Halaman

Jumat, 30 November 2007

KE MASJID, DULUUUUUUUUUUUUUU

Karena cerita tentang anakku kok males ke masjid, saya jadi ingat kisah mereka duluuu (4-5 tahun lalu / sekitar tahun 2002-2003). Saya copy aja ya.............. :

Sore itu adzan Maghrib sudah berkumandang, disusul suara Iqamat mengajak umat Islam segera berdiri untuk mendirikan Shalat Maghrib. Dengan sarung masing-masing, Hafizh (10 th), Farras (7 th), dan si bungsu Rafi (3 th) sudah siap ke masjid.

Tapi..................., lho! Kok malah pada diam ya?

“Sudah Qamat lho ganteng-ganteng!”
“Ntar dulu, Ma.”
“Hayooo, nunggu apa lagi, sudah hampir selesai 1 raka’at tuh.”

Mereka bertiga malah asyik mengerumuni papanya yang baruuuu aja datang dari kantor dan sedang melepas sepatunya.

Saya sangat heran dengan ketidak biasaan mereka ini. Kemudian papanya berlalu ke kamar mandi setelah mengelus kepala tiga jagoannya. Tiba-tiba mereka bertiga berkacak pinggang (lucu sebenarnya tetapi saya berusaha serius karena muka mereka serius, dan....tambah lucu).

“Jadi begitu ya, Mama! Kalau anak-anaknya aja disuruh shalat ke masjid, kalau SUAMINYA nggak ke masjid dibiarin!”

Mereka bertiga langsung melesat ke masjid takut kehilangan 1 rakaatnya dan meninggalkan saya yang sangaaaat terkesima dan suami saya yang langsung keluar dari kamar mandi karena mendengar protes mereka. Haaaaaaaaaah mereka bilang ke saya SUAMINYA? Waduuuh, kok gituuuu???

Kami berdua saling pandang, senyum, komentar: “That are your sons!”

Kamis, 29 November 2007

LHO, KOK ANAK-ANAKKU MALES SHALAT KE MASJID?

Adzan Maghrib sudah berkumandang...................................

Iqamat sudah diperdengarkan.............................

Kok anak-anak masih pada asyik dengan kegiatannya? Nggak seperti biasanya mereka begini? Saya perhatikan, sudah 2-3 hari ini adaa saja alasan mereka bergantian minta ijin tidak shalat berjamaah ke masjid.

“Maaa, aku sedang makan.”
“Maaa, aku sedang mandi.”
“Maaa, aku nggak shalat di masjid dulu ya, capek.”
“Maaa, hujan gerimis, boleh dong nggak ke masjid.”

Begitu mereka beralasan bergantian. Tapi, hari ini kok kompak? Semua masih santai, tidak ada yang tergopoh-gopoh berlari ke Masjid karena raka’at pertama sudah mulai. Ya, mereka kadang nunggu baca surat apa gerangan sang Imam shalat saat itu. Jika surat pendek, mereka segera melesat ke masjid takut ketinggalan raka’at pertama. Tapi, jika surat panjang, wah, nyantai dulu aah.toh suratnya panjang, masih sempet ngikut imam di raka’at pertama. Bandel memang, namanya anak-anak, karena banyak surat yang mereka hafal, malah dijadikan alat untuk lambat-lambat ke masjid.

Mulai dari.................:
“Siapa yang mau uang Rp 1.000,- dan siapa yang mau Rp 27.000,-?”
“Bagaimana Allah mau memberikan yang kalian minta kalau kalian tidak melaksanakan apa yang Allah suka?”
“Kira-kira papa mama Allah kasih rejeki nggak ya kalau anak-anaknya nggak shalat jamaah di masjid?”
“Siapa yang mau rumah iiiiiindaaaaaaaaaaaaah banget di syurga?”

Sampai...........:
“Mama tidak mau kalian tidak shalat jamaah di masjid padahal tidak ada uzur!”
“Mulai sekarang, pulang sekolah mandi, makan, dll supaya saat shalat Maghrib tidak ada yang beralasan macam-macam untuk tidak berjamaah di masjid. Mama tidak mau anak-anaknya tidak dicintai Allah karena tidak melakukan apa yang Allah suka!”

He he he, galak ya? Nggak sih, semua ngomongnya pakai ngelus dan ciumi mereka lho. Kalau parah, baru deh agak menunjukkan kesedihan hampir nangis gitu. Mereka nggak mau lihat mamanya sedih, apalagi sampai nangis gara-gara tingkah mereka.

Alhamdulillah, sekarang sudah tidak begitu lagi. Mereka sudah shalat jamaah ke masjid tanpa disuruh. Tapi memang saya harus sekali-sekali memotivasi mereka. Lha, kan papanya sampai rumah sudah lewat Isya’.

Saya memang tidak ingin anak-anak saya tidak melakukan apa yang Allah suka, termasuk shalat berjamaah di masjid.

Rabu, 28 November 2007

“DIAJENG”

Dua bulan yang lalu, Vania, bayiku yang masih berumur 9 bulan sering mengeluarkan suara yang sangat familiar di telinga kami (aku, suami, dan anak-anak). Mulanya kami tidak terlalu memperhatikan. Namun lama kelamaan makin nyata terlebih saat bayi saya itu menangis atau merajuk.

“Dieejeeeeng..........” begitu kata yang dia ucapkan. Kami sekeluarga sontak tertawa bersama saat kami akhirnya beramai-ramai memperhatikan dengan seksama apa yang sebenarnya dia ucapkan.

He he he. Mengapa kami tertawa? Ya, karena DIAJENG itu adalah panggilan dari suamiku kepadaku yang merupakan bahasa Jawa yang artinya “adinda”. Suamiku tidak menyangka baby cantik kami sudah mulai bicara di umur 9 bulan. Jadi dia masih memanggilku “diajeng” karena anak kami yang lain sudah besar dan faham untuk tidak meniru bagaimana papanya memanggil mamanya.

Sejak itu, suamiku memanggilku “Mama”. Sekarang, Vania mungil kami yang berumur 11 bulan memanggilku “Mama”. Sambil berjalan ala “drunken master” dia akan teriak “Mama...............Mama............” he he he. That’s our pretty baby.

Senin, 26 November 2007

JALAN

Pagi ini, 12 November 2007 bayi cantikku mulai bisa berjalan tanpa berpegangan. Menjelang umurnya yang ke 11 bulan. Lucu sekali. Meski hanya beberapa langkah, sudah sangat menggembirakan seluruh anggota keluarga.

Semua memberi semangat jika melihat dia berdiri untuk berjalan. Semua menyarankan untuk perlahan-lahan dan hati-hati agar tidak jatuh. Ya, semua memberi dukungan positif, even saat dia terjatuh.

Duuhh, indahnya jika seumur hidup kita mendapat dukungan semangat dan hiburan seperti itu. Apapun yang kita lakukan pasti akan berbuah manis dan tidak ada putus asa karena banyak support yang selalu menyertai setiap langkah kita.

KORUPSI

Saya pernah menulis opini tentang mengapa korupsi semakin merajalela dan sulit diberantas di suatu media. Bisa ditebak? Tidak dimuat! He he he memang tulisan saya tidak lagi diminati media cetak seperti saat saya kecil dulu. Kenapa ya? Mungkin kalau anak kecil punya pendapat berbeda dianggap inovatif. Eee sudah tua kok nggak mau ikut arus? Ya nggak laku! Padahal katanya sudah era reformasi? Ternyata reformasi itu hanya berlaku untuk yang banyak temannya.

Nggak papa.
Ok, saya akan tulis lagi pendapat saya tentang sulitnya korupsi diberantas, dan saya masukkan blok saya. Siapa yang mau ngelarang hayo! Pasti dimuat donk!

Menurut saya, korupsi akan sulit diberantas selama masyarakat menyukainya. Ngawur! Lho, masa sih saya ngawur? Kan menurut saya. Kalau memang masyarakat tidak menyukainya, pasti akan ada sanksi sosial yang berat jika ada orang yang korupsi meski dia bagi-bagi kepada orang lain dan tidak ketahuan atau ditangkap. Kadang saya pikir, orang akan teriak berantas korupsi kalau dia dan / atau keluarganya tidak kebagian atau tidak mendapat kesempatan untuk melakukan korupsi.

Ngawur lagi? Ya nggak to. Wong orang atau kelompok orang yang mengaku berbasis agama aja setelah mendapat kesempatan mereka juga korupsi. Kok saya berani ngomong gitu? Lha saya hanya melihat tindakan mereka dan mendengar dari mulut mereka sendiri. Memang saya tidak pernah mendokumentasikan karena saya tidak ada maksud mendiskreditkan seseorang. Yang menyedihkan, untuk mendasari perbuatan mereka itu tidak sungkan-sungkan menggunakan ayat Allah. Naudzubillah mindzalik.

Ada lagi fenomena yang tidak kalah menyeramkan. Orangtua terutama Ibu yang semestinya menjadi saringan paling bagus agar anaknya selalu “fitrah” sudah jarang berfungsi dengan baik. Iya, seorang ibu saat sekarang ini akan bangga dan tidak banyak bertanya jika anaknya kaya, banyak melimpahinya dengan harta, fasilitas, dsb. Akan tetapi seorang ibu akan menanyakan “mengapa” jika anaknya masih miskin saja sementara teman-temannya sudah berlimpah harta.

Kadang memang kesannya orang tidak korupsi, akan tetapi dia akan memberikan kesempatan kepada keluarga, teman, golongan, untuk “proyek” yang ada di lingkungan kerjanya. Yah, itu korupsi juga Bu, Pak.

So, kapan korupsi mudah diberantas? Kalau masyarakat sudah tidak suka dan sanksi masyarakat akan efektif kedapa orang yang melakukan korupsi dalam bentuk apapun. Kalau kita sudah mendidik anak-anak kita untuk malu berbuat jelek, malu mengambil yang bukan hak kita, malu untuk tidak jujur, dll. Ya, kita masing-masing memperbaiki diri maka masyarakat akan menjadi baik karena komponennya sudah baik.

Minggu, 25 November 2007

WARTAWAN

Profesi ini akan sangat memberi pengaruh kepada masyarakat. Apalagi sekarang ini, terutama wartawan televisi sangat mempengaruhi cara pandang masyarakat. Masyarakat kita belumlah dewasa dalam menanggapi berita yang disajikan oleh para wartawan di media televisi utamanya. Banyak diantara mereka yang “asal telan” informasi yang tersaji tanpa memilah dan mengolah terlebih dahulu.

Masyarakat menganggap apa yang disajikan oleh wartawan sudah masak, sudah ditelaah dan dicompare dari berbagai sudut pandang, sehingga mereka percaya 100%. Belum lagi mengingat penonton bukan hanya orang dewasa. Terkadang ada tayangan dewasa yang memang ditayangkan malam hari, tetapi iklan atas tayangan tersebut di jam-jam yang “asal” ada pagi, siang, atau sore hari. Pernah anak saya yang waktu itu berumur 7 tahun bertanya; “Ma, ejakulasi dini itu apa?” Nah, siapa yang mau bertanggung jawab?

Ada lagi, tayangan dengan tulisan kecil diatas layar “BO” tetapi tayangan tersebut isinya beberapa tidak pantas untuk anak-anak. Itu namanya “kurang ajar” yang membuat orangtua harus menyelesaikan pekerjaan si pembuat tayangan karena harus menjelaskan sesuatu yang bukan porsi anak-anak kepada anak-anak. Harusnya, “BO” artinya tayangan memang untuk semua umur akan tetapi perlu penjelasan. Contohnya “Tom and Jerry” yang sering terjadi ketidak adilan karena selalu Tom yang celaka meski Jerry yang nakal.

Dalam pemberitaan, wawancara (yang sering seperti interogasi dan memojokkan), ilustrasi berita, kekerasan, reka ulang yang harusnya hanya konsumsi polisi atau penegak hukum lain dengan tujuan menggali kebenaran dan sama sekali tidak ada kepentingannya publik melihat hal itu tetapi dengan gamblang disajikan kepada publik.

Wartawan, seharusnya mendulang pahala yang banyak jika fungsinya mencerdaskan masyarakat dengan informasi yang benar dan bertanggung jawab. Jangan karena merasa harus menyampaikan kebenaran tetapi tidak peduli dampak buruk yang bisa terjadi.

Sabtu, 24 November 2007

INVESTASI

Saya ingin cerita pengalaman saya mengelola uang semoga bermanfaat. Ada saran? Welcome banget.

Sejak kecil saya biasa berfikir jauh ke depan dalam segala hal.Sejak anak pertama lahir, saya berfikir tentang biaya sekolahnya. Saya dan suami pegawai negeri, meski kata orang gaji kami "lumayan" apalagi berdua dan ditambah sambilan di malam hari (mumpung masih muda), saya yakin saat anak saya besar inflasi akan "mbalap" penghasilan.Praktis aja, tiap bulan saya sisihkan Rp25.000,- tiap anak saat gajian untuk ditabung sejak anak lahir. Karena takut terpakai, saya beli US$. Waktu itu US$1 = Rp2.400,-. Tak disangka, tahun 1997 US$ melejit sampai Rp 18.000,-, saya rupiahkan US$ saya dan kembali saya US$ kan saat harga Rp 6.000,-

Jadi berlipat kan?OK? Saat saya merasa sulit membagi waktu antara karir dan anak, saya putuskan untuk fokus pada anak. Dasar nggak bisa diam, saya coba berbagai usaha dan investasi. Bahkan sempat tertipu (berkali-kali) , ada yang sampai sekarang masih terutang belum tertagih. Ada teman pengacara akan tuntut dan lapor polisi karena jumlah "lumayan besar" bagi saya, tapi saya nggak tega (kasihan anak-anaknya kalau Bapak Ibunya ditangkap polisi). Sekarang mereka nggak tahu kemana tapi saya berharap Allah buka hati mereka untuk mengembalikan uang saya.

Karena pensiun PNS saya anggap tidak cukup untuk membiayai gaya hidup kami nanti (saya ingin bebas waktu dan uang saat pensiun tanpa ngrepoti anak), maka sejak beberapa tahun lalu saya investasi jumlah tertentu tiap bulan di reksadana. Ya, menurut saya menabung kurang OK, investasi baru OK.

Sekarang saya punya baby lagi, jadi tidak bisa mobile, karena saya selalu urus baby saya sendiri dan menikmati kerepotan yang tidak akan pernah terulang. Maka saya alihkan dana usaha yang tersisa dengan investasi yang bisa saya pantau lewat dunia maya. Konservatif banget sih, dana segitunya harus konservatif.

Saya juga ingin investasi akhirat (ilmu yang bermanfaat), maka sejak 2 tahun lalu saya membuka sekolah (TK & SD). Memang tidak gratis karena saya ingin nantinya sekolah bisa survive membiayai dirinya sendiri tanpa minta-minta. Lagipula, menurut saya, bukan hanya anak dari keluarga miskin yang perlu dibantu. Anak dari keluarga yang mampu secara materi juga perlu bantuan berupa pendidikan yang tepat. Sekarang sekolah masih pinjam rumah saya yang agak luas (sementara saya pindah ke tempat lain yang kecil). (Ada masukan dari Bapak Ibu yang baik untuk mencari lahan dan dana untuk membangun gedung? Karena sekolah ini bukan profit motif). Lho, kok malah curhat? Maaf jangan terlalu diambil hati n jadi beban ya.

Memang, kami hemat, berusaha bijak dalam finansial (kan nantinya juga akan ditanya darimana kita mendapat dan kemana membelanjakan rejeki kita), anak-anak saya ajak berfikir dan bertindak bijak, dan kami bersyukur atas semua ini.Nah, harapan saya, sekolah anak-anak (anak saya 4)lancar, suami saya bisa pensiun muda, "pacaran" lagi karena anak-anak sudah besar, jalan-jalan, dll. Amiin.

Jumat, 23 November 2007

IBU ITU TAHU ANAKNYA ADALAH BERLIAN

Saat itu saya ada perlu ke sebuah Money Changer yang berada di dalam Mal. Selesai urusan, saya mampir ke toko buku meski tidak ada agenda membeli buku. Yah, sekedar sightseeing, kalau nanti akan beli buku sudah mempunyai bayangan buku apa yang akan dibeli.

“Aku terlahir 500 gram dan buta” cukup menarik perhatianku. Saya memang suka membaca true story, terutama tentang pengasuhan anak, kehebatan seorang ibu dalam melakukannya, atau tentang perjuangan orang dalam meraih kesuksesan. Sebelum nanti membelinya, saya baca dulu isinya.

Sekilas saya baca kisah nyata ini tentang pengakuan anak tersebut. Dia lahir dengan berat hanya 500 gram, jari-jari sebesar batang korek api, masuk inkubator 7 bulan lamanya. Setiap hari selama 7 bulan ibunya selalu datang ke RS tempat dia dirawat, tidak peduli hujan maupun salju turun dan tanpa payung. Tiap datang, dengan linangan air mata namun keyakinan tinggi, ibunya selalu mengajak dia berbicara. Selanjutnya ibunya mendidiknya dengan sangat baik. Tidak berarti permissive karena dia mempunyai kekurangan. Tapi jika perlu juga keras. Ibunya mendidik tegas dalam artian “firm”. Kalau tidak ya tidak, kalau harus ya harus. Tidak lembek!

Dalam buku itu si anak bersyukur mempunyai ibu yang mendidiknya sebaik itu, sekeras itu, tidak lemah karena kondisinya, tetap tegar dan kuat. Seandainya ibunya banyak memberi keringanan kepadanya karena kondisinya, dia yakin dia tidak akan seperti sekarang. Dia memang Berlian yang dididik dengan benar.

Saya jadi malu pada diri sendiri, sekaligus terinspirasi untuk belajar agar menjadi lebih baik. Ya, kalau anak yang terlahir seperti itu saja bisa menjadi “hebat” dengan pengasuhan yang benar, maka tentu anak-anak lain yang terlahir dengan keadaan fisik yang lebih baik harus menjadi lebih “hebat” lagi. Atau untuk menjadi “sama hebat” hanya memerlukan perjuangan yang lebih ringan dari orangtuanya.

Ya, ibu itu tahu dan yakin, anaknya adalah berlian. Dia hanya perlu berjuang lebih keras dari orangtua lainnya untuk memperlihatkan kilauan berliannya. Dia juga yakin, dia mempunyai kemampuan untuk berjuang jika dia mau. Karena memang Allah tidak mungkin menganugerahi anak seperti itu kalau ibunya tidak mampu mengasuhnya. Allah tidak pernah dzalim! Dia rela melakukan apa saja, mengorbankan apa saja untuk kemajuan dan kebaikan anaknya. Tentu dia sangat berat perasaannya waktu harus tegas pada buah hatinya ini yang mempunyai kelemahan fisik. Tapi tetap dia lakukan karena dia sangat sayang pada anaknya.

Banyak lagi ibu yang mempunyai anak “berbeda” namun tetap berjuang keras agar anaknya mampu mandiri. Anak autis menjadi anak hebat, anak cacat kaki dan tangan ditambah down syndrome bisa menjadi pianis handal, anak buta bisa menjadi komponis hebat, dll. So, kita yang diberi kemudahan dengan anugerah anak yang “normal” harusnya bersyukur dengan mendidik anak kita dengan benar. FIRM!! Tidak galak, tidak permissive. Tidak pelit, tapi juga tidak mengabulkan segala keinginan anak yang justru akan menjerumuskan anak. Memberikan yang diperlukan akan lebih bijak.

Saya harus membeli buku itu!

Rabu, 21 November 2007

KELUARGA RASULULLAH

Semua anak lelaki kami, kami beri nama MUHAMMAD karena kami ingin mereka mempunyai pribadi seperti Rasulullah.

“Muhammad Hafizh Zuhdi!”
“Muhammad Farras Abiyyu!”
“Muhammad Arib Rafi!”

Begitu saya memanggil mereka jika setelah dipanggil beberapa kali mereka tidak menyahut ataupun datang kepada saya. Saya biasa memanggil nama lengkap mereka jika terjadi demikian agar do’a saya makin lengkap sehingga sikap mereka yang tadinya cuek dengan panggilan saya menjadi memperhatikan.

“Khadijah Vania Widyadana Zahida!”

Anak lelaki terkecilku suatu hari berteriak memanggil nama adiknya karena adiknya memberantakin buku-bukunya.

“Kok Khadijah?”
“Iya Ma, kan adek perempuan.”
“Tapi kan nama adek nggak ada Khadijahnya?”
“Ya nggak papa Ma, yang penting kan keluarga kita kayak keluarga Rasulullah.”
???????
Amiin, semoga berkahnya sama.

DOUBLE GARDAN

Dulu, saat aku masih aktif bekerja sebagai tax auditor di instansi pemerintah, banyak orang berkomentar; “Wah, enak ya dua-duanya kerja, pasti aman lah kan double gardan.” He he he.......... kok standarnya materi ya???

Setahuku sih, double gardan adalah istilah untuk mesin yang performanya bagus. Jadi maksud mereka, penghasilan kami banyak karena dua-duanya kerja. Pegawai negeri pula.
Lagi-lagi materi yang dijadikan tolok ukur ya? Dasar jaman materialisme!

Kami berdua, aku dan suami, punya opini lain tentang bouble gardan. Menurut kami, memang dalam rumah tangga sangat diperlukan double gardan. Tapi, justru bukan suami istri sama-sama mengejar karir dan uang di luar rumah. Tetapi double gardan dalam pemikiran, dalam keimanan, dalam menghadapi segala benturan, terutama dalam menyiapkan generasi. Duilee gaya amat! Ha ha ha........... ya iyalah! Dewi gitu loh!!

Lha memang. Nggak bisa dalam masyarakat seperti ini membesarkan anak sendiri atau malah tidak dua-duanya karena kesibukan berkarir, dan anak hanya mendapat sisa tenaga, waktu, dan pikiran orangtuanya. Mereka hanya dibimbing oleh pembantu, baby sitter, dan sopir. Kecuali memang bapak dan ibu adalah “super” dalam segalanya, salut untuk anda berdua.

Tapiii.................. kayaknya nggak mungkin ya Anda orangtua super! Aku aja nggak bisa lho waktu yang cuma 24 jam ini bisa dipakai untuk karir dan anak secara PRIMA semua. Kecuali............. kantor milik sendiri!! Selama masih sebagai pegawai............. boong aja kalee bisa memberikan waktu, tenaga, pikiran, dan perasaan PRIMA kepada anak dan karir sekaligus.

So, jadilah DOUBLE GARDAN dalam membina rumah tangga bahagia, anak bahagia, tumbuh kembangnya sempurna sebagai generasi peberus bangsa.

Selasa, 20 November 2007

FITRAH

Anak terlahir di dunia dalam keadaan fitrah. Bukan seperti kertas putih kosong dan kita bebas menorehkan tulisan di dalamnya, bukan sama sekali. Anak lahir sudah sempurna sebagai ciptaan Allah. Mereka terlahir dalam kondisi fitrah, dan tugas kita menjaganya selalu dalam kondisi fitrah sampai nanti mereka kembali kepada penciptanya. Sehingga saat kembali mereka akan dipanggil sebagai “jiwa yang tenang”.

Dalam perjalanan hidup, anak manusia akan mengalami penyimpangan dari fitrahnya. Apabila tidak ada pengarahan dan bimbingan yang benar, maka penyimpangan akan sangat jauh dari fitrah.

Allah menyediakan mekanisme kembali ke fitrah dengan guidance berupa kitab suci (Al Qur’an) dan contoh tindakan manusia (Rasul). Orangtua dan lingkungan berkewajiban selalu menjaga ke “fitrah” an setiap anak manusia. Apabila manusia mengikuti guidance yang telah disediakan, maka akan selalu kembali ke fitrah atau mendekati fitrah.

Minggu, 18 November 2007

RAJA VS KERAS

Ada juga yang menganggap saya itu memperlakukan anak saya bagaikan raja, dipuja setinggi langit, nggak pernah ditegur, nggak boleh “dicolek”, semua disediakan, semua permintaan dikabulkan, dan perlakuan permissive lainnya. Ada lagi karena melihat anak saya tidak mbantahan, kasar, ngrajuk yang sangat sama orangtua, mengira saya dan suami keras/galak terhadap anak.

Saya justru tidak setuju dengan orangtua yang memperlakukan anak bak seorang raja. Semua boleh, semua disediakan, semua dilayani, semua tidak dilarang, semua serba untuk mereka. No way!!

Anak berhak untuk ditegur jika salah, anak berhak dilarang, anak berhak permintaannya ditolak, dan masih banyak lagi hak anak untuk kita bilang TIDAK pada mereka. Ya, mereka berhak untuk kita arahkan agar mereka menjadi pribadi yang baik. Sikap permissive kita justru akan menjerumuskan anak sehingga menjadi anak yang egois, tidak tahu prioritas, mau menang sendiri.

Namun, anak juga berhak mendapat perlakuan yang santun, tutur kata yang bagus, sopan, tidak kasar, alasan yang jelas dan masuk akal mereka, dan yang paling penting adalah contoh baik dari orang dewasa di sekitarnya terutama orangtuanya.

Jadi gimana donk? Kita harus FIRM!!!!!!!! Itu kuncinya. TEGAS namun santun dan manis. Kalau memang sesuatu tidak bagus bagi anak, maka kita harus konsisten untuk melarangnya. Kalau sesuatu bagus untuk anak, kita harus konsisten memberi contoh dan mengajak anak untuk melakukannya. Yang mengendalikan rumah kita adalah kita orangtua, bukan anak-anak kita.

So, anak bukanlah RAJA, namun kita tidak perlu GALAK sama anak.

ANAKKU BERLIAN

Saya memang sering menggunakan penyebutan “berlian” untuk anak-anak saya. Banyak tanggapan mengenai hal ini, yang sayangnya seringkali tidak seperti yang saya maksudkan. Kebanyakan, mereka menganggap/mengira anak-anak saya “hebat”, super kids, juara terus, loncat kelas, dsb. Semua serba material tolok ukurnya. Anak saya tidak seperti anak lainnya. Anak ya anak. Tdak ada bedanya kecuali attitude nya.

Padahal menurut saya, anak memang bagaikan berlian (memang sih pasti lebih dari itu). Berlian itu indah, menyenangkan, berharga (mahal) bahkan di black market, keras sampai bisa untuk memotong kaca, pilihan, hasil dari proses yang sangat panjang. Demikian juga anak. Mereka adalah “yang terpilih”, mereka adalah “pemenang” dari jutaan “kandidat” yang berebut mencapai ovum. Bahkan anak yang menyandang cacat fisik dan mental sejak lahir, mereka tetap berlian. Mereka sudah sempurna Allah ciptakan. Dibalik kekurangan mereka pasti ada kelebihannya. Seperti juga anak yang dilahirkan dengan fisik dan mental yang “normal”, dibalik kelebihannya pasti juga ada kekurangannya.

Kita orangtua diberi amanah untuk menjaga, merawat, memoles, melakukan shaping, dan treatment lainnya yang diperlukan agar berlian ini tetap terjaga keindahannya, tetap berharga, tetap kuat, menyenangkan hati siapapun yang melihatnya (berinteraksi dengannya), memberi manfaat bagi sekitarnya.

Ya, anakku memang berlian.

Sabtu, 17 November 2007

MACET

Kemarin ada beberapa dokumen penting yang harus saya tandatangani. Biasanya kalau saya tidak sempat ke kantor, ada messenger yang datang ke rumah membawa dokumen tersebut dan setelah saya tandatangan akan dia bawa kembali ke kantor. Hari itu Messenger sedang tidak masuk, jadi saya harus ke kantor itu. Sekarang putri cantikku sedang sulit dibawa pergi berkendara berdua saja. Ya, dia sedang banyak maunya tetapi belum bisa diajak diskusi bahwa dia harus duduk manis di kursi mungilnya dengan menggunakan seatbelt sementara saya nyetir. Naik kendaraan umum? Repot! Taxi? Mahal!

Saya lalu menyiapkan segala keperluannya (ASI di botol, biskuit bayi, mainan, tissue basah,dll) di mobil dalam jangkauan tangan saya, agar tidak menyulitkan saya mengambilnya sambil nyetir. Dengan Bismillah akhirnya saya meluncur berdua. Awalnya sampai sepertiga perjalanan, dia tenang sambil kami berdua nyanyi. Namun, ternyata meskipun kami keluar sudah jam lega, masih macet panjang. Mulailah si kecilku protes karena mobil berhenti lama. Sambil bermacet ria saya mencari akal agar dia tidak menangis lagi.

Setelah berbagai macam cara saya coba, akhirnya dia tenang melihat muka saya sambil tersenyum dan kelihatan heran. Mungkin karena melihat mimik dan suara saya yang berubah-ubah sesuai peran yang sedang saya suarakan. Saya memang sedang menggelar sandiwara hanya dengan suara dan mimik yang berubah-ubah karena kedua tangan dan mata saya sedang diperlukan untuk nyetir. Dan..............sukses! alhamdulillah, vania tersenyum riang dan nggak rewel lagi. Entah tersenyum karena pertunjukan saya menarik atau karena dia kasihan melihat mamanya berusaha keras membuat dia tenang.

Siapa tahu cara ini bisa juga diterapkan oleh Ibu Ibu lain? Monggo saja, mudah-mudahan sukses juga seperti saya. Ibu memang harus kreatif dan banyak akal.

Jumat, 16 November 2007

DOKTER JUGA MANUSIA

Membaca milis mengingatkan saya pada kejadian 4-5 tahun silam yang belum sempat saya dokumentasikan dalam tulisan.

Saat itu suami tercinta tengah malam mengeluh sakit perut yang sangat. Malam itu juga saya bawa dia ke RSI Jakarta Timur. Saya mengemudi mobil sangaat pelan karena goncangan kecil saja membuat suami saya menjerit kesakitan layaknya sakit perut karena mau melahirkan.

Setelah masuk UGD, diputuskan untuk rawat inap. Setelah dilakukan berbagai observasi, suami saya didiagnosa terjadi infeksi usus buntu (apendisitis) dan harus segera dioperasi. Sayapun diminta mengurus segala keperluan pra operasi.

“Ibu silahkan ke kantor untuk mengurus surat kesediaan untuk dilakukan operasi.”
“Kenapa suami saya harus dioperasi?”
“Terjadi infeksi usus buntu, Bu.”
“Ok, mana buktinya?”
“Maksud Ibu?”
“Ya bukti kalau memang usus buntunya harus diambil.”
“Dari gejala klinis dan lain lain menunjukkan hal itu. Adik ibu yang dokter juga sudah kami libatkan dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan ini.”
“Saya tidak akan tanda tangan persetujuan operasi kalau saya belum melihat bukti kuat (foto/USG/lainnya) bahwa perlu dilakukan operasi. Tapi, saya juga tidak mau sampai terlambat kalau memang perlu dilakukan operasi.”
!!!!!!!!!!!?????????
“Berarti harus banyak lagi dilakukan tes, Ibu.”
“Ya lakukan segera, kenapa malah ngajak saya berdebat. Saya buta masalah ini. Jangan buang waktu lagi, kasihan suami saya.”
“Tapi Ibu, biayanya sangat mahal.”
“Dok, uang urusan saya, saya akan mencari dengan cara saya untuk mendapatkan uangnya. Tugas dokter mengupayakan kesembuhan suami saya dengan baik. Apa dokter mau dan sanggup mengembalikan luka perut suami saya karena dioperasi jika sebenarnya operasi itu tidak perlu dilakukan?”
“Baik, kami segera lakukan tes-tes yang diperlukan.”

Begitulah saya berdebat dengan dokter bedah yang cukup senior di sana (lupa namanya meski ada filenya). Memang Dewi sok tahu, sok kaya, sok galak! He he demi suami tercinta, dan juga saya selalu berusaha menjadi konsumen yang baik. Mengingatkan siapa tahu dokternya lupa atau nggak kepikiran bahwa meski memang usus buntu biarpun sehat tidak terlalu berpengaruh jika diambil, namun saya tidak setuju keputusan yang tergesa.

Hasil observasi, ternyata suami saya usus buntunya baik-baik saja. Hanya, ada batu di saluran ureter yang menyumbat air seni yang menyebabkan sakit luar biasa. Kali ini, sebelum diambil tindakan dokter spesialis urologi menjelaskan panjang lebar kepada saya tentang penyakit ini serta semua alternatif penanganannya untuk saya pilih. Bahkan pakai slide dan berbagai contoh gambar hasil rontgen.

“Nah, Ibu sekarang bisa bilang ke adik Ibu yang dokter umum, bahwa Ibu sekarang sudah dokter spesialis. Karena materi yang saya jelaskan ke Ibu tadi adalah seluruh materi spesialis urologi yang biasa saya berikan ke mahasiswa spesialis saya. Suami Ibu sangat beruntung mempunyai istri seperti Ibu. Dia terlepas dari kesalahan diagnosa. Namun, kesalahan ini bukan malpraktek Bu, karena memang tanpa pemeriksaan yang sejeli yang Ibu minta, semua mengarah ke peradangan usus buntu. Adik Ibu sendiri saksinya kan.”

“Ok. Thanks Dok, dan maaf kalau saya cerewet dan sok tahu.”

So, ternyata sebagai pasien kita harus ikut serta membantu dokter yang kadang salah demi kepentingan kita sendiri juga (kan dokter juga manusia!

Rabu, 14 November 2007

MIMPI & DIMENSI WAKTU

Saya pernah bermimpi. Di dalam mimpi, saya tekadang mengalami perjalanan hidup (cerita) yang berdurasi berhari-hari (melebihi waktu tidur saya sendiri saat mimpi terjadi). Seperti kita nonton film atau sinetron. Dalam durasi setengah jam saja, cerita bisa tentang masalah yang berbilang hari atau bahkan lebih.

Mimpi-mimpi saya itu membuat saya berfikir tentang waktu hidup saya. Orang Jawa (orangtua saya tepatnya) sering mengatakan; “Urip iku mung mampir ngombe.” Lalu ada juga yang menggambarkan sehari di akhirat sama dengan seribu tahun hidup di dunia ini. Ya, sangat mungkin itu benar. Hidup kita yang sekian puluh tahun ini, sangat mungkin hanya dalam hitungan menit atau detik dalam real waktu (kehidupan kekal), seperti mimpi dalam tidur kita.

Kisah hidup di dunia jadi seperti mimpi saja. Tahu tahu sudah sekian puluh tahun lalu saya lulus SMA, padahal rasanya seperti baru kemarin. Masih merasa remaja saja. Tahu tahu anak sudah besar, perasaan belum lama mereka lahir. Dst.

So, mungkin tahu tahu saya dipanggil Allah, sementara belum berbuat apa-apa. Dewi!! Bersiaplah dari sekarang! Jangan tunda lagi!
Sangat mungkin hidup di dunia hanya seperti mimpi, hidup sesungguhnya adalah di akhirat.

NGADU

Malam itu anak ketiga saya (Rafi, 8 thn) datang ke kamar saya dengan air mata nyaris jatuh ke pipinya yang sudah tidak cubby lagi. Dengan suara manja dia ngadu ke saya.

“Itu Ma, Mas Hafizh pakai pianikaku tapi nggak mau naruh ke tempatnya lagi. Terus, aku jadi capek harus rapiin padahal aku sudah ngantuk.”

Langsung saya peluk dan tenangkan hatinya, elus dan cium kepalanya yang baunya ledis tapi sedep. Saya usap airmata yang nyaris jatuh sambil putar otak cari cara jitu.

“Cinta mama, kalau Mas Rafi mau taruh balik pianika itu meski Mas Hafizh yang pakai, Malaikat pada berebut mbagusin rumah Mas Rafi di surga. Mungkin sekarang mereka sudah siap-siap karena tahu Mas Rafi mau berbuat baik.”

“Pintunya seperti pintu Masjid Nabawi yang di Madinah ya Ma?”

Tiba-tiba binar indah sudah mengganti mendung di matanya tadi.

“Jauuuh lebih bagus.”
“Ada emasnya ya Ma? Ada berlian di lampunya?”
“Bukan mustahil.”
“Atapnya bisa dibuka seperti payung ya Ma seperti Masjid Nabawi?”
“Kalau Allah yang suruh, malaikat akan lakukan apa saja. Sediakan apa saja buat Mas Rafi.”

Dengan senyum mengembang, air muka sangat riang, dia langsung melesat pergi merapikan pianika yang tadi membuat air matanya nyaris jatuh.

Saya langsung berdo’a, semoga Bapak Ibu saya sekarang ini menempati alam kubur yang indah, terang, nyaman. Dan memang Rafi (juga kakak dan adiknya) nantinya memang penghuni surga yang kekal. Amiin.

Senin, 12 November 2007

SUSU SEGAR

Sudah yang kesekian kali ada teman atau tetangga yang datang menawarkan susu sapi segar. Berbagai tiori (yang saya tidak setuju tetapi saya tidak mau debat kusir) disampaikan. Mulai yang susu itu bener-bener segar, anti alergi, obat segala jenis penyakit, sampai testimoni dari peminumnya sampai anak dia sendiri buktinya.

Dengan halus saya mengatakan bahwa saya tidak membeli. Sebenarnya, biasanya kalau teman apalagi tetangga menawarkan sesuatu, saya akan beli sekedar untuk menjalin tali silaturahim. Tetapi, karena dia bilang susu segar sekali, saya malah agak ragu. Karena menurut saya, susu sapi adalah untuk bayi atau anak sapi. Oleh karena itu, apabila akan dikonsumsi oleh anak manusia haruslah diolah dulu menjadi susu formula. Ya, susu formula adalah susu sapi yang sudah diolah agar sesuai untuk dikonsumsi tubuh manusia.

Walah, kok saya sok bertiori sendiri ya? Ini karena sekarang sulit mempercayai bahkan orang yang berlatar belakang pendidikan yang sesuai. Entahlah, saya itu narsis atau apa. Tetapi untuk sesuatu yang masuk ke tubuh anak-anak, saya tidak mudah mempercayai kata orang. Saya harus berhati-hati tentang dari mana uang untuk membeli makanan tersebut, apa dan bagaimana prosesnya makanan tersebut sampai ke saya (konsumen).

REUNI

Hari ini ada reuni akbar di kampus. Saya dan suami memang satu kampus, satu angkatan. Reuni kali ini memang mengikut sertakan keluarga termasuk anak-anak.

Dengan suami dan 3 anak kami (yang sulung ada acara LDK OSIS sekolahnya), kamipun meluncur ke kampus kami. Sedih, ternyata kampus kami yang dulu bagus sekarang terlihat tidak terawat. Senang, ketemu dengan banyak teman. Maklum, meski kampus kami kedinasan, namun saya memutuskan untuk (kalau boleh sementara) fokus pada menyiapkan generasi. He he sok ya?

Banyak foto dari tiap angkatan dipajang. Namun, anak saya sangat kecewa karena tidak ada satupun foto mama papanya yang ikut terpasang di sana.

“Kok foto mama papa nggak ada?”
“Iya Mas, masa yang rame-rame aja nggak ada mama papa ya?”
“Emang mama papa kemana pas mereka foto-foto?”
“Yah, percuma kita capek-capek lihat foto tapi nggak ada mama papa.”
“Apa mereka takut kelihatan nggak ganteng dan cantik kalau ada foto mama papa dipasang?”
“Iya juga ya, kan memang mama papa paling cantik dan keren.”

Begitu anak-anak berkomentar agak marah dan kecewa.
Saya hanya tersenyum dan sedikit ..................bangga (karena kata mereka, seperti biasa, saya paling cantik!)

Minggu, 11 November 2007

WAKTU & RUANG

Saya pernah diminta mengisi suatu lembar isian tentang hal-hal yang berkaitan dengan anak-anak saya oleh lembaga psikologi dari sekolahnya. Diantaranya:

Kapan waktu belajar?
Kapan waktu ibadah?
Kapan waktu bermain?
Kapan waktu rekreasi?
Kapan membantu ibu?
Ada ruang belajar di rumah?
Ada tempat ibadah?
Ada tempat bermain?
Kemana tempat rekreasi favorit?
Dll.

Gampang bagi saya nulisnya, cuma satu jawaban dari semua pertanyaan itu: dimana-mana (di semua tempat) dan kapan saja.

Persis dugaan saya, saya dipanggil oleh team dan diinterogasi (he he he bukan, diminta menjelaskan). Penjelasan saya adalah:

Memang anak saya belajar, ibadah, bermain, rekreasi, bantu ibu (dan bapak dong!) itu kapan saja dan dimana saja (seperti iklan sebuah merk minuman saat saya kecil). Mengapa? Karena memang umur mereka itu kan umurnya bermain, rekreasi, belajar, dan bantu orangtuanya. Dan semua itu juga ajang belajarnya mereka, ibadahnya mereka.

Nggak bingung kan?
Saat mereka makan, ada belajarnya (etika, gizi makanan, fungsi makanan, dll). Ada ibadahnya, karena salah satu tugas kita adalah memelihara ciptaan Allah yang namanya tubuh kita dengan baik. Salah satunya memberi makan yang halal dan baik . Ada bermainnya, ya memang mereka selalu melakukan apa saja dengan bermain termasuk makan. Ada juga rekreasinya kalau kita bisa membuat mereka nyaman dan menikmati acara makan. Setuju donk?!

Nah, itu berlaku untuk semua kegiatan mereka. Bener kan? Dimana saja, kapan saja, anak-anak belajar, bermain, beribadah, rekreasi, tidak harus dipisahkan tempat dan waktunya. Tidak harus dibatasi kapan dan dimana. Tidak perlu ruang tertentu, tidak perlu waktu tertentu.

Kita jangan suka menyalahkan fasilitas untuk melakukan suatu hal baik. Be creative! Ya, jangan bilang;
“Mana mungkin kami ajarkan anak kami ibadah kalau kami tidak mempunyai mushala di rumah kami?”
“Mana bisa kami ajari anak kami komputer kalau kami tidak mempunyai komputer?”
“Mana mungkin kami ajarkan anak kami bahasa Inggris kalau kami tidak punya lab bahasa?”
Dll.

Padahal, ternyata mereka menanyakan hal itu karena ingin mengetahui kemampuan ekonomi orangtua murid karena akan menaikkan uang sekolah. Pantes mereka bingung dengan jawaban tertulis saya.

He he he, makanya Bu, Pak, lain kali to the poin aja. Jadi langsung saya bayar (kalau mampu).

Sabtu, 10 November 2007

COBAAN & HUKUMAN

Tsunami di Aceh, gempa Yogya, gunung meletus, luapan lumpur panas dari perut bumi, dll. Yah, bencana alam bertubi-tubi menimpa bangsa Indonesia. Belum lagi kemiskinan, penyakit, dll.

Cobaan ataukah hukuman dari Allah semua ini?
Banyak sekali saya dengar komentar berbagai pihak yang mengatakan bahwa ini cobaan. Apa iya ya?! Apa betul ya?! Saya yang tidak terlalu paham hukum agama jadi bingung.

Karena kalau menurut saya, semua itu adalah hukuman. Ya. HUKUMAN!! Mengapa? Ya karena kita sudah banyaaaak sekali melakukan kesalahan. Kita tidak mengikuti aturan Allah, kita tidak menjaga amanah Allah, kita bahkan tidak lagi mendengarkan kata hati nurani kita sendiri yang seringkali sudah berteriak kencang mengingatkan kita, menegur kita, memarahi kita, karena kita salah.

Kita memang sudah membunuh hati nurani kita sendiri. Kita banyak sekali melihat ketidak patuhan pada sunatullah, tetapi kita diam saja. Atau bahkan menyetujui atau mendukungnya. Kita memang sudah rusak.

Kita banyak berteriak kencang tentang ketidakjujuran, ketidakadilan, kemungkaran, dll. Tapi, sudahkah kita jujur? Sudahkah kita adil? Sudahkah kita lurus dalam bertindak? Atau masih membuat alasan pembenaran atas kesalahan kita dengan berkedok kelaziman? Ataukah kita akan mencari-cari alasan pembenaran yang kadang berupa ayat-ayat Allah? Atau alasan untuk kepentingan umat? Atau alasan-alasan lain? Hanya kita sendiri yang bisa menjawab dengan kejujuran hati nurani kita.

Masihkah kita menjaga hati nurani kita????

Jumat, 09 November 2007

MEMANDIKAN BAYI

Mandi adalah acara rutin 2 kali sehari bagi kita yang tinggal di daerah tropis. Mandi memang hal biasa (bagi orang dewasa). Namun, bagi bayi dan anak-anak mandi bisa menjadi rutinitas yang menyebalkan atau menyenangkan (main air), bahkan bisa membahayakan jika tidak dilakukan dengan benar.

Berikut ini akan aku sampaikan tips memandikan bayi agar mandi menjadi menyenangkan, bermanfaat, namun tidak membuat mereka enggan keluar dari air karena terlalu asyik main air sehingga malah bisa sakit.

Mandikan sendiri
Setelah pulang dari Rumah Sakit, sebaiknya ibu memandikan bayinya sendiri, jangan neneknya apalagi orang lain. Bapak, memang sebaiknya yang memandikan jika memang sedang di rumah. Namun, mengingat biasanya bapak tidak ada di rumah waktu mandi bagi bayi tiba, maka Ibulah yang sebaiknya memandikan bayinya sendiri.

“Kan masih sakit?” tidak apa-apa ibu, memandikan bayi tidak akan memperparah sakitnya sesudah melahirkan. Malahan akan menjadi terapi yang baik bagi perasaan dan fisik ibu sesudah melahirkan. Kegiatan fisik memandikan bayi justru membantu pemulihan fisik pula bagi Ibu.

Sebelum memandikan bayi sebaiknya ibu mandi terlebih dahulu, pakai korset atau stagen yang rapi dan cukup kuatnya, kemudian baru memandikan bayi.

Ruang tempat mandi
Bayi yang masih sangat kecil sebaiknya jangan dimandikan di kamar mandi. Mandikan bayi di ruang/kamar dengan suhu ruang, tidak ber AC, angin, atau kotor. Ini mengingat bayi masih sangat rentan terhadap suhu.

Bayi yang masih sangat kecil (<3 bulan) sebaiknya disediakan meja agar ibu tidak membungkuk waktu memandikan dan bayi tidak harus diangkat terlalu jauh.
Jangan lupa juga disiapkan handuk kering bersih yang lembut, kosmetik bayi (bedak, baby lotion, baby oil, minyak telon, dsb), baju bayi, dan bedong untuk membungkus bayi agar hangat.

Air mandi
Apabila di rumah ada orang lain, maka minta tolong mereka untuk menyiapkan air supaya ibu tidak perlu angkat-angkat berat. Sangat bagus jika itu suami. Jika tidak ada orang lain pun nggak ada masalah! Ibu bisa menyediakan air sendiri asal tidak mengangkat sekaligus banyak, agar tidak terlalu berat.

Air disiapkan di bak mandi bayi dan di baskom kecil dengan suhu hangat suam-suam kuku (cek dengan menggunakan siku kita). Jangan terlalu panas, kulit bayi akan sakit. Jangan air dingin, ini berbahaya, bayi bisa hipothermia (mudah-mudahan istilahku tidak salah). He he he........ takut diprotes yang dokter!! Eit........ meski belum tentu juga dokter bisa dan memahami memandikan bayi, tetapi kan ngerti donk masalah istilah kesehatan dan penyakit?!

Proses mandi
Lepas baju bayi dengan lembut sambil sedikit bercanda/bercerita/bernyanyi, sehingga bayi merasa nyaman. Memang seharusnya setiap kegiatan bersama bayi diikuti suara ibunya, yang berisi pembelajaran dan do'a bagi bayi.

Usap lembut seluruh tubuh bayi dengan tangan kering agar saat diusap dengan tangan basah tidak kaget. Ingat ibu, sebaiknya dengan tangan, jangan waslap. Ini agar ada sentuhan dan interaksi antara bayi dan ibunya. Ini merupakan terapi bagi bayi, merangsang banyak sekali kemampuan dan pertumbuhan bayi. Ehem......... nggak ngerti sih istilahnya!

Usap lembut seluruh tubuh dengan tangan basah yang dicelup di baskom kecil. Usap lembut seluruh tubuh dengan tangan yang sudah diberi sabun bayi (seperti urut namun tanpa tekanan). Setiap mandi, kepala harus dibersihkan dengan shampo bayi agar bersih dari kotoran berbahaya yang menempel (bawaan dari kandungan). Sebisa mungkin sambil lafazhkan do’a-do’a dengan lembut dan berirama sesuai anggota tubuh bayi yang sedang kita usap dan bersihkan.

Ini sekedar contoh nyanyian yang selalu aku senandungkan saat memandikan semua berlianku saat mereka masih bayi (silakan berkreasi sendiri):

Ya Allah bersihkanlah badanku........., tapi lebih bersihkanlah hatiku
Ya Allah cantikkanlah (ganteng) wajahku........., tapi lebih cantikkanlah akhlakku
Ya Allah bersihkan kepalaku.........., tapi lebih bersihkan pikiranku
Ya Allah bersihkanlah tanganku........., tapi lebih bersihkanlah tingkahku
Ya Allah bersihkanlah kakiku........., tapi lebih bersihkanlah langkahku

Tentu saja sambil bayi kita ajak tersenyum dan bergembira menikmati acara mandi dengan ibu (dan bapak) tercinta. Hei............. memandikan bayi itu asyik lho! Sakit saat melahirkan akan ilang, lukapun cepet sembuh!! Believe me!!

Setelah cukup, bersihkan dengan mengusapkan air dari baskom kecil, lalu angkat bayi ke bak mandinya untuk membersihkan sabun dan sisa kotoran yang masih ada. Biarkan bayi menikmati berendam di air hangat sebentar sambil tetap diusap lembut karena ini terapi juga (spa bayi he he he............). Emang Ibunya aja yang bisa SPA?

Selesai mandi
Angkat bayi dari air perlahan agar tidak kaget dan selimuti dengan handuk yang sudah disiapkan. Tekan-tekan lembut (jangan disapukan, nanti kulit lecet) handuk yang menyelimuti seluruh tubuh bayi agar tubuhnya kering.

Untuk kulit bayi yang sensitif, jangan deberi bedak tapi gunakan baby oil terutama di lipatan-lipatan. Beri minyak telon secukupnya di perut, dada, punggung, betis, dan telapak kaki. Semua dilakukan dengan lembut, diiringi irama dan nyanyian ibu yang berisi ajaran dan do'a tulus. Yakin deh.......... ini jauuuuh lebih mujarab dibanding alunan Mozart, Bethoven, atau musisi lainnya.

Bayi yang belum “puput” pusernya, ganti kain kasanya dengan yang baru, beri sedikit alkohol (jangan sampai netes-netes), bungkus perut bayi dengan gurita (jangan terlalu kuat ikatannya, karena ini sekedar menjaga agar puser nyaman).

Pakaikan baju, celana, kaos kaki, dan sarung tangan yang lembut dan bersih, bedong agar hangat. Sisir rambut bayi dengan lembut secara merata seluruh kepala, agar peredaran darah di kepala lancar dan bayi merasa nyaman (terapi lagi).

Ingat ibu, lakukan semua itu dengan bersuara (nyanyi, cerita, do’a, atau bacaan surat Al Qur’an dari mulut ibu/bapaknya). Nggak usah musik klasik segala deh!!

Bayi ibu dan bapak sudah siap. Waduuuh............ keren amat sih?? Emang mau kemana dek???

Kamis, 08 November 2007

AMBIL RAPOR

Saya mendapat undangan dari sekolah anak-anak untuk mengambil hasil belajar. Seperti biasa, saya datang dan menunggu giliran dengan tenang. Beberapa orangtua lain menunggu dengan sedikit gelisah.

“Ibu orangtuanya siapa?”
“Anak ibu pinter ya, kok tenang banget?”
“Ooo, Farras, pantesan ibu tenang. Kata anak saya Farras itu pinter banget. Pasti rangking satu.”
“Ooo, Hafizh, kata anak saya Hafizh itu semua bidang pinter. Aktif lagi di organisasi. Pasti rangking satu.”
“Ooo, Rafi, kata anak saya, Rafi itu best friendnya dia. Anaknya baik, pinter, nggak sombong. Pasti ranking satu.”

Begitu kurang lebih mereka berkomentar. Padahal, saat saya ambil raport mereka belum tentu rangking satu. Kadang, masuk 5 besar saja tidak lho. Bagi saya, ya ne pa de problema. Alhamdulillah, berarti teman-teman anak saya sendiri mengakui kepinteran anak saya. Meskipun anak-anak saya tidak menduduki rangking satu, tetap temannya cerita ke orangtuanya kalau anak saya paling pinter.

Ya, rangking itu hanya akibat. Jadi bukan tujuan dari belajar. Begitu saya selalu tanamkan pada anak-anak saya. Jadi, yang penting dan wajib adalah mereka beribadah (belajar adalah salah satu ibadah wajib mereka). Kami selalu tanamkan wajib kifayahnya belajar, selama masih ada bidang yang dikuasai oleh pihak lain.

Rabu, 07 November 2007

IKLAN

Memang, tidak bisa dipungkiri iklan di media televisi sangat berpengaruh dan berbekas. Jangankan anak-anak, orang dewasapun akan sangat terpengaruh, apakah itu percaya kemudian membeli, kenal produknya, atau sekedar hafal jinglenya.

“Ma, aku mau minum susunya ganti HiLo aja.”

“Kenapa sayang? Bosen ya dengan susu yang biasanya? Atau pengen nyoba aja?”

“Bukan, aku kok nggak tinggi-tinggi. Minum HiLo biar tinggi, nggak lebar ke samping.”

“Lha Mas Hafizh kan sudah tinggi? Lagian, masih akan tumbuh sampai umur 21. Asal Mas jaga makan yang sehat, cukup dan lengkap gizinya, olah raga, dan istirahat cukup.”

“Temanku banyak yang lebih tinggi Ma, aku kok nggak nambah-nambah?”

Itulah sepenggal perbincanganku dengan sulungku (15 tahun) yang tingginya sudah 170 cm. aku hanya tersenyum merangkul (pinggang) perjaka gantengku yang agaknya terpengaruh iklan susu yang meluncurkan produk (yang katanya) untuk remaja. Hebatnya pengaruh iklan.

Selasa, 06 November 2007

Ada apa dengan bahasa daerah kita?

Lebaran kemarin kami sekeluarga mudik ke Solo. Saya memang sudah yatim piatu, tapi kami ngumpul di rumah mbakyu saya di Solo, yang memang luas dan mampu menampung keluarga besar kami.

Setiap ke Solo tentu saja saya berwisata kuliner sekaligus bernostalgia. Yang tidak ketinggalan berwisata belanja batik di Klewer, dan oleh-oleh khas Solo lainnya. Karena masih hari H, ternyata banyak yang masih tutup. Padahal saya sudah “kemecer” ingin belanja.

“Mas, menawi badhe pados intip, toko engkang sampun buka pundi nggih?” Tanyaku ke seorang pemuda (20 thnan) dengan bahasa jawa yang cukup halus.

“Wah, kalau sekarang masih banyak yang tutup, Bu. Masih lebaran. Tapi coba saja di Njongke.”

???????????????????????!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Saya terheran-heran, pemuda yang saya tanya ternyata berasal dari Wonogiri dan tidak pernah keluar dari Solo dan sekitarnya itu menjawab pertanyaan halus saya dengan bahasa Indonesia.

Kemudian saya tanyakan ke mbakyu saya yang tinggal di Solo, suaminya juga orang suku Jawa, ternyata anak-anaknya juga tidak menggunakan bahasa Jawa (apalagi halus) dalam berkomunikasi sehari-hari. Malah, waktu saya coba berkomunikasi dengan mereka dalam bahasa Jawa, mereka tidak tahu. Mereka hanya tahu bahasa Jawa karena pelajaran di sekolah.

Hhhhhhhhhhhhhhhhhh saya sedih sekali dengan realita ini. Bagaimana mungkin generasi mendatang akan kuat jika mereka kita cabut dari akarnya? Mereka diajarkan bahasa Inggris? Bahasa Arab? Tapi mereka tidak diajarkan untuk menjaga kelestarian bahasa, adat, tarian daerah, gamelan, dsb?

Memang mereka harus bisa Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, mereka bagus belajar bahasa Inggris agar bisa berkomunikasi dengan orang dari negara lain. Tetapi mereka juga harus melestarikan bahasa dan budayanya agar tetap memahami dan menghormati akar budaya daerah dan leluhurnya. Jangan sampai mereka tercerabut dari akarnya sehingga mereka akan limbung.

Senin, 05 November 2007

SHALAT TARAWEH 2

Saat itu bulan Ramadhan, anak kami umur 12 tahun, 9 tahun, dan 5 tahun. Karena ada keperluan, kami sekeluarga pergi dan baru sampai rumah selepas Isya’. Mau berangkat ke masjid shalat taraweh sudah pasti terlambat. Akhirnya kami memutuskan shalat taraweh bersama di rumah dengan imam papanya.

Shalat Isya’ berjalan cukup mulus empat rakaat. Shalat taraweh sesi pertama (4 rakaat pertama) ada ayat yang agak tersendat, entah karena lupa atau kecapekan. Yang jelas, anak pertama kami yang hafalan Al Qur’annya cukup bagus (1 juz) segera mengkoreksi bacaan papanya.

Selesai salam, setelah doa kami berdiri akan melanjutkan ke rakaat ke 5 (sesi 2). Tba-tiba anak kedua kami yang memang lebih spontan dan ekspresif, melarang papanya meneruskan shalatnya.

“Pa, gimana kalau yang jadi imam Mas aja?”

“Iya Pa, biar Mas aja” Si kecil ikut menimpali.

“Emang kenapa? Kasihan ya, Papa capek?” aku bertanya heran.

“Papa hafalannya kurang bagus.” Serempak adik-adknya menjawab.

???????????????!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Minggu, 04 November 2007

KAKAK MULAI MERASA TERSISIH

“Mama beli apa aja sih? Waduuuh, cantik sekali Ma, baju ini. Buat adek kan? Adek lagi.....adek lagi! Buat Mas mana?”

Deg!! Saya langsung merasa bersalah mendengar sapaan anak ketigaku yang berumur 8 tahun. Ya, saya khawatir kalau anak gantengku yang sudah menjadi bungsu selama 7 tahun itu mulai merasa kurang mendapat perhatian. Itu adalah “warning” bagi saya (dan suami).

“Iya nih Mas, Mama beli baju adek. Kebetulan tadi Mama lihat ada SALE baju bayi. Kan adek bajunya sudah mulai sempit karena tambah gede, mau pake baju Mas yang kecil nggak bisa, kan adek perempuan. Tadi nggak ada baju yang gede (untuk Mas), jadi Mama nggak beliin Mas. Eh, tapi kalau Mas memang perlu beli baju, nggak usah nunggu ada SALE, kita beli yuuk!”

Begitu saya menimpali teguran dia yang cukup mengena. Saya sangat tidak ingin dia terluka hatinya karena kehadiran adiknya dia anggap mengambil perhatian saya kepadanya.

Dia langsung tersenyum, memeluk saya, manja sekali. Ya, dia mau mengatakan kalau dia kangen dengan perhatian saya yang tadinya sangat tercurah buat dia, namun sekarang harus dibagi karena adiknya memang masih sangat perlu penanganan saya langsung.

Mulai hari itu, saya selalu sediakan waktu khusus buat dia, dan sedikit terkesan agak mengalahkan adiknya. Akhirnya, dialah yang justru marah kepada saya karena tidak memperhatikan adiknya (sepenglihatan dia). Padahal itu trik saya supaya dia tetep merasa special, dan memang semua anak saya special bagi saya.

Wuuuh, lega rasanya, si kakak tidak merasa tersisihkan lagi.

Sabtu, 03 November 2007

WANITA KARIR YANG IBU RUMAH TANGGA?

Jaman sekarang ini, banyak sekali yang mengaku sebagai wanita karir yang tidak meninggalkan fungsi utama sebagai ibu rumah tangga. Saya pribadi sebenarnya tidak setuju dengan statement ini. Karena memang menjadi ibu rumah tangga itu tidak bisa hanya dijadikan sambilan. Kalau mencari uang, itu justru yang bisa dijadikan sambilan oleh ibu rumah tangga. Nggak bingung kan?

Tapi itu semua pilihan, tidak ada yang menyalahkan dan pasti tidak ada yang mau disalahkan, bukan? Malahan, menurut saya, lebih baik seorang wanita fokus bekerja di kantor daripada maksain dua-duanya kalau memang hatinya mau jadi ibu rumah tangga.

“Lho, ngaco kamu Dewi, suamiku dan anak-anak gimana?”

Jangan sewot dulu, Ibu yang cantik. Suami, saya rasa semua juga bisa diatasi kan Bu? Wong mereka juga nggak memerlukan Ibu 24 jam sehari. Anak-anak? Ya, konsekuensi dari Ibu bekerja, anak-anak harus Ibu percayakan dengan orang dewasa lain yang kurang lebih bisa menggantikan fungsi Ibu. Jangan pula dikasih pembantu yang (maaf) tidak mempunyai kemampuan apa-apa dalam pendidikan anak. Memang semestinya ada pembantu yang ngurus rumah, dan ada nanny yang ngurus anak-anak.

Ibu juga harus memberi arahan kepada para asisten untuk mentreatment anak-anak sesuai harapan Ibu. Makannya, tidurnya, pakaiannya, belajarnya, kata-kata yang mereka dengar, jawaban atas pertanyaan mereka, dll. Ibu juga harus menyediakan waktu khusus di luar jam kerja Ibu (nggak boleh nggak biarpun capek) memantau semuanya. Karena dengan bekerja, tidak menghilangkan tanggung jawab sebagai penerima amanah, bukan?

Nah, sebagai pekerja, Ibu juga harus profesional. Jangan anak dijadikan alasan untuk tidak profesional.

Jumat, 02 November 2007

Permintaan yang tidak dikabulkan

Saya sedang makan nasi dengan lauk yang ada pedasnya. Tentu saja saya makan sambil menjaga putri kecil saya yang berumur 10 bulan.

Awalnya, si cantik saya yang sudah punya 4 gigi dan selalu ingin terlibat dengan semua kegiatan saya itu memang saya suapi nasi putih (empuk). Lama kelamaan, tidak ada lagi nasi yang tidak terkena lauk pedas. Maka, saya tidak lagi memberinya nasi. Betul sekali! Dia protes keras, terus minta, menangis, tidak mau diambilkan yang lain.

Tentu kita semua sepaham untuk saya tidak memberi apa yang dia minta karena saya tahu yang dia minta pedas. Sementara, menurut bayi saya, yang dia minta itu enak. Lha dia sudah merasakan tadi. Ya, saya tidak memberi karena sangat sayang sama dia dan tidak mau dia merasakan pedasnya makanan itu.

Saya jadi berfikir kadang saya minta kepada Allah sesuatu yang menurut saya enak, bagus, karena sudah pernah merasakan, sampai nangis, Allah tidak mengabulkan. Sangat mungkin karena Allah sangat sayang sama saya, Allah tidak ingin saya merasakan “pedas”nya jika permintaan saya dikabulkan. Ya, saya belajar lagi untuk selalu berprasangka baik kepada Allah, dari kebersamaan saya dengan “berlian” saya. Thank you my princess.

Kamis, 01 November 2007

BIAR SOPAN

Hari itu masih dalam suasana Idul Fitri. Sepulang dari mudik, kami mengunjungi beberapa saudara untuk silaturrahim. Di sebuah rumah, kami disuguhi kue dan minuman. Saya melihat anak-anak menghabiskan porsi kue masing-masing (kuenya berupa keik yang tiap orang disuguhi 1 potong dalam piring kecil). Minumannya pun tandas, seolah gelas mereka bocor. He he he haus ya ganteng?

“Mubadzir Ma kalau nggak dihabisin. Lagian kan kasihan mereka sudah beli mahal-mahal kalau kita nggak habis kan dibuang.” Begitu alasan mereka diplomatis.

Untuk minumannya, saya hanya tersenyum karena memang minuman favorit mereka. Namun, karena itu bukan jenis minuman sehat, maka saya menyarankan mereka untuk tidak sering mengkonsumsinya. Mereka juga faham dan hanya saat tertentu saja mereka minum.

Saat saya pergi, saya melihat ada kue seperti yang waktu itu disuguhkan. Pikir saya anak-anak suka, jadi saya memutuskan untuk membeli seloyang sedang. Karena jenis kue ini saya belum bisa membuat sendiri. Sampai di rumah, saya potong-potong kue tersebut dan saya sajikan di meja makan.

“Kok kuenya pada nggak dimaem? Apa masih kenyang? Itu kue enak lho, seperti yang disuguhkan budhe. Sama rasanya, mama sudah nyobain tadi sebelum beli.” Begitu saya promosi.

“Ma, adek nggak suka kue seperti itu.” Jawab ganteng kecilku mengagetkan mengingat dia yang paling cepet menghabiskan kuenya hari itu.

“Lho, waktu itu mama lihat adek kuenya habis. Cepet lagi.”

“Mama, sebenarnya adek nggak suka. Tapi adek tetep makan dan habis, itu biar sopan."

Bangga, bahagia, juga malu. Anak seusia dia (8 tahun) sudah memikirkan untuk berlaku sopan meski dia tidak suka. Padahal, seringkali kita yang sudah tua hanya memikirkan kesenangan diri sendiri. Tidak peduli dengan kewajaran apalagi kesopanan.