudah tahu kalau mereka pasti jujur. Kan Allah maha tahu. Lagian, emangnya Allah nggak lihat apa waktu kita hidup di dunia ngapain, pake nanya-nanya segala. Langsung aja dimasukin neraka atau surga. Nggak usah repot-repot tanya”

Rupanya berlianku yang cerdas ini tidak puas dengan jawaban papanya, yang mungkin karena capek, menjawab kurang jelas sesuai bahasa anak umur 7 tahun. Dia lupa kalau anaknya cerdas dan kritis. Dengan agak sewot, Farras mendekati aku dan kembali minta penjelasan tentang masalah tersebut. Dia tidak akan menyerah sebelum mendapatkan jawaban yang memuaskannya.

“Mas Farras pinterku, Mas Farras seminggu yang lalu gangguin adek kan! Jadi hari ini Mas Farras tidak boleh main komputer ya." (kebetulan hari itu adalah jadwal dia boleh main komputer)

“Lho, nggak bisa gitu dong Ma. Tidak adil itu namanya. Mas Farras nggak ganggu adek kok, Mama seenaknya hukum Mas Farras.” Marah dia mendengar larangan saya itu.

“Nah, bagaimana seandainya mata, tangan, kaki mas Farras yang ngomong sama mama apa yang mereka lakukan minggu lalu? Mas Farras bisa mengelak tidak cintaku?"

"Makanya Allah bertanya pada tangan, kaki, dsb karena kita suka lupa apa yang pernah kita lakukan. Kalau semua anggota tubuh kita yang ditanya dan menjawab, maka kita tidak bisa mengelak lagi, kan yang bilang badan kita sendiri. Jadi, saksinya adalah kita sendiri, bukan orang lain seperti pengadilan yang dilakukan manusia di dunia."

“Oooo, iya ya Ma. Mungkin maksud Allah begitu. Nah, gitu dong jawabnya Papa !!!

???????????????

Selasa, 25 September 2007

Ma, Pa, aku jadi HURU HARA !!

Anak pertamaku baru pindah sekolah dari SD negeri ke SDIT. Saat itu dia masuk kelas 4. Papanya pulang kantor, dia begitu antusias mau bercerita sesuatu. Rupanya dia pendam cerita itu karena ingin menceritakannya di depan kami berdua papa mamanya.

“Pa, Ma, aku hebat lho, dipilih jadi HURU HARA.”
???????!!!!!!!!!

Kami berdua tentu saja bengong. Tapi tidak ingin mengecilkan hatinya yang begitu semangat, kami bertanya;
“Trus apa tugasnya, pujaan hati mama papa?”

“Lho, memang Mama Papa nggak tahu ya?” Dia selalu menganggap kami serba tahu. He he namanya juga orangtuanya tempat dia bertanya dan belajar, kesannya memang serba tahu. Padahal Cuma tahu duluan.
“Aku tuh tugasnya ngumpulin uang iuran, nyatat uang masuk sama yang dipakai.”

“Oooo, itu namanya BENDAHARA cintaku.” Langsung kami berdua memeluk pria kecil putih dempal pinter yang masih tetep lucu itu, memberi selamat dan mengajarkannya membuat buku kas dan cara menyimpan uang amanah itu.

Kini pujaan hati kami itu sudah besar, anak pinter, kakak yang baik dan tanggung jawab, aktif di organisasi sekolah, tapi bukan jadi HURU HARA lagi!!!!!! I love you, my lovely son.

Jumat, 21 September 2007

MASAK YUUUK !?

Mungkin dari judulnya kurang menarik ya?
Nanti dulu, ini bukan memasak sembarang memasak. Iya, bener banget. Memasak yang mendidik.

Ya, dari dulu, saya selalu melibatkan anak kalau masak. Dari mereka sangat kecil, belum 1 tahun. Misalnya saya masak soup. Nah, sambil siapin bahan dan bumbu, saya menyebut semuanya dengan bersuara yang menarik, kadang sambil nyanyi dan menari. Lagunya asal, syairnya ya apa yang saya pegang akan menjadi syair dalam lagu itu. Wortel kamu lucu... orange warnanya... banyak vitaminnya... enak rasanya.... dst. He.he.he kayak penggubah aja ya. Sayang ya saya tidak mendokumentasikan lagu-lagu itu. Siapa tahu bisa dijadikan album.

Anak saya akan senang sekali melihat tingkah saya dan sesekali mengikuti gerak dan senandung saya. Tentu saja sambil saya masukkan pelajaran-pelajaran yang saya ingin dia tahu. Seperti berhitung, warna, bentuk, bahasa, baca, ketuhanan, sampai sains seperti sifat benda, perubahan / reaksi yang terjadi pada benda itu, dsb.

Sebenarnya sih lebih capek karena saya harus kerja ekstra. Bagaimana tidak? Sambil masak, saya harus jaga dia dari hal-hal yang bahaya. Kan dia selalu mengeksplore benda dengan melihat, memegang, lalu...hap masuk mulut mungilnya yang lucu. Disamping itu, saya harus bolak balik mengambil bahan yang dia lempar kesana kemari. Dan, dia semakin senang dan tergelak-gelak melihat kerepotan saya. Tapi ketawanya dia adalah obat capek dan hiburan bagi saya.

Apalagi setelah ada adik-adiknya (3 anak pertama saya laki-laki). Waduuhh, makin heboh mereka bermain saat memasak dengan saya( Untungnya jarak umur mereka tidak terlalu dekat, sehingga yang besar sudah bisa jaga adiknya). Dijamin tepung akan beterbangan saat kami memasak kue. Eksperimen merekapun makin beragam. Dan pakem perkuean akan sangat rusak oleh mereka. Ha ha ha para chef akan bingung dengan inovasi yang diciptakan oleh anak-anak saya.

Semakin bertambah umur, anak saya terbiasa dengan keterlibatannya dalam kegiatan memasak saya. Disamping permainan yang menyenangkannya, pelajaran yang dia dapat juga semakin banyak tanpa dia merasa sedang belajar. Mereka juga terbiasa dengan kegiatan “membantu” saya memasak.
Akibatnya sesudah mereka besar mereka menikmati membantu saya di dapur meskipun mereka laki-laki. Akibat yang manis dan menyenangkan.

Ada satu hal lagi yang penting karena saya selalu melibatkan mereka dalam kegiatan memasak saya. Saya bukan wanita yang biasa di dapur sebelum menikah. Jadi saya agak kurang bisa memasak. Sesudah menikah, apalagi punya anak, saya mau menyajikan masakan saya sendiri. Gimana caranya donk?

Saya mesti cerdik kan? So, saya memasak dengan bumbu “kira-kira” dan dengan cara yang saya rancang sendiri. Innovative gitu loh!! Rupanya mereka sangat menikmati petualangan itu. Apalagi saya selalu mengatakan bahwa saya punya bumbu rahasia yaitu “CINTA”. Memang saya memasak dengan segenap cinta saya kepada suami dan anak-anak saya. Walhasil, anak-anak selalu menunggu kejutan apa yang akan saya hadirkan lewat masakan saya yang innovative tadi. Karena masakan saya seringkali lain daripada yang lain.

Ternyata tidak bisa masak bukan alasan untuk tidak mau masak, bukan? Kalau kita mau sedikit kreatif, kekurangan kita ternyata bisa jadi sesuatu yang indah dan berharga.

Nah, kenapa tidak dicoba memasak ala saya??

Kamis, 20 September 2007

HAK-HAK ANAK

Kenapa saya selalu bicara tentang anak?

Karena menurut saya, anak seringkali akan menjadi korban atas tingkah laku orang dewasa di sekitarnya. Apabila orang dewasa di sekitarnya bertingkah laku baik, maka anak akan mendapat kebaikan. Namun sebaliknya jika tingkah laku orang dewasa di sekitarnya buruk, sudah tentu anak akan menerima akibatnya.

Karena anak masih lebih sering tidak bisa membela diri mereka sendiri disebabkan masih belum kuat secara umur, kemampuan fisik, kemampuan verbal, pengetahuan, pengalaman, dsb. Itu semua menyebabkan anak masih banyak bergantung kepada orang dewasa di sekitarnya yang mengakibatkan anak tidak memiliki bargaining power yang cukup.

Karena anak tidak ikut merencanakan pembentukan rumah tangga, tidak ikut merencanakan dan meminta kelahiran mereka, (biasanya) mereka tidak ikut merencanakan untuk tinggal di lingkungan seperti apa, dan juga mereka tidak pernah bisa memilih dilahirkan oleh bapak dan ibu yang seperti apa.

OK. Jadi apa saja sih hak anak itu? Banyak ya, diantaranya:

1. Berhak mendapat orangtua yang baik dan siap menjadi orangtua.
2. Berhak mendapatkan treatment yang baik selama di dalam kandungan.
3. Berhak dilahirkan dengan cara yang baik.
4. Berhak diberi nama yang baik.
5. Berhak mendapatkan ASI eksklusif sampai umur 6 bulan dan diteruskan sampai umur 2 tahun.
6. Berhak atas perawatan baik fisik, mental, akal, dan rohani yang baik.
7. Berhak atas pendidikan yang baik.
8. Berhak atas lingkungan yang kondusif.
9. Berhak dilarang atas sesuatu yang mengakibatkan kerusakan dirinya baik fisik, mental, emosi, dsb.
10. Berhak untuk selalu diarahkan, diingatkan, dibimbing, diberi contoh yang baik.
11. Berhak atas waktu, tenaga, pikiran dan emosi yang prima dari orang tuanya, jangan diberi sisa-sisanya saja setelah habis untuk urusan lain dengan alasan apapun.
12. Berhak diberi batasan-batasan dan tidak diperlakukan dengan permisifism (apa-apa boleh).
13. dll.

Poin-poin tersebut akan saya jelaskan dalam posting mendatang.

EMANSIPASI

Kita sudah sangat sering mendengar kata ini.
Emansipasi, diartikan persamaan hak antara pria dan wanita. Persamaan hak sama persis antara pria dan wanita. Mulai dari cara berpakaian, pendidikan, kesempatan kerja, sampai gaya hidup. Saya sering bingung. Karena emansipasi ini, malahan wanita kerepotan karena harus menyamai pria dan kadang merendahkan wanita lain.

Kenapa saya mengangkat tema ini? Kembali lagi karena yang menjadi korban anak. Coba pikir dengan kepala dingin, bijak, jernih, tidak berpihak. Gara-gara emansipasi, wanita berlomba-lomba berkarir di luar rumah dan kadang jadi bingung dan sangat sulit saat mempunyai bayi. Katanya sih mengamalkan ilmu, mencari nafkah untuk anak, eksistensi diri, dsb dsb. Dan mereka seringkali merendahkan profesi ibu rumah tangga. Apa itu tidak merendahkan wanita juga yang memilih profesi sebagai ibu rumah tangga? Terus, anak-anak mereka diasuh baby sitter, pembantu, neneknya, jangan-jangan anak-anak mungkin bingung juga ya? Karena kadang-kadang emansipasi membuat ibu mereka maunya sama persis dengan laki-laki sehingga anak-anak mempunyai 2 orang ayah tanpa ibu. He he he, kasihan deh mereka!!

Padahal, menurut saya sih emansipasi harusnya penghargaan kepada wanita, memberikan hak-hak wanita untuk memilih profesi, untuk dihargai, dihormati, bahagia, sehingga tidak ada dominasi dari dan atas siapapun, wanita mendapatkan haknya, anak-anak mendapat haknya, keluarga berjalan damai, lancar, bahagia, masyarakat juga akan bahagia, negara akan bahagia, makmur, maju.

Ya, jangan ada pelecehan terhadap wanita yang memilih untuk fokus pada anak, keluarga, rumah tangga. Jangan dianggap ibu rumah tangga tidak perlu pendidikan yang tinggi, keahlian yang cukup, wawasan yang luas, pergaulan yang luas dan sehat, percaya diri yang tinggi, dan penampilan yang prima.

Saya sangat setuju emansipasi jika dimaksudkan untuk membela hak-hak wanita, dan bukan menyamakan persis antara wanita dengan pria. Lha sejak lahir saja kan sudah berbeda. Wanita berhak atas pendidikan yang tinggi, kesempatan mengembangkan diri, kesempatan hamil, melahirkan, dan menyusui anak dengan tenang, kesempatan mendidik anak dengan kondusif, berhak mendapat perlindungan hukum, perlakuan sosial yang baik, berhak untuk “menjadi wanita” dan tidak harus “menjadi pria”, berhak dihormati, dihargai, dan tidak dilecehkan. Berhak untuk memilih dan menjalankan agama dengan tenang dan aman. Berhak atas penampilan yang ok dari suami saat bersamanya (jangan wanita saja yang dituntut cantik di depan suami, tapi suami juga tampil rapi, bersih, dan menarik di depan istri), berhak atas kesetiaan suami, berhak untuk didengar pendapatnya, dll.

OK!!

Emansipasi yang benar tentu akan mengakibatkan dipenuhinya hak-hak anak.

Rabu, 19 September 2007

Belajar Puasa

Waktu anak pertamaku umur 2 tahunan, kami (aku dan anakku) diskusi. Ya, dia sudah pinter ngomong dari umur 1 tahun. Mungkin karena mamanya banyak omong dan selalu ngajak omong dia.

Hasil diskusi, kami memutuskan dia berpuasa. Masa? Iya, dia berpuasa "ala dia" tentunya. Sahur dia ikut bangun (kalau memang terbangun) dan menemani mama papanya sahur. Dia nyusu atau kadang makan juga, terserah dia aja. Shalat subuh sering dia masih menemani aku karena papanya shalat di masjid dekat rumah.

Setelah tidur lagi, kalau tidak ikut bangun sahur maka jam 8 dia bangun, mandi, makan, nyusu, adalah sahurnya dia, lalu jalan-jalan sekitar komplek ( nah, saat itulah dia puasa). Pulang dari jalan-jalan, dia boleh tidak berpuasa apabila di dalam rumah. Intinya puasanya dia adalah dia tidak makan minum di luar rumah.

Sepertinya tidak puasa ya? Salah!! Dia berpuasa!!
Kenapa saya memberi label "berpuasa"?
Karena:
  1. Dia menahan keinginan makan dan minum di luar rumah (tidak mudah untuk anak umur 2 tahun bukan?)
  2. Saya mau dia sadar bahwa saat itu bulan Ramadhan dimana umat Islam wajib berpuasa.
  3. Saya mau dia bangga karena sudah "berpuasa" di bulan Ramadhan.

Kemudian, saat umur 3 tahun, dia berpuasa dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Disamping tidak makan minum di luar rumah, dia juga hanya makan dan minum dengan jam tertentu. Yah, masih sebatas kemampuan dia tentu. Paling tidak dia hanya makan dan minum di jam dia harus minum susu, makan, dan snack.

Demikian setiap tahun cara berpuasanya meningkat perlahan. Pada usia 6 tahun, dia sudah berpuasa penuh dengan kesadaran sendiri tanpa disuruh dan mengeluh. Tentu saja kadang masih ada toleransi terpotong makan atau minum pada tengah hari kemudian dilanjutkan puasa lagi jika dia tidak kuat. Yang saya tekankan, dia harus jujur jika tidak kuat tidak perlu mencuri-curi berbuka. Kejujurannya lebih saya utamakan daripada puasanya yang memang belum wajib.

Apabila dia tidak kuat, sebelum berbuka di tengah waktu puasapun saya ajak dia menganalisa apakah lebih menguntungkan berbuka atau terus berpuasa. Dengan bahasa anak-anak tentu saja. Misalnya (biasanya) dia tidak kuat pada jam 3-4 sore. Saya ajak dia menghitung berapa jam dia sudah berpuasa dan berapa jam lagi saat berbuka lalu kami analisa berdua. biasanya sih dia akan memilih meneruskan puasanya sampai magrib. Dan dia akan sangat bangga saat berbuka.

Di akhir Ramadhan, biasanya kami ajak dia ke toko buku (anak saya senang membaca dari kecil, bahkan sebelum bisa membaca sudah suka buku), dia boleh memilih beberapa buku sendiri.

Alhamdulillah, sampai sekarang (14 th) puasa di bulan Ramadhan bukan beban baginya. bahkan dengan kesadaran sendiri kadang dia puasa sunah.

Pelajaran berpuasa ini saya terapkan juga pada adik-adiknya. Semua anak saya biasa berpuasa dan mereka akan jujur jika tidak kuat. Karena kejujuran mereka sangat kami hargai. Jadi, tidak perlu mereka mencuri berbuka jika tidak kuat. Indah bukan?! Mereka memang berlian yang membanggakan.

Puasa

Hari ini aku ngobrol dengan anakku (laki-laki) yang berumur 8 tahun. Dia puasa alhamdulillah dari kecil sudah terbiasa. Akan tetapi dia tidak mau kalau aku berpuasa karena menyusui adek kecilnya yang masih berumur 9 bulan.
"Ma, masa ada anak sudah besar tetapi tidak puasa. Malah ada yang orang dewasa beragama Islam bulan Ramadhan tidak berpuasa"
"Lha mama juga tidak puasa mas, kan mas Rafi yang larang"
"Mama kan menyusui", katanya.
"Kalau mama puasa namanya mama dzalim sama ciptaan Allah yang diamanahkan ke mama".
"Mama malah berdosa".
Alhamdulillah ya Allah, ini rejeki yang teramat sangat berharga. Anak yang shaleh dan bijak.

Selasa, 18 September 2007

ASI

ASI

Air Susu Ibu. Ya, Air Susu Ibu.
Tiga kata ini adalah zat yang sangat penting sejak manusia pertama kali mengenal dunia sampai usia 2 tahun. Allah telah menetapkan di dalam Al Qur’an masa penyusuan adalah selama 2 tahun. Sebagai mukmin kita harus yakin akan hal itu.
Banyak sekali pernyataan dan pertanyaan yang sering dilontarkan ibu-ibu mengenai ASI.

“ASI ku tidak ada”
“ASI ku berhenti sendiri sejak bayi umur sekian bulan”
“ASI ku kurang, bayiku sangat kuat nyusu, harus ditambah susu formula”
“Bayiku nolak sendiri, tidak mau ASI karena sedikit keluarnya”
“Aku kan kerja, tidak mungkin ngasih ASI”
“Kalau tidak ditambah susu formula, nanti bayiku kurang gizi”
“Orang kan lain-lain, ada yang ASI nya banyak ada yang sedikit ada malah yang tidak keluar”
“Memang cukup ASI aja selama 6 bulan? Apa nggak kurus bayi saya wong dia rakus dan nggak bisa diem.”
Dsb.

Hhhhhh sedihnya lagi, yang bicara seperti itu ada juga yang dokter, bahkan dokter anak yang tentu sangat faham mengenai pentingnya ASI dan kemampuan seorang ibu memberi ASI pada bayinya bahkan bayi kembar, juga ustadzah yang tentu sangat faham mengenai perintah memberi ASI pada bayi dan pada kekuatan niat dan prasangka pada Allah. Ya, kenapa kita tidak berprasangka baik pada Allah bahwa Allah akan mencukupkan ASI kita? Tugas kita usaha tentu saja dengan makanan sehat yang cukup.

Apa jadinya anak-anak kita nanti kalau kebutuhan dan hak pertama mereka sudah kita rampas? Apa jadinya kalau kita susukan mereka pada seekor sapi? Apa jadinya kalau kita orangtuanya, egois, lebih mengutamakan karir kita dan harta duniawi dibanding buah hati, amanah yan Allah titipkan yang bahkan tidak minta untuk dilahirkan?

Ibu dan Bapak yang budiman, dengan penuh kerendahan hati, saya mengajak anda sekalian untuk memberi hak anak-anak kita sejak pertama kali kita menyambut kehadiran mereka di dunia ini.

Beberapa waktu yang lalu, saya melihat tayangan televisi yang sangat mendramatisasi seorang ibu yang terpaksa memberi air tajin pada bayinya karena harga susu naik. Saat saya lihat, ternyata bayinya berumur 9 bulan.

Wow, saya terperangah, sedih. Saya sedih bukan karena ibunya miskin tidak bisa membeli susu, tetapi saya sedih karena ibu itu bodoh! Seandainya ibu itu pandai, maka dari melahirkan dia tidak usah repot-repot membei susu bayi. Cukup dengan makan yang bergizi dan bayinya selalu diberi ASI sehingga produksi ASI akan terangsang oleh isapan bayinya, maka ASI akan selalu berproduksi bahkan sampai umur 2 tahun masih sangat cukup tanpa harus memberi susu sapi.

Makanan bergizi juga tidak harus mahal. Karbohidrat tidak harus beras, protein tidak harus daging mahal, vitamin dan mineral bisa kita dapat dengan menanam sayuran sendiri meski di kaleng atau ember bekas, kalsium tidak harus dari susu mahal.

Jadi masalahnya apa kok sering ada tayangan bayi gizi buruk dimana-mana? Menurut saya, masalahnya masyarakat kita dijejali dengan gaya hidup konsumerisme. Iklan begitu gencar dengan seenaknya memberi patokan mengenai sehat, cerdas, hebat, dsb. Mal berdiri dimana-mana. Kurang sekali adanya pendidikan masyarakat mengenai kesehatan, kebesihan, budidaya tanaman, yang tidak mengatasnamakan iklan. Jarang sekali saya melihat anak sekolah yang membawa bekal buatan ibunya yang murah namun sehat meski anak dari keluarga tidak mampu secara ekonomi. Atau mungkin ibunyapun sudah jarang yang sempat membuatkan karena sibuk “berkarir”.

Entahlah, yang pasti saya sudah membuktikan sendiri. 3 anak saya mendapatkan ASI sampai 2 tahun tanpa susu formula dan sekarang saya sedang menyusui anak keempat saya (9 bulan). Saya sangat berharap masih bisa sampai 2 tahun tanpa susu formula meski usia saya sudah hampir 39 tahun. Saya tidak ingin menyusukan anak saya pada SAPI.

Bagaimana dengan anda Ibu yang budiman? Sudahkah usaha untuk memberi ASI secara maksimal? Ingat, itu adalah hak anak anda yang diberikan oleh Allah.
Marilah kita mulai dari diri kita sendiri.

Senin, 17 September 2007

Tanggapan "Padamu Negri" MetroTV

Acara Padamu Negri MetroTV Kamis, 7 Juni 2007 tentang kekerasan dalam rumah tangga. Dalam pooling ditanya apakah wanita lebih baik bekerja atau tidak, hampir semua setuju bahwa wanita itu berhak untuk bekerja dan lebih baik bekerja dengan berbagai alasan. Yang cukup menggelitik saya adalah alasan seorang ibu bahwa "wanita sudah capek-capek sekolah tinggi kok tidak bekerja!!".

Aku merasa prihatin sekali. Temanya seperti itu, tetapi sepertinya semua lupa!!! Bahwa di dalam rumah tangga tidak hanya ada suami dan istri, tetapi ada anak-anak yang juga punya hak. Anak-anak yang sebenarnya tidak pernah ikut merencanakan terbentuknya rumah tangga tersebut dan tidak minta untuk menjadi bagian dari rumah tangga tersebut. Yang keberadaan mereka dalam rumah tangga tersebut sebagian besar karena diharapkan oleh orang tuanya (suami dan istri) baik dengan do'a maupun usaha lain. Anak-anak yang berhak untuk tidak mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga baik fisik maupun mental. Anak-anak yang berhak mendapat ASI, asuhan ayah dan ibu yang berpendidikan tinggi dan mendidik mereka dengan penuh kasih dan ikhlas. Bukan oleh pembantu maupun baby sitter yang kadang tidak mereka kenal, berpendidikan rendah, bahkan mungkin sekali melakukannya tidak dengan kasih tetapi hanya karena dibayar.

Apakah itu bukan mengambil hak anak?

Aku pribadi setuju bahwa bekerja adalah salah satu hak istri. Namun, TIDAK BEKERJA adalah juga hak istri. Jadi apabila seorang istri memutuskan untuk tidak bekerja karena alasan yang benar, maka dia berhak untuk tidak bekerja. Dan dia berhak untuk tetap dihargai, dihormati, diakui keberadaannya di dalam rumah tangga tersebut meskipun tidak ada kontribusi berupa pemasukan uang atau materi.

Coba saja dihitung berapa saving yang berhasil dilakukan jika seorang istri memutuskan tidak bekerja namun dengan profesional merawat anak, suami, rumah. Belum lagi mendidik anak yang memerlukan seribu satu keahlian. Bagaimana jika dibandingkan dengan apabila kita meng ”hired” tenaga profesional dengan pendidikan yang cukup (paling tidak selevel istri) untuk semua tugas tersebut yang sudah pasti tidak mungkin bisa ditangani 1 orang.

Aku sangat tidak setuju pendapat “sudah capek-capek sekolah tinggi kok tidak bekerja”. Karena apabila seorang istri memutuskan untuk tidak bekerja karena ingin konsentrasi dengan profesi “menyiapkan generasi” maka justru sangat diperlukan kepandaian dan keahlian yang lebih kompleks dan tinggi. Orang yang berpendapat “sudah capek-capek sekolah tinggi kok tidak bekerja”, berarti, kalaupun dia tidak bekerja dikarenakan keterpaksaan. Mungkin di PHK, tidak ada yang mau mempekerjakan dia, permintaan suami, dsb.

Maka memang lebih baik istri seperti ini bekerja keluar rumah saja. Jauh-jauh deh dari mendidik anaknya. Kasihan anak yang diasuh dan dididik oleh ibu yang melakukannya karena keterpaksaan.

Dalam dunia wanita karir, sekolah kembali biasanya untuk mencari gelar agar menunjang kenaikan karirnya, yang berujung pada kenaikan pendapatan. Tetapi sebagai ibu, sekolah kembali agar lebih pintar, wawasan lebih luas, lebih bijak karena memiliki dasar keilmuan yang lebih baik, dan tujuan lain yang biasanya jauh lebih berdasar.

Anak-anak tidak pernah peduli dengan titel ibunya, namun mereka peduli dengan bagaimana ibu memberi sentuhan, jawaban atas pertanyaan kritis mereka, bagaimana ibu bisa piawai mengemas masalah yang sebenarnya sangat kompleks menjadi sederhana dan masuk akal bagi otak cerdas mereka namun kemampuan verbal yang masih anak-anak. Apakah itu cukup dari ibu yang tidak terdidik? Dari ibu yang terpaksa? Atau cukup dari pembantu dan baby sitter? I don't think so!!

Mengenai ijin suami, aku sih setuju tidak perlu ijin suami untuk bekerja atau tidak. Yang diperlukan adalah kompromi, diskusi sehat, pembicaraan mesra, mengenai segala keputusan termasuk keputusan apakah seorang istri bekerja atau tidak. Karena suami istri dalam rumah tangga adalah partner, bukan ketua dan wakil, atasan dan bawahan, bos dan pegawai. Menafkahi keluarga, mengurus dan mendidik anak, dll masalah dalam rumah tangga adalah kewajiban bersama suami dan istri. Bagaimana semua itu agar bisa berjalan selaras adalah terserah masing-masing rumah tangga menyikapinya. Tidak ada pakem yang kaku untuk pembagian peran, tugas, atau tanggung jawab untuk itu.

Yang jelas, jangan karena egoisme suami dan istri, anak-anak menjadi korban. Ingatlah bahwa keberadaan mereka dalam rumah tangga bukanlah kehendak dan pilihan mereka. Mereka adalah generasi penerus yang harus kita siapkan. Jangan kita sibuk dengan urusan kita, sibuk dengan eksistensi diri kita, sibuk dengan alasan mencari uang untuk mereka, dll. Yang mereka perlukan bukan hanya materi, bukan hanya sisa waktu, tenaga, dan pikiran kita, akan tetapi justru waktu, pikiran, dan tenaga kita yang paling prima yang mereka perlukan.

Bagaimana solusinya? Terserah masing-masing rumah tangga. Namun, menurutku kondisi seperti yang ada sekarang sangat diperlukan introspeksi diri semua suami dan semua istri untuk melihat diri masing-masing dengan mata hatinya sendiri. Apakah mereka sudah menjadi suami, istri, maupun orang tua yang baik dan benar?

Tidak perlu menyalahkan orang lain ataupun masyarakat dan pemerintah apalagi pemimpin. Karena pemimpin yang baik akan ada jika masyarakat yang memilih sudah baik. Masyarakat akan baik jika tiap keluarga sudah baik. Keluarga akan baik jika tiap anggota keluarga baik. Semua itu akan bersumber pada suami dan istri yang baik sebagai "penggagas" terbentuknya rumah tangga tersebut.

Setuju donk................

Selasa, 11 September 2007

babyku

baby cantikku ingin ikut nulis di sini sekarang ini. so, diteruskan nanti ya, ada hal yg jauh lebih penting.... dia mau tidur pagi!!!