Halaman

Selasa, 01 Juli 2008

KELAS BERAPA SIH.............. ???

Jagoan gantengku yang kecil Rafi, umurnya 8 tahun mau 9. Hmmmm.......... pinter, shaleh, baik hati, n............ cerewet! Narcist.com nggak sih? Sorry ya, muji anak sendiri. Anak-anakku memang sangat jarang mau main keluar rumah atau bermain sama teman sekompleks. Entahlah, sering aku sarankan mereka untuk keluar, namun mereka hanya menanggapi sambil lalu.

"Mas nggak mau main keluar? Main sepeda kayaknya asyiik tuh."
"Hmmmmmmmmm........ya Ma.............."

Eeee.........mereka tetep aja asyik sama adik kakaknya. Nggak bergerak sedikitpun. Mungkin mereka sudah merasa cukup puas dan senang main dengan saudaranya. Males untuk keluar rumah. Tadinya aku takut mereka kuper. Eeee......ternyata mereka tuh gaul banget! Temannya juga banyak. Dan mereka sering menjadi favorit teman-temannya, alias banyak yang suka berteman dengan mereka. Naaah.....sering, Rafi tuh bersuara yang "rame" dan aku nggak tahu apa yang dia ributkan.

"Mas Rafi ngomong apa sih?"
"He he he.....nggak Ma."
"Memang adek itu cerewet, Ma. Sukanya gitu, ngomooooong terus. Mana sering bikin jadi berisik!"
"He he he..............biariiiin!"
"Iya lho Ma, adek seperti Donal Bebek suaranya."
"Nggggaaaaaaakkkk...............biariiiin.........."

Begitulah jika aku tanyakan, Mas-masnya memberi komentar lucu sambil nggemesin adeknya itu. Yaah.......selama mereka rukun dan baik-baik aja sih, aku biarin aja. Disamping mulutnya nggak bisa diem, ternyata badannya juga. Bahkan shalat aja dia sambil bergerak. Ha ha ha .... sampai pernah ada seorang bapak jama'ah masjid cerita ke aku tentang tingkah berlianku ini jika shalat di masjid. Secara, anak-anakku memang menjadi "jama'ah rutin" di masjid. So, banyak yang hafal dengan mereka. Sampai ke tingkah laku mereka yang kadang bikin Bapak Bapak itu senyam senyum.

Rafi juga pandai membaca Al Qur'an. Tajwidnya bagus, dan suka mengoreksi jika ada yang bacaannya kurang tepat. Akademis? Waaah...jangan tanya. Dia OK asaaal..... mau belajar!! Heiii.......... dia memang sering males baca buku pelajaran, nggak asyik katanya. Tapi dia suka baca bermacam buku, termasuk ensiklopedia.

Naaaah... tentang pelajaran ini, ssssttttttttt......... jika ditanya kelas berapa, dia sering menjawab kelas 4 naik ke kelas 5. Ya, dia menjawab dengan sangat yakin dan mantabbb!!! Ini sering membuatku heran, namun aku tidak ingin membuatnya malu di depan orang. Ya aku diam aja. Namun aku bertanya di saat kami hanya berdua.

"Mas, sebenarnya Mas Rafi kelas berapa sih?"
"Ya kelas 4 lah Ma, sekarang naik ke kelas 5."
"Umurnya memang berapa?"
"8 tahun kan Maaaa mau 9 tahun. Lha apa hubungannya umur sama kelas, Ma?"
"Bukan gitu, perasaan, Mama tuh masukin Mas Rafi SD umur 6. Kan kalau dihitung baru kelas 3 mau 4. Kapan loncat kelasnya? Tapi kan Mama bisa aja salah atau lupa."

Ha ha ha...memang anak cerdas, memang berlian dia. Bisaaaa aja jawabnya kalau ditanya. Selalu logic. Lalu sambil matanya lirik kiri kanan lucu seperti takut ada yang mendengar, atau seperti mau membicarakan rahasia besar, ditariknya badanku agar mendekat ke dia. Dengan suara nyaris berbisik dia bilang;

"Maaa, aku tuh sebenarnya memang kelas 3 mau naik ke kelas 4. Tapi seluruh pelajaran kelas 3 sudah habis aku pelajari. Sekarang aku sudah pelajaran kelas 4. Malahan, anak yang kelas 4 aja kalah sama aku. Lha kemarin lomba itu kan kelas 4 sampai 6, aku menang juga kan meskipun hanya nomer 5. Makanya aku ngaku kelas 4 aja sama semua orang. Tapi sebenarnya ditulisnya masih kelas 3."
"Ooooooooo.........gitu to?"

"Iya, Mama mau cerita-cerita kalau aku kelas 3 mau naik kelas 4?"
"Maunya Mas Rafi gimana?"
"Terserah Mama aja deh. Mama kan nggak boleh bohong. Tapi aku tuh sebenarnya sudah kelas 4 naik ke kelas 5."
"Kok? Mas Rafi bohong? Apa Mas Rafi malu masih kelas 3 mau naik kelas 4?"
"Emang iya? Nggak donk Ma, memang aku belajarnya sudah kelas 4 kok!"
"Tapi Mas Rafi sedih nggak masih kelas 3 naik kelas 4 dan bukan kelas 4 naik kelas 5? Pengen loncat kelas nggak?"
"Ya nggak lah, nanti aku nggak asyik mainnya. Yang kelas 3 nggak anggap aku temen karena aku sudah kelas 4. Yang kelas 4 nggak ngaku temen karena aku masih 8 tahun. Trus, mereka nanti juga malu kalau aku yang masih 8 tahun sudah sekelas sama mereka. Lebih pinter lagi. Biarin aja aku kelas 3 naik kelas 4, tapi aku ngaku kelas 4 naik kelas 5. Biar orang-orang nggak kaget kalau kelas 3 kok sudah tahu pelajaran kelas 4? Kan mereka juga nggak tahu umurku."
"Iya juga sih, Ok, Mama nggak akan cerita apa-apa deh kalau Mas Rafi ditanya ngaku kelas 4 naik kelas 5. Mulut dikunci, kunci dibuang."

Begitu aku jawab sambil tangan kananku membuat gerakan ngunci mulut dan membuang kuncinya. Ya, aku tidak ingin mempermalukan anakku yang bangga akan kemampuannya tapi tetap tidak sombong. Ya, dia menyampaikan semua alasan tadi tanpa nada kesombongan sama sekali. Justru terkesan dia ingin menjaga perasaan orang lain.

Memang aku tidak terlalu setuju dengan "loncat kelas atau akselerasi". Aku lebih suka berlianku mempelajari ilmu untuk kelas diatasnya jika memang potensinya berlebih, namun tetap duduk di kelas yang sama. Lebih banyak ilmu nggak papa kan, nggak perlu memberi label lebih pinter dengan loncat kelas atau akselerasi. Biasanya sih, anak akselerasi cenderung terkesan sombong dan merasa lebih bagus, lebih pinter, lebih segalanya dibanding yang lain. Heiii.......orangtuanya juga sering merasa seperti itu lho!!

"Anakku kan akselerasi...."
"Anakku kan sudah kelas sekian, padahal umur baru sekian.....dia kan akselerasi, loncat kelas." Bla....bla.........bla........ sering aku dengar komentar penuh kebanggaan seperti itu.

Yah....sah-sah aja sih. Kembali ke masing-masing to? But, ingat aja bagaimana pengaruhnya terhadap pribadi anak. Jika itu membuat anak lebih bagus akhlaknya, lebih tergali potensinya, dan BUKAN sekedar mempelajari buku untuk kelas di atasnya, OK aja. Tapi jika anak menjadi sombong dan mengecilkan orang lain, hati-hati!! Jangan sampai kebanggaan orangtua merusak attitude anak sampai tua.

Tidak ada komentar: