Halaman

Kamis, 01 November 2007

BIAR SOPAN

Hari itu masih dalam suasana Idul Fitri. Sepulang dari mudik, kami mengunjungi beberapa saudara untuk silaturrahim. Di sebuah rumah, kami disuguhi kue dan minuman. Saya melihat anak-anak menghabiskan porsi kue masing-masing (kuenya berupa keik yang tiap orang disuguhi 1 potong dalam piring kecil). Minumannya pun tandas, seolah gelas mereka bocor. He he he haus ya ganteng?

“Mubadzir Ma kalau nggak dihabisin. Lagian kan kasihan mereka sudah beli mahal-mahal kalau kita nggak habis kan dibuang.” Begitu alasan mereka diplomatis.

Untuk minumannya, saya hanya tersenyum karena memang minuman favorit mereka. Namun, karena itu bukan jenis minuman sehat, maka saya menyarankan mereka untuk tidak sering mengkonsumsinya. Mereka juga faham dan hanya saat tertentu saja mereka minum.

Saat saya pergi, saya melihat ada kue seperti yang waktu itu disuguhkan. Pikir saya anak-anak suka, jadi saya memutuskan untuk membeli seloyang sedang. Karena jenis kue ini saya belum bisa membuat sendiri. Sampai di rumah, saya potong-potong kue tersebut dan saya sajikan di meja makan.

“Kok kuenya pada nggak dimaem? Apa masih kenyang? Itu kue enak lho, seperti yang disuguhkan budhe. Sama rasanya, mama sudah nyobain tadi sebelum beli.” Begitu saya promosi.

“Ma, adek nggak suka kue seperti itu.” Jawab ganteng kecilku mengagetkan mengingat dia yang paling cepet menghabiskan kuenya hari itu.

“Lho, waktu itu mama lihat adek kuenya habis. Cepet lagi.”

“Mama, sebenarnya adek nggak suka. Tapi adek tetep makan dan habis, itu biar sopan."

Bangga, bahagia, juga malu. Anak seusia dia (8 tahun) sudah memikirkan untuk berlaku sopan meski dia tidak suka. Padahal, seringkali kita yang sudah tua hanya memikirkan kesenangan diri sendiri. Tidak peduli dengan kewajaran apalagi kesopanan.

Tidak ada komentar: