Anak-anakku tahu bahwa latar belakang pendidikanku adalah akuntansi. Jadi, mereka faham betul kalau mamanya seorang akuntan. Meski aku tidak lagi “ngantor”, aku selalu kreatif mencari penghasilan tanpa harus meninggalkan mereka. Mereka bilang, Mama itu seorang “akuntan yang cukong”. He he he .................
Sejak kecil, aku tidak bisa masak. Ngaku ya! Memang, orangtuaku selalu mempunyai banyak asisten sehingga aku menjadi tidak kebagian porsi memasak. Nggak ngapa-ngapain tepatnya! Setelah menikah, kelabakan donk tidak ada yang masakin? Eit, tunggu dulu. Masa aku gitu lho......... bisa mempelajari banyak hal dengan baik, hebat, jawara, Cuma masak saja tidak bisa? Hmmm....... ya nggak mungkinlah!! Itulah aku, ke PD an. Apa malahan narcist ya? He he he........... Padahal, agak bingung juga sih awalnya!
Nah, makanya aku tidak mencari suami yang pengennya beristrikan tukang masak. Alesan ya? Sejak ada anak mertua yang menemani aku makan, ya aku sih maunya masak sendiri dengan bumbu coba-coba, logika, dan tentu saja bumbu yang paling mudah dan selalu bisa kita sediakan kapan saja.............CINTA. Gini lho, kalau rasa soup itu kan gurih agak anget, ya kira-kira bumbunya bla bla bla, gitu. Dengan kreatifitas dan inovasi sendiri tentu saja. Saat suami makan, aku hanya memperhatikan wajah ganteng suamiku dan berdo’a masakanku cocok di lidahnya. Ha ha ha.................
Demikian juga saat hadir berlian-berlianku satu persatu. Disamping masalah bumbu, aku juga berinovasi tentang jenis masakan. Walah, sok amat! Padahal karena nggak tahu jenis-jenis masakan tuh! Biarin!! Yang penting aku masak untuk suami tercinta dan buah hati kami, dan mereka makan dengan lahap, jadi sehat. Dan, anak-anak selalu terlibat dalam proses masak-memasak. (sudah baca ceritanya kan?)
Aku selalu menghadirkan masakan yang “beda” hasil kreatifitas dan inovasi Chef Dewi, ditambah lagi ide anak-anak. Mereka selalu bilang masakanku itu enak, lain dari yang lain. Top margotop! Tanpa MSG tentu!! Mereka bilang mama itu chef ya?!
He he he he, jangan protes donk!!!!
Saat mereka sakit, aku tidak langsung memberi obat kimia atau membawa mereka ke dokter karena tidak ingin tubuh mereka masuk banyak obat kimia (apa ngirit?). Aku lebih memanfaatkan pengalaman dulu waktu kecil kalau sakit Bapak Ibu memberikan obat tradisional dari tanaman di kebun kami. Aku juga pernah belajar dari dokter naturopati dan ahli jamu. Aku hanya akan membawa mereka ke dokter kalau sakitnya memang sudah perlu dokter. Adik dan kakakku beberapa kan dokter, jadi aku banyak belajar juga gejala klinis yang harus dicermati. Mama dokter ya??
Saat bayi, mereka aku urut sendiri, karena aku tidak tega melihat bayi yang nangis “kejer” karena diurut oleh mbok urut. Makanya aku belajar urut bayi langsung ke bu Woro, ahli pijatnya Martha Tilaar. Nah, acara urutpun menjadi ajang bercengkerama dengan baby. Dari cekikikan karena geli, makin lama pules karena keenakan. Tidak ada acara pijat bayi dengan tangisan melengking di rumahku. Pijit menjadi salah satu acara favorit bayiku.
Tapi, setelah mereka besar, waaah............. aku nggak kuat lagi, lha mereka lebih besar badannya daripada aku yang mungil ini?! Mereka akan pijit Papanya, tapi habis itu minta gantian. (Sebenarnya mereka memang suka minta pijit papanya, tapi biar agak sopan ya mereka akan nawarin mijit papanya duluan. He he he nggak kok, mereka sayang sama papanya, jadi kalau lihat papanya capek ya dipijitin)). Mama dukun pijit bayi??!!
ABG ku, sekarang mulai jerawatan. Karena hormon, produksi minyak, dan kotoran di jalanan saat dia pulang sekolah (naik angkot). Biasa, kalau sudah manja, dia akan minta aku melakukan facial. Untuk itu aku juga sudah belajar ke Martha Tilaar langsung tentang perawatan seluruh tubauh. Terlelaplah dia dengan muka bersih dan relax diurut mamanya dengan cinta. Biasanya juga, anak mertua akan ikutan minta facial (sebelum punya anak juga langganan sih). Berdua mereka lelap. Lha aku ngibrit gantian ke spa. Nggak mau kalah ya?? Kata mereka mama ahli kecantikan dan perawatan kulit.
Alhamdulillah juga, sampai sekarang aku masih bisa membantu anakku menyelesaikan soal-soal (terutama matematika, fisika, kimia) yang mereka rasa sulit. Anak yang SMA pun Alhamdulillah aku masih bisa bantu. Ngirit ya, nggak perlu les atau bimbingan belajar. Mereka bilang, mama guru ya??
Sering, teman atau kenalan bertanya (diskusi) tentang masalah anaknya; apakah itu susah makan, jajanan, jahat sama adiknya, dsb. Mungkin karena anakku cukup banyak, mereka pikir aku punya pengalaman lebih. Disamping aku memang suka belajar, baca buku, diskusi, makanya treatmentku ke anak lebih bervariasi dan "kaya". Ya, semampunya aku bantu.
Tahu nggak? Yang konsultasi ke aku tuh banyak lho! Mulai dari masalah keuangan, pajak, akuntansi, keluarga, anak, sampai.........masalah percintaan!! Trus....... yang konsultasi juga bukan cuma orang Indonesia! Hm........ banyak juga dari negara lain bahkan yang jauh............ dari Eropa sana! Dan itu orang bule, bukan adikku! Bule yang awalnya nggak aku kenal sama sekali!! Sekarang.......... bagai saudara dia curhat! Give me advise please................ gitcu!!! He he he........ sok banget nggak sih aku ini????!! Mama psikolog apa konsultan sih??
Aku menceritakan ini bukan nyombong, sama sekali tidak!! Aku hanya ingin berbagi, bahwa kita bisa berusaha, meski sebenarnya bukan bidang keahlian kita, alias sebenarnya kita tidak bisa sama sekali. Yang jelas, kita bisa dan wajib berusaha merawat mereka secara profesional.
Aku bukan serba bisa! Tapi saya belajar, mencari tahu, usaha, dan kreatif “ngakali” kalau sebenarnya tidak bisa, menjadi seakan-akan “ahli”. Dan, aku melakukan semuanya itu dengan CINTA. Makanya jadi lebih mudah karena niat dan ikhlas. Amanah Allah harus dirawat dengan cinta kalau mau dicintai Allah. Setuju donk!! Dan, anak-anak ku memang sering menjuluki aku dengan beraneka profesi seperti diatas. Bukankah itu saja sudah sangat membahagiakan?
Memang profesi IBU perlu banyaaak sekali keahlian. Doktor di berbagai bidang!!!! Makanya, sebisa mungkin saya belajar. Bisa lewat jalur formal (kalau ada waktu dan uang), baca buku, nonton TV, dengar radio, baca koran, bertanya, melihat, belajar dari pengalaman orang lain, dsb. Pokoke belajar. Dan sebagai ibu, belajar bukan untuk mencari gelar atau biar naik pangkat dan jabatan lho!!
Wuih, susah ya jadi ibu? Memang!! Salah sekali kalau ada yang bilang; “Sayang sekolah tinggi-tinggi kok CUMA jadi ibu rumah tangga, kan ilmunya mubadzir tidak diterapkan.” Lho, kok jadi curhat? He he he, memang dulu banyak yang mengomentari aku begitu. Tapi ya nggak papa, mereka tidak tahu.
Di mana-mana.............. yang waras ngalah! Hua....ha.............ha........... peace!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar