Halaman

Jumat, 16 November 2007

DOKTER JUGA MANUSIA

Membaca milis mengingatkan saya pada kejadian 4-5 tahun silam yang belum sempat saya dokumentasikan dalam tulisan.

Saat itu suami tercinta tengah malam mengeluh sakit perut yang sangat. Malam itu juga saya bawa dia ke RSI Jakarta Timur. Saya mengemudi mobil sangaat pelan karena goncangan kecil saja membuat suami saya menjerit kesakitan layaknya sakit perut karena mau melahirkan.

Setelah masuk UGD, diputuskan untuk rawat inap. Setelah dilakukan berbagai observasi, suami saya didiagnosa terjadi infeksi usus buntu (apendisitis) dan harus segera dioperasi. Sayapun diminta mengurus segala keperluan pra operasi.

“Ibu silahkan ke kantor untuk mengurus surat kesediaan untuk dilakukan operasi.”
“Kenapa suami saya harus dioperasi?”
“Terjadi infeksi usus buntu, Bu.”
“Ok, mana buktinya?”
“Maksud Ibu?”
“Ya bukti kalau memang usus buntunya harus diambil.”
“Dari gejala klinis dan lain lain menunjukkan hal itu. Adik ibu yang dokter juga sudah kami libatkan dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan ini.”
“Saya tidak akan tanda tangan persetujuan operasi kalau saya belum melihat bukti kuat (foto/USG/lainnya) bahwa perlu dilakukan operasi. Tapi, saya juga tidak mau sampai terlambat kalau memang perlu dilakukan operasi.”
!!!!!!!!!!!?????????
“Berarti harus banyak lagi dilakukan tes, Ibu.”
“Ya lakukan segera, kenapa malah ngajak saya berdebat. Saya buta masalah ini. Jangan buang waktu lagi, kasihan suami saya.”
“Tapi Ibu, biayanya sangat mahal.”
“Dok, uang urusan saya, saya akan mencari dengan cara saya untuk mendapatkan uangnya. Tugas dokter mengupayakan kesembuhan suami saya dengan baik. Apa dokter mau dan sanggup mengembalikan luka perut suami saya karena dioperasi jika sebenarnya operasi itu tidak perlu dilakukan?”
“Baik, kami segera lakukan tes-tes yang diperlukan.”

Begitulah saya berdebat dengan dokter bedah yang cukup senior di sana (lupa namanya meski ada filenya). Memang Dewi sok tahu, sok kaya, sok galak! He he demi suami tercinta, dan juga saya selalu berusaha menjadi konsumen yang baik. Mengingatkan siapa tahu dokternya lupa atau nggak kepikiran bahwa meski memang usus buntu biarpun sehat tidak terlalu berpengaruh jika diambil, namun saya tidak setuju keputusan yang tergesa.

Hasil observasi, ternyata suami saya usus buntunya baik-baik saja. Hanya, ada batu di saluran ureter yang menyumbat air seni yang menyebabkan sakit luar biasa. Kali ini, sebelum diambil tindakan dokter spesialis urologi menjelaskan panjang lebar kepada saya tentang penyakit ini serta semua alternatif penanganannya untuk saya pilih. Bahkan pakai slide dan berbagai contoh gambar hasil rontgen.

“Nah, Ibu sekarang bisa bilang ke adik Ibu yang dokter umum, bahwa Ibu sekarang sudah dokter spesialis. Karena materi yang saya jelaskan ke Ibu tadi adalah seluruh materi spesialis urologi yang biasa saya berikan ke mahasiswa spesialis saya. Suami Ibu sangat beruntung mempunyai istri seperti Ibu. Dia terlepas dari kesalahan diagnosa. Namun, kesalahan ini bukan malpraktek Bu, karena memang tanpa pemeriksaan yang sejeli yang Ibu minta, semua mengarah ke peradangan usus buntu. Adik Ibu sendiri saksinya kan.”

“Ok. Thanks Dok, dan maaf kalau saya cerewet dan sok tahu.”

So, ternyata sebagai pasien kita harus ikut serta membantu dokter yang kadang salah demi kepentingan kita sendiri juga (kan dokter juga manusia!

Tidak ada komentar: