Lebaran kemarin kami sekeluarga mudik ke Solo. Saya memang sudah yatim piatu, tapi kami ngumpul di rumah mbakyu saya di Solo, yang memang luas dan mampu menampung keluarga besar kami.
Setiap ke Solo tentu saja saya berwisata kuliner sekaligus bernostalgia. Yang tidak ketinggalan berwisata belanja batik di Klewer, dan oleh-oleh khas Solo lainnya. Karena masih hari H, ternyata banyak yang masih tutup. Padahal saya sudah “kemecer” ingin belanja.
“Mas, menawi badhe pados intip, toko engkang sampun buka pundi nggih?” Tanyaku ke seorang pemuda (20 thnan) dengan bahasa jawa yang cukup halus.
“Wah, kalau sekarang masih banyak yang tutup, Bu. Masih lebaran. Tapi coba saja di Njongke.”
???????????????????????!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Saya terheran-heran, pemuda yang saya tanya ternyata berasal dari Wonogiri dan tidak pernah keluar dari Solo dan sekitarnya itu menjawab pertanyaan halus saya dengan bahasa Indonesia.
Kemudian saya tanyakan ke mbakyu saya yang tinggal di Solo, suaminya juga orang suku Jawa, ternyata anak-anaknya juga tidak menggunakan bahasa Jawa (apalagi halus) dalam berkomunikasi sehari-hari. Malah, waktu saya coba berkomunikasi dengan mereka dalam bahasa Jawa, mereka tidak tahu. Mereka hanya tahu bahasa Jawa karena pelajaran di sekolah.
Hhhhhhhhhhhhhhhhhh saya sedih sekali dengan realita ini. Bagaimana mungkin generasi mendatang akan kuat jika mereka kita cabut dari akarnya? Mereka diajarkan bahasa Inggris? Bahasa Arab? Tapi mereka tidak diajarkan untuk menjaga kelestarian bahasa, adat, tarian daerah, gamelan, dsb?
Memang mereka harus bisa Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, mereka bagus belajar bahasa Inggris agar bisa berkomunikasi dengan orang dari negara lain. Tetapi mereka juga harus melestarikan bahasa dan budayanya agar tetap memahami dan menghormati akar budaya daerah dan leluhurnya. Jangan sampai mereka tercerabut dari akarnya sehingga mereka akan limbung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar