Halaman

Sabtu, 29 Maret 2008

BANK KAUM MISKIN

============ ========= ========= ========
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER
[ Seri : "Membangun Ekonomi Rakyat Indonesia" ]
============ ========= ========= =========
[Ec_Q]

Belajar dari :
Kisah Muhammad Yunus dan Grameen Bank, dalam
Memerangi Kemiskinan

Oleh : Muhammad Yunus
Peraih Hadiah Nobel Perdamaian 2006
Bersama Alan Jolis

04. Membongkar Kepalsuan untuk Mengatasi Kemiskinan [1]
Oleh : ROBERT M.Z. LAWANG

BUKU ini aslinya terbit dalam bahasa Perancis pada 1997, baru sepuluh tahun kemudian terbit dalam bahasa Indonesia yang patut disambut dengan gembira. Semoga keputusan Komite Nobel Norwegia untuk menganugerahkan Hadiah Nobel Perdamaian kepada Profesor Muhammad Yunus dan Grameen Bank pada 13 Oktober 2006 dapat meyakinkan pembaca akan arti penting membaca buku ini untuk mendorong suatu gerakan bersama memerangi kemiskinan kelas sosial paling bawah.

Buku terjemahan ini sungguh enak dibaca dan gaya penulisannya membuat pembaca tidak sabar untuk menyelesaikannya. Kisah sedih dan gembira dan sebuah perjuangan keras selama tiga puluh tahun lebih bersilih ganti dengan analisis reflektif filosofis tentang pengetahuan dan ilmu, tentang masyarakat dan pemerintah, tentang hubungan antar kelas sosial yang tidak kenal ampun, tentang agama dan dehumanisasi, tentang kemiskinan dan HAM, dan akhirnya, tentang dunia kita ini. Beberapa dan isu-isu ini perlu kita soroti untuk membuatnya jadi lebih jelas.

Pertama, Muhammad Yunus (selanjutnya Yunus saja) adalah dekan Fakultas Ekonomi Chittagong University di Bangladesh yang menggugat ilmu ekonomi yang dipelajarinya selama ini Dia “tinggalkan” ilmunya itu, lalu bergaul dengan realitas orang miskin dan kemiskinan desa Jobra yang bertetangga dengan universitasnya. Akhir dan pergulatan itu adalah sebuah konsep pembangunan, atau konsep mengatasi kemiskinan yang dia sebut dengan istilah “kewirausahaan sosial” (social entrepreneurship) , yang berhasil membawa perubahan multidimensional pada masyarakat miskin khususnya kaum perempuan. Kisah orang besar kembali berulang di sini: apa yang oleh kaum kapitalis dianggap sebagai sebuah kebodohan dan kemalasan, atau oleh kaum religius sebagai sebuah kutukan, atau oleh birokrat sebagai sebuah ketidakmungkinan, oleh Yunus malah dijadikan sebuah laboratorium hidup di mana kekuatan dahsyat orang miskin (perempuan) menampakkan dirinya sebagai alternatif yang pantas diperhitungkan. Dengan intervensi belasan sen dolar Amerika saja dia mampu menyaingi intervensi lembaga donor internasional dalam jumlah miliaran dolar Amerika. Banyak orang terkejut, bagaimana bisa terjadi?

Kedua, Yunus berhasil membongkar kepalsuan-kepalsuan yang bersembunyi di balik institusi-institusi seperti pendidikan, pemerintahan, negara, perbankan, agama, kebudayaan yang selama ini ikut “membiarkan” kemiskinan itu tidak teratasi. Kepalsuan itu sesungguhnya ada di dalam dirinya sendiri juga, ketika dia sadar bahwa dirinya bukan apa-apa dan segi ilmu yang digelutinya selama ini, dan segi kedudukannya sebagai dekan Fakultas Ekonomi Chittagong University. Kepalsuan ini dia bongkar dengan membawa realitas kemiskinan perempuan menjadi bagian dan satuan acara perkuliahan (SAP) di luar kelas, membuat warga kampus seluruhnya sebagai “mahasiswa” yang harus belajar dari orang miskin sebagai dosen-dosennya, dan mengubah konsep kampus yang terikat pada bangunan-bangunan gedung yang menjauhkan diri dari pokok permasalahan nilsi menjadi interaksi-interaksi sosial yang langsung bergelut dengan pokok permasalahan. Kepalsuan ini dibongkar dengan niat yang tulus dan malah dengan sumpah seperti yang dikatakannya “Saya bersumpah akan belajar sebanyak mungkin tentang desa. University yang ada sekarang menciptakan kesenjangan hebat antara mahasiswa dengan kenyataan hidup sehari-hari di Bangladesh.” Dengan membongkar ke palsuan ini, dia berhasil membongkar kepalsuan-kepalsuan lainnya.

Bagi orang perguruan tinggi pelajaran ini sangat berharga: belajar dari realitas dan membangun ilmu yang mampu memahami dan mengatasi masalah yang dihadapi. Hampir semua universitas yang ada di Indonesia dikitari desa-desa atau permukiman yang penuh orang miskin, sampah, banjir, kekeringan, kelaparan, dan macam-macam masalah lainnya. Ada kekuatiran bahwa kegelisahan Yunus tentang sistem pendidikan perguruan tinggi yang tidak peka terhadap masalah-masalah sekitar tidak menjadi kegelisahan kita. Kita tenang-tenang saja, tidak peduli, acuh tak acuh. Kesan sama pernah diberikan Ben White terhadap perguruan tinggi kita di Indonesia yang sangat diragukan kemampuan dan kesungguhannya untuk menyiapkan staf dosen dan mahasiswanya dalam menghadapi tantangan pembangunan desa yang sangat kompleks.

Ketiga, Yunus juga membongkar kepalsuan kapitalisme yang jelas-jelas diskriminatif terhadap orang miskin (khususnya kaum perempuan) seperti yang terlihat dan praktik perbankan, mulai dari bank lokal sampai bank-bank internasional. Apartheid finansial adalah konsep yang cocok menggambarkan diskriminasi institusional yang dilakukan oleh sistem perbankan di mana-mana di dunia ini. Rasionalisme berlandaskan logika kapitalisme menjadi bagian dalam melaksanakan dan mempertahankan “politik apartheid” ini. Rasionalisme mungkin mencerahkan, tetapi logika belum tentu.

1. Peter Berger menyebut upaya membongkar kepalsuan ini sebagai debunking. Lihat Peter L. Berger, Invitation to Sociology: A Humanistic Perspective (Harmond sworth: Penguin, 1966).
2. Ben White, “Between Apologia and Critical Discourse: Agrarian Transitions and Scholarly Engagement in Indonesia”, dalam Daniel Dhakidae dan Vedi Hadiz (ed), Social Science and Power in Indonesia (Jakarta: Equinox, 2005).

Silogisme kapitalisme perbankan mempunyai premis-premis yang sangat ketat: (i) Bank harus untung dan usaha deposito dan kredit, tanpa membedakan apakah uang itu didepositokan dan dipinjarn oleh orang kaya atau orang miskin, pokoknya memenuhi prinsip prinsip ekonomi yang sangat rasional. (ii) Dengan premis ini maka kredit yang dikucurkan adalah kredit dalarn jumlah besar yang rnenguntungkan bank, yang hanya dapat dilakukan oleh orang orang kaya saja. (iii) Oleh karena itu, adalah tidak rasional dan tidak ekonormis kalau bank meminjamkan uangnya dalam jumlah kecil. Kesimpulannya karena alasan rasional dan ekonomis, tidak mungkin bank memihak kepada orang miskin.
Cara berpikir ini sangat logis, tak seorangpun dapat membantahnya. Tetapi praktik perbankan seperti ini merupakan sebuah paradoks besar di Indonesia. Perninjam-peminjam uang bank dalam jumlah miliaran dan triliunan pada umumnya adalah pembayar yang tidak taat, yang sebagiannya memanipulasi agunan yang tidak realistik lagi, dan sebagiannya lan keluar negeri bersama uangnya sekaligus. Kritikan jitu yang seringkali dilontarkan oleh ekonom kita Kwik Kian Gie adalah salah satu dan usaha membongkar kepalsuan sistem perbankan yang penuh paradoks itu. Yunus pun berhasil membongkar kepalsuan-kepalsuan ini dengan membuktikan bahwa tingkat pengembalian pinjaman yang dilakukan oleh orang miskin (terutama perempuan) kepada Grameen Bank paling rendah 98 persen. Bukankah sebuah paradoks kalau bank masih mau percaya pada peminjam kelas atas yang cenderung “ngemplang”, dan tetap saja tidak percaya pada perempuan miskin yang taat menyicil pinjamannya?

Keempat, kepalsuan religius yang bercampur dengan adat dan kepentingan diri atau kelompok yang antikemanusiaan itu sangat rnemuakkan. Yunus adalah seorang Muslim yang taat beribadah, mempunyai perhatian penuh terhadap orang miskin terutama perempuan Bangladesh yang sangat menderita. Dia juga seorang Bangladesh yang menghargai sopan santun. Penolakan terhadap sistern perbankan Grameen dengan argumentasi kotor yang dicari-cari adalah sebuah kepalsuan sosial ekonomi yang justru bertentangan dengan nilai-nilai religius dan adat itu sendiri. Mernbongkar kepalsuan yang tersembunyi ini makan energi, menuntut kesabaran baik di pihak Yunus maupun di pihak perempuan-perempuan yang menjadi korban itu. Yunus berhasil membongkar kepalsuan-ke palsuan itu sampai ke akar tunggangnya. Dan sini kita belajar bahwa perubahan sosial itu menuntut keterlibatan sernua orang, yang dalam bahasa kerennya saat ini “multi-stakeholders“ . Di sekitar kita masih cukup banyak kepalsuan-kepalsuan religius, di mana Allah yang sering disebut-sebut justru adalah “allah materialisme” , “allah kekuasaan”, dan bukan Allah yang sebenarnya. Agama tanpa Allah.

Kelima, kepalsuan humanisme menunjuk pada rasionalisasi atau logikalisasi pikinan yang sangat simplistik demi melayani atau menguntungkan kaum laki-laki penganggur di Bangladesh. Argumentasinya logis dalam bentuk retorika: mengapa kepada perempuan diberikan pinjaman padahal banyak laki-laki yang sangat membutuhkan? Pertanyaan balik yang tak kalah logisnya: mengapa masih banyak laki-laki yang tidak mendapat pinjaman dari bank? Atau mengapa laki-laki pada umumnya tidak setia pada janji untuk melunasi utangnya? Yunus berhasil membongkan kepalsuan orang-orang yang sok manusiawi itu, dengan tetap konsisten pada pendiriannya bahwa memberikan kredit pada perempuan sudah terbukti mampu meningkatkan pendapatan rumahtangga dan memperluas cakrawala mereka lewat pembentukan kelompok lima - yang mirip dengan sistem tanggung renteng dalarn perkoperasian di Indonesia.

[ bersambung ]

Tidak ada komentar: