"Saya bekerja mencari uang demi anak-anak saya."
Sering sekali aku mendengar kata-kata itu meluncur dengan sangat lancar dari mulut orangtua. Terutama IBU jika sedang ingin membela dirinya yang ninggalin anaknya telantar. Ya, semua yang mereka lakukan katanya demi anak-anak mereka.
Indah ya?
Eeeeeeeee....... tunggu dulu. Memang mereka bilang sih begitu. Tapi kadang aku heran lho. Ada orangtua yang bekerja dari pagi sampai malam baru sampai rumah. Anak-anak di rumah dengan pembantu dan baby sitter. Mereka sudah punya 2 mobil. Malah sudah 2 atau 3 kali aku melihat ibunya sudah ganti mobil menjadi yang lebih mewah. Tapi mereka masih setiap hari bekerja keluar rumah dari pagi sampai malam. Apa iya anaknya pengen dan yang lebih meragukan lagi perlu ganti mobil semakin mewah???
“Wah, makin sibuk aja nih Ibu.” Begitu aku pernah bertemu dan menyampaikan apa yang kulihat.
“Ya, Ibu sih enak sudah cukup, nggak perlu kerja keluar rumah juga nggak papa. Kalau saya sudah seperti ibu ya saya nggak perlu kerja seperti ini. Pontang panting. Yah..........tapi kan semua ini saya lakukan demi anak-anak juga. Saya ikhlas sajalah. Saya kan nggak seperti Ibu, semua sudah cukup.” Begitu dia bilang.
Hmmmmm........aku hanya diam. Pontang panting? Ikhlas demi anak? Walaah.........aku makin bingung!! Ini yang pinter dia atau aku terlalu bodoh sih, nggak ngerti jalan pikirannya? Mbuhlah, terserah! Aku kasihan sama anak-anaknya, punya Ibu seperti itu! Sudahlah egois, eee........mengkambinghitamkan anaknya lagi! Padahal, dia sudah punya rumah............bagus lagi! Dia sudah punya 2 mobil............. mewah! Tangannya dilingkari gelang emas yang gedenya............ rasanya tanganku nggak bakalan kuat lama-lama pakai gelang itu saking beratnya. Dan dia mengatakan itu kepadaku yang rumah n mobilnya nggak lebih bagus darinya?????
Welwh............weleh............. weleh..............
Lalu aku me ”rewind” pengalamanku dulu sewaktu memutuskan fokus pada mendidik anak. Fokus pada merawat, menjaga "berlian" titipan Allah. Saat itu kami sedang mencicil rumah type 36, kendaraan yang kami punya hanya motor, penghasilan suami juga pas-pasan. Tapi, justru karena itu pula aku lalu memutuskan untuk memprioritaskan anak-anak. Bayangin aja, kalau aku ngantor, aku harus membayar pembantu, baby sitter, guru, psikolog, ahli gizi, pendongeng, dll yang harus memenuhi kriteria lain seperti sayang sepenuh hati kepada anak-anakku, yang aku yakin sangat sulit mendapatkan orang dengan kriteria itu. Dan..........kalaupun ada, aku juga tidak mampu membayarnya. Hikcs.........hikcs............hikcs.............
Ya, seandainya aku setiap hari harus bekerja keluar rumah dari pagi sampai malam, dan anak-anak masih kecil-kecil, maka aku harus bisa membayar banyak sekali profesional untuk menggantikanku menghandle anak-anak. Dan............mereka MUSTI sekaliber aku dalam mengasuh berlian Allah yang dititipkan kepadaku! Mereka HARUS sehebat aku dalam mengasuh dan mendidik berlianku. He he he......... narcistnya kumat ya??!!! Biarin deh! Ini bukan narcist kok, tapi PD!!
Mana tahaaaannn...................uang dari mana coba? Buat hidup wajar aja pas-pasan!!
Makanya aku dengan sangat yakin seyakin-yakinnya memutuskan untuk memilih nggak ngantor dulu. Fokus pada anak-anak.
"Buat sekolah mereka nanti apa? Memangnya hidup nggak perlu uang?"
He he he...............aku yakin seyakin-yakinnya.............Allah mboten sare!!!
Blog ini berisi pengalamanku dalam menjaga amanah yang Allah titipkan kepadaku. Berat, repot, bingung, bahagia. ASI, pengasuhan,pendidikan,parenting, wanita, ibu, rumah tangga, keluarga,karir, semua deh. JANGAN MEMBENARKAN YANG BIASA TETAPI BIASAKANLAH YANG BENAR. Itulah yang aku lakukan, tidak peduli yang aku lakukan tidak populer, karena tanggung jawabku bukan pada manusia lain tetapi pada Sang Pencipta. Semoga blog ini bermanfaat bagiku, dan pembaca semua. Amiin.
Rabu, 31 Oktober 2007
Selasa, 30 Oktober 2007
ANAK HEBAT 2
Aku paling tidak suka jika anak-anakku ditanya “Rangking berapa?”, “Hafalannya berapa juz?”, “Berapa nilai UAN?”, dsb.
“Walah, pasti karena anak-anaknya nggak rangking, hafalan Al Qur’an nya sedikit, dan nilai UAN nya jelek!” Begitu mungkin orang berpikirnya ya?
“Maybe yes, maybe no.” He he he, kayak iklan ya?
Bukan Bapak dan Ibu yang baik, sama sekali bukan karena itu semua. Hmm........ anak-anakku? Walaaah........ kalau cuma rangking sih......... biasalah!! Langganan kali ya? Rangking itu kan hanya berdasar nilai kumulatif yang didapat pada waktu yang terbatas, atas soal yang terbatas, yang sama sekali tidak bisa dikatakan mencerminkan kemampuan akademis seorang anak.
Lalu............ Hafalan Al Qur’an, itu adalah pencapaian yang bagus, namun lebih bagus lagi dengan diikuti pemahaman dan pelaksanaan dari ayat-ayat Al Qur’an tersebut. Nilai UAN apalagi, masa sekolah 3 tahun kok dinilai bagus atau tidak, pinter atau tidak, berhasil atau tidak hanya dari beberapa soal yang harus diselesaikan dalam beberapa menit? Ya, kita harus fair dengan anak-anak kita.
Lagi, banyak orangtua yang sangat ingin anaknya SUPER!! Memang sih...........
Siapa yang tidak ingin anaknya hebat. Tapi mengapa mesti berorientasi pada hasil? Sudahkah kita berusaha secara maksimal? Kita memang wajib berusaha, mengoptimalkan kemampuan anak-anak kita.
Apabila memang sudah maksimal usaha kita, maka kehebatan mereka akan menjadi bonus yang membahagiakan semua. Bukan tuntutan kita pada mereka, bukan tujuan, bukan, sama sekali bukan. So, tidak akan menjadi beban bagi mereka.
Pengen anaknya hebat? Jadilah Anda orangtua hebat terlebih dulu.
“Walah, pasti karena anak-anaknya nggak rangking, hafalan Al Qur’an nya sedikit, dan nilai UAN nya jelek!” Begitu mungkin orang berpikirnya ya?
“Maybe yes, maybe no.” He he he, kayak iklan ya?
Bukan Bapak dan Ibu yang baik, sama sekali bukan karena itu semua. Hmm........ anak-anakku? Walaaah........ kalau cuma rangking sih......... biasalah!! Langganan kali ya? Rangking itu kan hanya berdasar nilai kumulatif yang didapat pada waktu yang terbatas, atas soal yang terbatas, yang sama sekali tidak bisa dikatakan mencerminkan kemampuan akademis seorang anak.
Lalu............ Hafalan Al Qur’an, itu adalah pencapaian yang bagus, namun lebih bagus lagi dengan diikuti pemahaman dan pelaksanaan dari ayat-ayat Al Qur’an tersebut. Nilai UAN apalagi, masa sekolah 3 tahun kok dinilai bagus atau tidak, pinter atau tidak, berhasil atau tidak hanya dari beberapa soal yang harus diselesaikan dalam beberapa menit? Ya, kita harus fair dengan anak-anak kita.
Lagi, banyak orangtua yang sangat ingin anaknya SUPER!! Memang sih...........
Siapa yang tidak ingin anaknya hebat. Tapi mengapa mesti berorientasi pada hasil? Sudahkah kita berusaha secara maksimal? Kita memang wajib berusaha, mengoptimalkan kemampuan anak-anak kita.
Apabila memang sudah maksimal usaha kita, maka kehebatan mereka akan menjadi bonus yang membahagiakan semua. Bukan tuntutan kita pada mereka, bukan tujuan, bukan, sama sekali bukan. So, tidak akan menjadi beban bagi mereka.
Pengen anaknya hebat? Jadilah Anda orangtua hebat terlebih dulu.
“ANAK HEBAT" 1
Apabila kita mempunyai anak yang kata orang ahli berkebutuhan khusus, seperti autis misalnya, maka kita akan tunggang langgang mencari sekolah khusus, teratment khusus, guru khusus, makanan khusus, dan bahkan kita akan rela belajar mengenai autis dan cara penanganan yang tepat. Sampai ke ujung dunia kali ya bu?! Maka tidak heran apabila anak berkebutuhan khusus ini akan tergali semua potensinya dan menjadi “hebat”. Tidak jarang saya mendengar pendapat umum bahwa anak autis itu sebenarnya sangat cerdas melebihi anak “normal”.
“Apa iya ya?”
Banyak contoh anak berkebutuhan khusus yang “hebat”. Yang terakhir agak santer kita dengar beritanya adalah Ye Ah we (kalau nggak salah namanya) anak yang hanya mempunyai 4 jari tangan kanan kiri, down syndrom, dan kaki sampai lutut, tetapi mempunyai keahlian bermain piano yang luar biasa. Apabila kita cermati, dia bisa begitu karena ibunya “hebat”. Ya, ibunya mati-matian mendidik, membimbing, menstimulasi, dan memotivasi anaknya, yang tentu saja perlu perjuangan yang sangat gigih tanpa mengenal lelah.
“Apa iya ya?”
Ya, pertanyaan itu sering melintas di benak saya. Apa iya anak berkebutuhan khusus ini memang lebih hebat dari anak normal?
Menurut saya kok tidak ya? Tidak?! Apa saya mau memungkiri kenyataan? Kata anak-anak saya, banyak orang hebat yang mempunyai keterbatasan. Anak-anak saya semua suka membaca, buku tentang orang hebat adalah salah satu menu favorit mereka. Dan apabila saya ajak diskusi tentang keberhasilan orang, mereka dengan lancar akan menyebut nama-nama mereka sekaligus keterbatasan yang mereka miliki dan kehebatannya. Bethoven (tuli), Napoleon Bonaparte (pendek, tetapi panglima perang hebat), Helen Keller (buta tuli), dsb.
Tapi, “Apa iya ya?”
Kok saya tetap menyangsikan statement tersebut. Saya yakin, bahwa Allah menciptakan manusia dengan kelebihan dan kekurangan. Tapi, apa benar anak-anak yang mempunyai keterbatasan ini “lebih hebat” dari anak “normal”?
Menurut saya sih, tidak. Lha kok berani-beraninya saya berpendapat “berbeda” dari orang lain? Lha jelas berani donk, saya! Lho!! Kok sombong? Nggak kok, saya bukan sombong. Boleh donk berbeda?
Ya, saya hanya ingin menyampaikan berita gembira bagi orang tua yang mempunyai anak “normal”. Siapa bilang anak “normal” tidak hebat? Kenapa kita tidak pernah berpikir bahwa Kalau anak yang mempunyai keterbatasan saja bisa menjadi “hebat”, seharusnya anak “normal” lebih berpotensi lagi menjadi “hebat”.
Yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa anak yang mempunyai keterbatasan banyak yang sukses menjadi “hebat”? Ya jelas donk, kan dia mendapat stimulasi dan treatment yang tepat sesuai keadaan, kemampuan, dan potensi dirinya. Orang tuanya mati-matian mencari tempat, guru, dan penanganan yang tepat sampai tergali dan terasah semua potensinya. Biaya berapapun hayo aja asal anaknya bisa mendapatkan semua keperluannya. Mereka juga patuh pada aturan-aturan yang harus diberlakukan pada anaknya tersebut.
Bapak dan ibu yang baik,
Kenapa kita tidak melakukan hal yang sama terhadap anak-anak “normal” kita? Semua anak itu sebenarnya “berkebutuhan khusus” lho. “Enak aja, nggak rela anakku dikatakan berkebutuhan khusus! Orang anakku normal kok!”
Jangan marah donk Pak, Bu. Saya mengatakan itu, karena memang betul. Setiap anak itu unik. Tidak sama dengan anak lain, even saudara sekandung bahkan kembar identik. Nah, kenapa kita tidak mentreatment mereka secara unik juga sesuai keperluan masing-masing anak? Kenapa kita tidak mencari cara yang tepat juga untuk mereka? Mengapa mesti nunggu punya anak seperti itu untuk mentreatment mereka secara benar? Mengapa tidak memperlakukan anak normal kita dengan penanganan khusus sesuai kebutuhan mereka?
Logikanya, kalau anak yang mempunyai keterbatasan saja bisa menjadi “hebat” asal mendapatkan treatment yang tepat, apalagi anak “normal”. Anak normal semestinya mempunyai potensi lebih untuk menjadi “hebat” karena treatment yang mereka perlukan cenderung lebih mudah. Tapi tidak berarti kita “menggampangkan” dengan memberi treatment standart, seperti pruduk masal, tidak mendapat perhatian khusus sesuai keperluannya. Setuju donk!!! So, ayo, mari, kita treatment anak-anak kita semaksimal mungkin, bagaimanapun keadaan mereka saat hadir di dunia.
Ya, kapan-kapan saya akan sampaikan berita gembira lain tentang anak. Sedikit bocoran, mereka sebenarnya bisa menjadi jenius meski mereka hanya mempunyai seperempat dari massa otaknya. Wow!! Memang, pasti, nara sumbernya Al Qur’an lho.
“Apa iya ya?”
Banyak contoh anak berkebutuhan khusus yang “hebat”. Yang terakhir agak santer kita dengar beritanya adalah Ye Ah we (kalau nggak salah namanya) anak yang hanya mempunyai 4 jari tangan kanan kiri, down syndrom, dan kaki sampai lutut, tetapi mempunyai keahlian bermain piano yang luar biasa. Apabila kita cermati, dia bisa begitu karena ibunya “hebat”. Ya, ibunya mati-matian mendidik, membimbing, menstimulasi, dan memotivasi anaknya, yang tentu saja perlu perjuangan yang sangat gigih tanpa mengenal lelah.
“Apa iya ya?”
Ya, pertanyaan itu sering melintas di benak saya. Apa iya anak berkebutuhan khusus ini memang lebih hebat dari anak normal?
Menurut saya kok tidak ya? Tidak?! Apa saya mau memungkiri kenyataan? Kata anak-anak saya, banyak orang hebat yang mempunyai keterbatasan. Anak-anak saya semua suka membaca, buku tentang orang hebat adalah salah satu menu favorit mereka. Dan apabila saya ajak diskusi tentang keberhasilan orang, mereka dengan lancar akan menyebut nama-nama mereka sekaligus keterbatasan yang mereka miliki dan kehebatannya. Bethoven (tuli), Napoleon Bonaparte (pendek, tetapi panglima perang hebat), Helen Keller (buta tuli), dsb.
Tapi, “Apa iya ya?”
Kok saya tetap menyangsikan statement tersebut. Saya yakin, bahwa Allah menciptakan manusia dengan kelebihan dan kekurangan. Tapi, apa benar anak-anak yang mempunyai keterbatasan ini “lebih hebat” dari anak “normal”?
Menurut saya sih, tidak. Lha kok berani-beraninya saya berpendapat “berbeda” dari orang lain? Lha jelas berani donk, saya! Lho!! Kok sombong? Nggak kok, saya bukan sombong. Boleh donk berbeda?
Ya, saya hanya ingin menyampaikan berita gembira bagi orang tua yang mempunyai anak “normal”. Siapa bilang anak “normal” tidak hebat? Kenapa kita tidak pernah berpikir bahwa Kalau anak yang mempunyai keterbatasan saja bisa menjadi “hebat”, seharusnya anak “normal” lebih berpotensi lagi menjadi “hebat”.
Yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa anak yang mempunyai keterbatasan banyak yang sukses menjadi “hebat”? Ya jelas donk, kan dia mendapat stimulasi dan treatment yang tepat sesuai keadaan, kemampuan, dan potensi dirinya. Orang tuanya mati-matian mencari tempat, guru, dan penanganan yang tepat sampai tergali dan terasah semua potensinya. Biaya berapapun hayo aja asal anaknya bisa mendapatkan semua keperluannya. Mereka juga patuh pada aturan-aturan yang harus diberlakukan pada anaknya tersebut.
Bapak dan ibu yang baik,
Kenapa kita tidak melakukan hal yang sama terhadap anak-anak “normal” kita? Semua anak itu sebenarnya “berkebutuhan khusus” lho. “Enak aja, nggak rela anakku dikatakan berkebutuhan khusus! Orang anakku normal kok!”
Jangan marah donk Pak, Bu. Saya mengatakan itu, karena memang betul. Setiap anak itu unik. Tidak sama dengan anak lain, even saudara sekandung bahkan kembar identik. Nah, kenapa kita tidak mentreatment mereka secara unik juga sesuai keperluan masing-masing anak? Kenapa kita tidak mencari cara yang tepat juga untuk mereka? Mengapa mesti nunggu punya anak seperti itu untuk mentreatment mereka secara benar? Mengapa tidak memperlakukan anak normal kita dengan penanganan khusus sesuai kebutuhan mereka?
Logikanya, kalau anak yang mempunyai keterbatasan saja bisa menjadi “hebat” asal mendapatkan treatment yang tepat, apalagi anak “normal”. Anak normal semestinya mempunyai potensi lebih untuk menjadi “hebat” karena treatment yang mereka perlukan cenderung lebih mudah. Tapi tidak berarti kita “menggampangkan” dengan memberi treatment standart, seperti pruduk masal, tidak mendapat perhatian khusus sesuai keperluannya. Setuju donk!!! So, ayo, mari, kita treatment anak-anak kita semaksimal mungkin, bagaimanapun keadaan mereka saat hadir di dunia.
Ya, kapan-kapan saya akan sampaikan berita gembira lain tentang anak. Sedikit bocoran, mereka sebenarnya bisa menjadi jenius meski mereka hanya mempunyai seperempat dari massa otaknya. Wow!! Memang, pasti, nara sumbernya Al Qur’an lho.
Senin, 29 Oktober 2007
PRINCESS
Malam ini aku sepintas melihat tayangan film di TV. Entah apa judulnya dan di satasiun televisi apa, karena memang hanya sambil lalu, karena aku tengah menidurkan princessku sendiri. Meski selintas, karena ada yang menarik maka akupun menyisihkan sedikit perhatianku pada film sambil tetap meninabobokan buah hatiku, agar bisa mengambil pelajaran.
Ada rombongan pengawal kerajaan yang mengawal seorang putri (princess) untuk diantar ke kerajaan calon suaminya. Dalam perjalanan, rombongan diserang pasukan musuh. Singkat cerita, semua pengawal mengejar pasukan musuh sehingga kereta kuda berisi putri dan dayang-dayang tanpa pengawal diserang.
Sang putri segera memerintahkan dayang-dayangnya untuk melompat dari kereta sekaligus dia ajari cara melompat agar mereka tidak mengalami luka yang membahayakan. Sementara dia sendiri di dalam kereta menunggu penyerangnya. Saat penyerang berhasil masuk kereta ternyata sang putri bergelayutan di pintu kereta dan kemudian dengan sebelah tangannya dia menarik dan melemparkan tubuh penyerangnya yang seorang prajurit terlatih (pasti kuat) dan...........laki-laki.
Wow, meski itu hanya film, aku belajar dari situ. Ya, sang putri memang disiapkan untuk menjadi seorang pemimpin. Maka dia smart, cerdik, melindungi, kuat, berani, pantang menyerah, namun tetap cantik dan anggun. Mengapa? Karena dia dididik dan disiapkan untuk itu. Jadi dia memang disiapkan dan siap menjadi seorang pemimpin.
Apakah kita akan menyiapkan putri kita menjadi IBU (baca: pencetak generasi), sekedar menjadi “kanca wingking” suaminya, sekedar pencetak uang, pekerja kantoran, atau apa? Itu menjadi tugas dan tanggung jawab kita orangtuanya (bapak ibunya). So, mau anak laki-laki atau perempuan, mereka akan menjadi seperti bagaimana kita mempersiapkan mereka. Sudahkah kita melakukan tugas kita itu? Atau, ......kita masih terlena dengan diri kita sendiri?
Ada rombongan pengawal kerajaan yang mengawal seorang putri (princess) untuk diantar ke kerajaan calon suaminya. Dalam perjalanan, rombongan diserang pasukan musuh. Singkat cerita, semua pengawal mengejar pasukan musuh sehingga kereta kuda berisi putri dan dayang-dayang tanpa pengawal diserang.
Sang putri segera memerintahkan dayang-dayangnya untuk melompat dari kereta sekaligus dia ajari cara melompat agar mereka tidak mengalami luka yang membahayakan. Sementara dia sendiri di dalam kereta menunggu penyerangnya. Saat penyerang berhasil masuk kereta ternyata sang putri bergelayutan di pintu kereta dan kemudian dengan sebelah tangannya dia menarik dan melemparkan tubuh penyerangnya yang seorang prajurit terlatih (pasti kuat) dan...........laki-laki.
Wow, meski itu hanya film, aku belajar dari situ. Ya, sang putri memang disiapkan untuk menjadi seorang pemimpin. Maka dia smart, cerdik, melindungi, kuat, berani, pantang menyerah, namun tetap cantik dan anggun. Mengapa? Karena dia dididik dan disiapkan untuk itu. Jadi dia memang disiapkan dan siap menjadi seorang pemimpin.
Apakah kita akan menyiapkan putri kita menjadi IBU (baca: pencetak generasi), sekedar menjadi “kanca wingking” suaminya, sekedar pencetak uang, pekerja kantoran, atau apa? Itu menjadi tugas dan tanggung jawab kita orangtuanya (bapak ibunya). So, mau anak laki-laki atau perempuan, mereka akan menjadi seperti bagaimana kita mempersiapkan mereka. Sudahkah kita melakukan tugas kita itu? Atau, ......kita masih terlena dengan diri kita sendiri?
Sabtu, 27 Oktober 2007
WANITA KARIR VS IBU RUMAH TANGGA
Wanita Karir, ya, wanita karir.
Apa sih sebenarnya yang dimaksud wanita karir? Kalau selama ini sih, yang orang maksud wanita karir tuh “wanita yang kerja kantoran”. Iya, wanita yang tiap hari (Senin sampai Jum’at, atau lebih malah) pergi ke kantor untuk bekerja dan mendapatkan imbalan sejumlah uang yang disebut gaji. Itu kata orang-orang.
Orang jaman sekarang biasanya menganggap wanita seperti itu hebat, pinter, wah, cantik, kaya, keren, membanggakan, dll sebutan yang rata-rata “bagus”. Memang tidak salah dengan anggapan seperti itu, mengingat jaman sekarang ini memang jaman materialisme. Jadi apa-apa yang berbau materi itu dibanggakan, dielu-elukan.
Dan seakan-akan hanya wanita yang tidak mempunyai kesempatan sebagai “wanita karir” tadilah yang akhirnya “terpaksa” menjadi ibu rumah tangga. Yang menyedihkan, yang bukan “wanita karir” sering dianggap rendah, bodoh, nggak keren, miskin, dll. Nggak OK lah pokoknya. Lebih-lebih lagi, malahan wanita yang bukan “wanita karir” itu sendiri yang minder, dan mengatakan aku Cuma ibu rumah tangga biasa. Lah, seolah-olah, wanita yang hebat, pinter, cantik, kaya, keren, dsb tadi adalah wanita karir, dan sisanya yang nggak bisa apa-apa itu masuk kategori “ibu rumah tangga”. Sudah gitu pakai kata “biasa” lagi. Melas amat sih? Itukah yang mereka sebut Ibu Rumah Tangga? BIASA?
Sedih bangets deh kalau aku mendengar orang, apalagi seorang wanita berpendapat seperti itu. Bagaimana negara ini bisa maju dan berani bersaing dengan negara lain, kalau wanitanya sebagai tiang negara, mempunyai pandangan rendah seperti itu? Apakah itu yang namanya emansipasi? Kalau menurutku sih, justru itulah penjajahan atas wanita.
Iya, karena merendahkan peran penting seorang wanita sebagai pencetak generasi. Seolah mencetak generasi itu pekerjaan gampang, sehingga cukup diserahkan pada pembantu, baby sitter, atau menjadi sambilan saja (yang utama tetap bekerja mencari uang), atau diserahkan pada wanita yang tidak mendapat kesempatan menjadi wanita karir. Tapiiiiiiiiiii............... ngakunya yang diutamakan tetep anak! Lhadalah!!!! Kok yo teganya....teganya.............teganya...........
Yang seringkali membuatku pribadi berdecak kagum (sangaaat kagum, malah), yaitu wanita yang berkarir tetapi sekaligus mencetak generasi. Hebat sekali mereka itu. Saluuuuuuuut! Mereka itu “wonder women” kali ya. Bagaimana nggak hebat?! Mereka tinggal di Jabodetabek, yang pasti berangkat ke kantor sebelum jam 6.00, sampai rumah lagi setelah jam 18.00, tetapi masih bisa meng ”handle” anak-anaknya. Wow, hebat!Belum lagi kalau mereka lembur, tugas luar kota, atau bahkan luar negeri.
Hebat memang, 12 jam meninggalkan anak-anaknya tetapi tetap bisa “ngurus “ mereka. Padahal, setahuku sih (berdasar pengalaman), anak-anak itu sepanjang hari sangat perlu dampingan ibunya (orang dewasa dengan keilmuan dan keahlian cukup, yang sangat peduli dan sayang sama mereka). Terlebih saat anak-anak usia balita. Tiap jam, menit, detik bersama mereka itu sangat berarti bagi perkembangan mereka. Setiap saat adalah GOLDEN MOMENT. Nggak ada yang bisa terlewati begitu saja.
Ya, berdasar pengalamanku, menjadi ibu rumah tangga itu sangat tidak mudah. Perlu banyak keilmuan dan keahlian untuk profesional dalam pekerjaan dan profesi ini. Dan, keikhlasan yang luar biasa mengingat tidak adanya kompensasi yang material. Lha kan nggak digaji sama sekali untuk pekerjaan penuh dedikasi selama 24 jam sehari, 7 hati seminggu sepanjang hidupnya! Imagine that!!!
Lebih mudah menjadi wanita karir (sangat jauuuuh lebih mudah malah). Karena aku juga sudah mengalami keduanya. Aku juga pernah merangkap jabatan tersebut, tetapi nggak sanggup deh. Kenapa? Karena, menjadi IBU tidak bisa disambi (menjadi sambilan saja, hanya mengambil sisa waktu ). Sementara kalau aku kerja kantoran juga, yaaaa....... waktuku kan habis dijalan, di kantor, belum lagi tenaga, pikiran, perasaan juga sudah dikuras.
Jujur aja deh............. masa iya sih setelah bekerja di kantor seharian, masih PRIMA gitu tenaga, pikiran, perasaan, dan potensi kita? Boong kali ya........... Mungkin, ini bisa dilakukan jika karir sebagai wanita karirnya hanyalah sampingan. Yang utama ya Ibu Rumah Tangga. So, hanya bekerja sebagai wanita karir setelah semua urusan anak beres! Ha ha ha.......... itu hanya bisa dilakukan kalau kita pemilik kantor!! Ya nggak? Ya nggak?
Kalaupun memang menjadi wanita karir............ ya terserah! Itu kan pilihan hidup masing-masing. Tetapi................ jangan sekali sekali merendahkan profesi Ibu Rumah Tangga. Just........... lakukan semua urusan secara profesional.
So, jangan pernah sebut "CUMA IBU RUMAH TANGGA, BIASA. OK?!
Apa sih sebenarnya yang dimaksud wanita karir? Kalau selama ini sih, yang orang maksud wanita karir tuh “wanita yang kerja kantoran”. Iya, wanita yang tiap hari (Senin sampai Jum’at, atau lebih malah) pergi ke kantor untuk bekerja dan mendapatkan imbalan sejumlah uang yang disebut gaji. Itu kata orang-orang.
Orang jaman sekarang biasanya menganggap wanita seperti itu hebat, pinter, wah, cantik, kaya, keren, membanggakan, dll sebutan yang rata-rata “bagus”. Memang tidak salah dengan anggapan seperti itu, mengingat jaman sekarang ini memang jaman materialisme. Jadi apa-apa yang berbau materi itu dibanggakan, dielu-elukan.
Dan seakan-akan hanya wanita yang tidak mempunyai kesempatan sebagai “wanita karir” tadilah yang akhirnya “terpaksa” menjadi ibu rumah tangga. Yang menyedihkan, yang bukan “wanita karir” sering dianggap rendah, bodoh, nggak keren, miskin, dll. Nggak OK lah pokoknya. Lebih-lebih lagi, malahan wanita yang bukan “wanita karir” itu sendiri yang minder, dan mengatakan aku Cuma ibu rumah tangga biasa. Lah, seolah-olah, wanita yang hebat, pinter, cantik, kaya, keren, dsb tadi adalah wanita karir, dan sisanya yang nggak bisa apa-apa itu masuk kategori “ibu rumah tangga”. Sudah gitu pakai kata “biasa” lagi. Melas amat sih? Itukah yang mereka sebut Ibu Rumah Tangga? BIASA?
Sedih bangets deh kalau aku mendengar orang, apalagi seorang wanita berpendapat seperti itu. Bagaimana negara ini bisa maju dan berani bersaing dengan negara lain, kalau wanitanya sebagai tiang negara, mempunyai pandangan rendah seperti itu? Apakah itu yang namanya emansipasi? Kalau menurutku sih, justru itulah penjajahan atas wanita.
Iya, karena merendahkan peran penting seorang wanita sebagai pencetak generasi. Seolah mencetak generasi itu pekerjaan gampang, sehingga cukup diserahkan pada pembantu, baby sitter, atau menjadi sambilan saja (yang utama tetap bekerja mencari uang), atau diserahkan pada wanita yang tidak mendapat kesempatan menjadi wanita karir. Tapiiiiiiiiiii............... ngakunya yang diutamakan tetep anak! Lhadalah!!!! Kok yo teganya....teganya.............teganya...........
Yang seringkali membuatku pribadi berdecak kagum (sangaaat kagum, malah), yaitu wanita yang berkarir tetapi sekaligus mencetak generasi. Hebat sekali mereka itu. Saluuuuuuuut! Mereka itu “wonder women” kali ya. Bagaimana nggak hebat?! Mereka tinggal di Jabodetabek, yang pasti berangkat ke kantor sebelum jam 6.00, sampai rumah lagi setelah jam 18.00, tetapi masih bisa meng ”handle” anak-anaknya. Wow, hebat!Belum lagi kalau mereka lembur, tugas luar kota, atau bahkan luar negeri.
Hebat memang, 12 jam meninggalkan anak-anaknya tetapi tetap bisa “ngurus “ mereka. Padahal, setahuku sih (berdasar pengalaman), anak-anak itu sepanjang hari sangat perlu dampingan ibunya (orang dewasa dengan keilmuan dan keahlian cukup, yang sangat peduli dan sayang sama mereka). Terlebih saat anak-anak usia balita. Tiap jam, menit, detik bersama mereka itu sangat berarti bagi perkembangan mereka. Setiap saat adalah GOLDEN MOMENT. Nggak ada yang bisa terlewati begitu saja.
Ya, berdasar pengalamanku, menjadi ibu rumah tangga itu sangat tidak mudah. Perlu banyak keilmuan dan keahlian untuk profesional dalam pekerjaan dan profesi ini. Dan, keikhlasan yang luar biasa mengingat tidak adanya kompensasi yang material. Lha kan nggak digaji sama sekali untuk pekerjaan penuh dedikasi selama 24 jam sehari, 7 hati seminggu sepanjang hidupnya! Imagine that!!!
Lebih mudah menjadi wanita karir (sangat jauuuuh lebih mudah malah). Karena aku juga sudah mengalami keduanya. Aku juga pernah merangkap jabatan tersebut, tetapi nggak sanggup deh. Kenapa? Karena, menjadi IBU tidak bisa disambi (menjadi sambilan saja, hanya mengambil sisa waktu ). Sementara kalau aku kerja kantoran juga, yaaaa....... waktuku kan habis dijalan, di kantor, belum lagi tenaga, pikiran, perasaan juga sudah dikuras.
Jujur aja deh............. masa iya sih setelah bekerja di kantor seharian, masih PRIMA gitu tenaga, pikiran, perasaan, dan potensi kita? Boong kali ya........... Mungkin, ini bisa dilakukan jika karir sebagai wanita karirnya hanyalah sampingan. Yang utama ya Ibu Rumah Tangga. So, hanya bekerja sebagai wanita karir setelah semua urusan anak beres! Ha ha ha.......... itu hanya bisa dilakukan kalau kita pemilik kantor!! Ya nggak? Ya nggak?
Kalaupun memang menjadi wanita karir............ ya terserah! Itu kan pilihan hidup masing-masing. Tetapi................ jangan sekali sekali merendahkan profesi Ibu Rumah Tangga. Just........... lakukan semua urusan secara profesional.
So, jangan pernah sebut "CUMA IBU RUMAH TANGGA, BIASA. OK?!
TRANCE
Barusan saya mendapat kiriman E-mail yang bagus dari seorang teman tentang TRANCE yang dimanfaatkan pada mendidik anak. Trance adalah sebuah keadaan dimana fokus perhatian dari pikiran menjadi terpusat pada suatu kejadian. Dalam keadaan trance. Reticular Activating System anak akan terbuka, sehingga informasi yang datang melalui panca indera akan masuk alam bawah sadar tanpa tersaring.
Jadi gini Bapak dan Ibu yang baik, biasanya, anak yang sedang asyik bermain, nonton TV, ata saat mau tidur (hampir tertidur), akan mudah sekali menyerap apapun yang dia lihat, dia dengar, sehingga akan dia ikuti atau menirunya. Itulah kenapa kalau nonton TV harus didampingi.
Nah, saat seperti itu sebenarnya bisa kita manfaatkan dengan memberi informasi yang kita inginkan. Saat anak asyik sekali bermain, kita bisa masuk dalam permainan mereka dan menyampaikan pesan-pesan positif. Misalnya makan sehat, tidak jajan, tidak mengganggu adiknya atau temannya, dll sesuai keperluan. Demikian juga saat anak mau tidur, nina bobo bisa dengan lagu yang kita buat sendiri dengan lirik sesuai misi kita. Nah, jika itu terus kita ulang-ulang, insya Allah anak akan berperilaku seperti yang kita harapkan. Doanya juga jangan lupa.
Ini memang terbukti, karena saya sudah menerapkan ini sejak 15 tahun lalu pada anak pertama saya. Kegiatan apapun akan saya lakukan sambil bermain, bernyanyi, atau bercerita yang sesuai misi saya. Hanya saja dulu saya tidak tahu ada masa TRANCE yang mendukung mudahnya informasi tersebut masuk. Yang perlu dicermati, jangan sampai informasi yang masuk dan dicerna anak informasi dan contoh yang buruk. Nah, daripada harus menyimak kapan anak dalam masa trance atau tidak, lebih baik kita selalu memberi informasi dan contoh yang baik saja. So, yang masuk ke anak juga yang baik. Setuju?!
Jadi gini Bapak dan Ibu yang baik, biasanya, anak yang sedang asyik bermain, nonton TV, ata saat mau tidur (hampir tertidur), akan mudah sekali menyerap apapun yang dia lihat, dia dengar, sehingga akan dia ikuti atau menirunya. Itulah kenapa kalau nonton TV harus didampingi.
Nah, saat seperti itu sebenarnya bisa kita manfaatkan dengan memberi informasi yang kita inginkan. Saat anak asyik sekali bermain, kita bisa masuk dalam permainan mereka dan menyampaikan pesan-pesan positif. Misalnya makan sehat, tidak jajan, tidak mengganggu adiknya atau temannya, dll sesuai keperluan. Demikian juga saat anak mau tidur, nina bobo bisa dengan lagu yang kita buat sendiri dengan lirik sesuai misi kita. Nah, jika itu terus kita ulang-ulang, insya Allah anak akan berperilaku seperti yang kita harapkan. Doanya juga jangan lupa.
Ini memang terbukti, karena saya sudah menerapkan ini sejak 15 tahun lalu pada anak pertama saya. Kegiatan apapun akan saya lakukan sambil bermain, bernyanyi, atau bercerita yang sesuai misi saya. Hanya saja dulu saya tidak tahu ada masa TRANCE yang mendukung mudahnya informasi tersebut masuk. Yang perlu dicermati, jangan sampai informasi yang masuk dan dicerna anak informasi dan contoh yang buruk. Nah, daripada harus menyimak kapan anak dalam masa trance atau tidak, lebih baik kita selalu memberi informasi dan contoh yang baik saja. So, yang masuk ke anak juga yang baik. Setuju?!
Jumat, 26 Oktober 2007
Tips Menyusui
Sering saya dengar berbagai keluhan seorang ibu yang mau menyusui anaknya. Saya harap, setelah membaca ini, semua ibu menyusui anaknya sesuai hak anak.
Yakinlah bahwa anda bisa menyusui karena itu janji Allah.
Keyakinan yang sungguh-sungguh akan hal ini sangatlah penting. Ya, keyakinan yang tidak hanya di bibir. Ibu, saya yakin, hati nurani anda tidak akan pernah bohong, apakah anda hanya mengatakan yakin atau memang sungguh-sungguh yakin. Allah mengatakan “susuilah anakmu selama 2 tahun” maka PASTI kita semua bisa menyusukan selama itu. Allah tidak mungkin mendzalimi kita, memerintahkan menyusui tanpa memberikan kemampuan untuk itu.
Berikan ASI mulai bayi lahir, kapanpun dia mau.
Ini yang namanya full ASI bu, bukan kita yang merasa sudah memberi secara full, tetapi bayi kitalah yang merasa sudah cukup. Tanda-tandanya? Yang jelas, bayi kita tidak akan mengatakan “Ma, adek sudah kenyang” tapi dia tidak rewel, tidurnya pules, buang air kecil sering, buang air besar bagus, berat badan “normal” (jangan selalu menuntut bayi anda “gendut” ya bu), dll. Banyak panduan tentang bayi yang sehat kok bu.
Jangan males ya bu! Kalau bayi tidur terus ya disusui saja. Jangan dibiarin, nanti kurang nyusu nggak sehat. Capek nggak papa bu, kan kesempatan ini tidak bisa diulang. Lagian, ibu akan langsing kembali tanpa harus diet. Ibu cantik, anak sehat, bapak senang, semua bahagia.
Jangan diberi susu formula atau makanan apapun.
Ini sangat penting mengingat kebiasaan saat ini, bayi diberi susu formula atau makanan tambahan sebelum waktunya dengan alasan ASI kurang, bayi rakus, dll. Bu, selama 6 bulan berilah bayi HANYA dengan asupan ASI saja. Setelah 6 bulan, baru diberi makanan tambahan, namun susunya tetap ASI saja. Jangan diberi susu formula. Sebagai informasi bu, biarpun sudah diolah, susu formula itu dari ibu sapi lho bu. Kalau mau ya hanya untuk tambahan pada makanan bayi supaya lebih enak sehingga bayi semangat makan. Karena, apabila ibu beri susu formula, cepat atau lambat produksi ASI akan menurun dan kemudian berhenti.
Makanlah cukup makanan yang bergizi.
Makanan bergizi bukan berarti mahal lho bu. Karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, kalsium, pasti semua sudah tahu ada di makanan apa. Nah, semua itu secukupnya. Jangan juga berlebihan, mentang-mentang menyusui, makannya seperti kelaparan. Nanti malah ibu yang gemuk.
Ikhlas
Iya bu, kita harus ikhlas, jangan ngeluh, jangan merasa berat (meski sudah pasti berat). Ingat lho bu, masa-masa ini tidak akan pernah terulang. Dengan keikhlasan kita, kitalah yanh akan menikmati masa menyusui ini dan akan mendekatkan kita dengan bayi tercinta.
Jangan dengarkan pendapat “negatif”.
Setiap kita melakukan hal baik, pasti ada suara negatif yang datang. Cuekin aja bu! Akhir-akhir ini, yang negatif ini makin banyak! Sedih ya?! Apa memang orang sekarang lebih suka yang negatif? Apalagi seperti itu. Pokoknya, kalau setiap ibu memberikan yang terbaik untuk anaknya, masyarakat yang negatif akan hilang. Kan anggota masyarakat itu keluarga. Nah, kalau tiap keluarga sudah baik, ya masyarakat akan baik. Setuju dong?!
Atasi semua kendala yang menghalangi pemberian ASI.
Ini sebenarnya mirip dengan poin no 6 tadi. Yang menghalangi kan pasti negatif. Kendala ini termasuk bagi ibu bekerja. Gimana mau ngasih ASI nya? Nah, untuk yang satu ini pembahasannya panjang. Kapan-kapan aja ya. Tapi bisa kok. Yang jelas karena ibu bekerja tidak hilang lho kewajiban memberi ASI.
Yakinlah bahwa anda bisa menyusui karena itu janji Allah.
Keyakinan yang sungguh-sungguh akan hal ini sangatlah penting. Ya, keyakinan yang tidak hanya di bibir. Ibu, saya yakin, hati nurani anda tidak akan pernah bohong, apakah anda hanya mengatakan yakin atau memang sungguh-sungguh yakin. Allah mengatakan “susuilah anakmu selama 2 tahun” maka PASTI kita semua bisa menyusukan selama itu. Allah tidak mungkin mendzalimi kita, memerintahkan menyusui tanpa memberikan kemampuan untuk itu.
Berikan ASI mulai bayi lahir, kapanpun dia mau.
Ini yang namanya full ASI bu, bukan kita yang merasa sudah memberi secara full, tetapi bayi kitalah yang merasa sudah cukup. Tanda-tandanya? Yang jelas, bayi kita tidak akan mengatakan “Ma, adek sudah kenyang” tapi dia tidak rewel, tidurnya pules, buang air kecil sering, buang air besar bagus, berat badan “normal” (jangan selalu menuntut bayi anda “gendut” ya bu), dll. Banyak panduan tentang bayi yang sehat kok bu.
Jangan males ya bu! Kalau bayi tidur terus ya disusui saja. Jangan dibiarin, nanti kurang nyusu nggak sehat. Capek nggak papa bu, kan kesempatan ini tidak bisa diulang. Lagian, ibu akan langsing kembali tanpa harus diet. Ibu cantik, anak sehat, bapak senang, semua bahagia.
Jangan diberi susu formula atau makanan apapun.
Ini sangat penting mengingat kebiasaan saat ini, bayi diberi susu formula atau makanan tambahan sebelum waktunya dengan alasan ASI kurang, bayi rakus, dll. Bu, selama 6 bulan berilah bayi HANYA dengan asupan ASI saja. Setelah 6 bulan, baru diberi makanan tambahan, namun susunya tetap ASI saja. Jangan diberi susu formula. Sebagai informasi bu, biarpun sudah diolah, susu formula itu dari ibu sapi lho bu. Kalau mau ya hanya untuk tambahan pada makanan bayi supaya lebih enak sehingga bayi semangat makan. Karena, apabila ibu beri susu formula, cepat atau lambat produksi ASI akan menurun dan kemudian berhenti.
Makanlah cukup makanan yang bergizi.
Makanan bergizi bukan berarti mahal lho bu. Karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, kalsium, pasti semua sudah tahu ada di makanan apa. Nah, semua itu secukupnya. Jangan juga berlebihan, mentang-mentang menyusui, makannya seperti kelaparan. Nanti malah ibu yang gemuk.
Ikhlas
Iya bu, kita harus ikhlas, jangan ngeluh, jangan merasa berat (meski sudah pasti berat). Ingat lho bu, masa-masa ini tidak akan pernah terulang. Dengan keikhlasan kita, kitalah yanh akan menikmati masa menyusui ini dan akan mendekatkan kita dengan bayi tercinta.
Jangan dengarkan pendapat “negatif”.
Setiap kita melakukan hal baik, pasti ada suara negatif yang datang. Cuekin aja bu! Akhir-akhir ini, yang negatif ini makin banyak! Sedih ya?! Apa memang orang sekarang lebih suka yang negatif? Apalagi seperti itu. Pokoknya, kalau setiap ibu memberikan yang terbaik untuk anaknya, masyarakat yang negatif akan hilang. Kan anggota masyarakat itu keluarga. Nah, kalau tiap keluarga sudah baik, ya masyarakat akan baik. Setuju dong?!
Atasi semua kendala yang menghalangi pemberian ASI.
Ini sebenarnya mirip dengan poin no 6 tadi. Yang menghalangi kan pasti negatif. Kendala ini termasuk bagi ibu bekerja. Gimana mau ngasih ASI nya? Nah, untuk yang satu ini pembahasannya panjang. Kapan-kapan aja ya. Tapi bisa kok. Yang jelas karena ibu bekerja tidak hilang lho kewajiban memberi ASI.
Kamis, 25 Oktober 2007
ULANG TAHUN
Tanggal 23 Oktober 2007. Hari ini anakku Hafizh berulang tahun yang ke 15. Wuih, sudah 15 tahun aku menjadi ibu.
Kembali seperti tahun-tahun sebelumnya, jika mereka ulang tahun, saya selalu mengingatkan mereka untuk membayangkan bagaimana kami mama papanya saat itu berjuang, campur aduk antara berdebar, senang, bahagia, was-was, demi menyongsong kehadiran mereka. Jadi, merekalah yang seharusnya memberi selamat pada mama papa, merekalah yang seharusnya memberi hadiah pada mama papa.
“Yaaa, mama papa curang! Masa yang ulang tahun yang kasih hadiah ke mama papa? Enak dong, tiap tahun mama papa dapat 4 hadiah!” begitu biasanya mereka protes.
Memang sih kenyataannya kami akan ke toko buku memenuhi keinginan mereka yang suka membaca. Kadang makan-makan bersama keluarga besar (sederhana saja). Anggap saja momen untuk menjalin silaturrahim.
Selama ini, orang menyikapi ulang tahun dengan pesta, makan-makan, hadiah, kue, boleh atau tidak tiup lilin, makan dengan anak yatim, pengajian, bertambahnya umur, atau berkurangnya sisa hidup. Kenapa tidak mengingat orangtua kita? Saat itu mungkin mereka bingung, sakit, nggak ada biaya, senang, was-was, dsb campur aduk. Mereka rela melakukan apa saja demi keselamatan kita.
Saya tidak ingin anak-anak saya tenggelam dalam kekeliruan. Saya tidak ingin anak-anak saya tidak mengetahui bagaimana seharusnya menyikapi suatu peristiwa.
HAPPY BIRTHDAY MY LOVELY SON, BE A GOOD MOESLIM ALWAYS. I LOVE YOU.
Kembali seperti tahun-tahun sebelumnya, jika mereka ulang tahun, saya selalu mengingatkan mereka untuk membayangkan bagaimana kami mama papanya saat itu berjuang, campur aduk antara berdebar, senang, bahagia, was-was, demi menyongsong kehadiran mereka. Jadi, merekalah yang seharusnya memberi selamat pada mama papa, merekalah yang seharusnya memberi hadiah pada mama papa.
“Yaaa, mama papa curang! Masa yang ulang tahun yang kasih hadiah ke mama papa? Enak dong, tiap tahun mama papa dapat 4 hadiah!” begitu biasanya mereka protes.
Memang sih kenyataannya kami akan ke toko buku memenuhi keinginan mereka yang suka membaca. Kadang makan-makan bersama keluarga besar (sederhana saja). Anggap saja momen untuk menjalin silaturrahim.
Selama ini, orang menyikapi ulang tahun dengan pesta, makan-makan, hadiah, kue, boleh atau tidak tiup lilin, makan dengan anak yatim, pengajian, bertambahnya umur, atau berkurangnya sisa hidup. Kenapa tidak mengingat orangtua kita? Saat itu mungkin mereka bingung, sakit, nggak ada biaya, senang, was-was, dsb campur aduk. Mereka rela melakukan apa saja demi keselamatan kita.
Saya tidak ingin anak-anak saya tenggelam dalam kekeliruan. Saya tidak ingin anak-anak saya tidak mengetahui bagaimana seharusnya menyikapi suatu peristiwa.
HAPPY BIRTHDAY MY LOVELY SON, BE A GOOD MOESLIM ALWAYS. I LOVE YOU.
Rabu, 24 Oktober 2007
JAJAN 2
“Bu, ganteng Ibu ini kok nggak pernah jajan? Saya sampai suruh lho. Teman-temannya sampai habis uang sakunya, dia masih utuh di saya. Sesuai namanya, zuhud dia.” Amiin.
Demikian saya pernah mendapat laporan dari guru wali anak pertama saya. Hafizh saat SMP memang di boarding school. Dia tinggal di asrama, uang saku saya titip gurunya setiap saya nengok (2 minggu 1 kali). Dan, memang sering masih utuh di kunjungan saya berikutnya.
**********
“Ini Ma, kembaliannya.” Kata Hafizh sambil memberikan kembalian sampai ke receh kecil-kecil pada saya setelah dia membelikan adik-adiknya minuman karena saya ada meeting dengan salah seorang kolega saya.
“Bagaimana Ibu mandidik anak Ibu?” Kolega saya bertanya heran. Karena menurut dia, anak ABG , ganteng, di mall, biasanya jaim, nggak mau ngurus adeknya, ngasih semua kembalian?????????
Saya jadi ikut heran. Lha, apa yang aneh? Anak-anak saya memang sudah biasa begitu dari kecil. Ya, dari kecil saya mau mereka tidak membenarkan yang biasa tetapi membiasakan yang benar.
Demikian saya pernah mendapat laporan dari guru wali anak pertama saya. Hafizh saat SMP memang di boarding school. Dia tinggal di asrama, uang saku saya titip gurunya setiap saya nengok (2 minggu 1 kali). Dan, memang sering masih utuh di kunjungan saya berikutnya.
**********
“Ini Ma, kembaliannya.” Kata Hafizh sambil memberikan kembalian sampai ke receh kecil-kecil pada saya setelah dia membelikan adik-adiknya minuman karena saya ada meeting dengan salah seorang kolega saya.
“Bagaimana Ibu mandidik anak Ibu?” Kolega saya bertanya heran. Karena menurut dia, anak ABG , ganteng, di mall, biasanya jaim, nggak mau ngurus adeknya, ngasih semua kembalian?????????
Saya jadi ikut heran. Lha, apa yang aneh? Anak-anak saya memang sudah biasa begitu dari kecil. Ya, dari kecil saya mau mereka tidak membenarkan yang biasa tetapi membiasakan yang benar.
Selasa, 23 Oktober 2007
SRI SULTAN HB X
Dalam acara Kick Andy edisi Sri Sultan Hamengkubuwono X, terlihat bagaimana kualitas diri seorang pemimpin. Tenang, wibawa, cerdas, berisi, santun, tegas, menentramkan, ngayomi, rapi, wah pokoknya hebat.
Kenapa beliau bisa seperti itu? Apa keturunan? Takdir? Anugerah?
TIDAK !!! Bukan karena itu. Kalaupun ada unsur itu hanya berpengaruh sangat kecil. Katanya bakat itu hanya berperan 1%, sedangkan usaha berperan 99%. Saya sih setuju, meski tidak seekstrim itu.
Saya sangat yakin Sri Sultan bisa seperti itu karena memang sejak lahir sudah dipersiapkan untuk menjadi seorang pemimpin (sebelum lahir malah). Maka, beliau dilahirkan, dirawat, dididik, ditempa, untuk menjadi pemimpin. Ya, semuanya pasti akan diberikan yang terbaik. Bukan semua boleh atau semua mahal atau mewah lho!! Tapi, semua yang TERBAIK. Makanan yang terbaik (bukan terenak atau termahal), guru dan pendidikan yang terbaik (bukan sekolah termahal), pengawalan yang terbaik (bukan dikekang atau diikuti terus, tapi juga dibekali cara membela diri), dll.
“Ya jelas, anak raja, semua tersedia!”
Eit, tunggu dulu. Anak raja yang dibuang ke hutan oleh pengkhianat atau musuhnya, akan tetap disiapkan menjadi raja (baca: pemimpin).
Ya, dia tetap akan mendapatkan pendidikan sebagai calon pemimpin meski dalam keterbatasan dan kesederhanaan. Sejak sebelum lahir, dia sudah diyakini dan diyakinkan bahwa dia adalah calon pemimpin. Sehingga, dia rela menjalani kehidupan yang mungkin berbeda dan lebih berat dibanding dengan anak lain sebayanya yang tidak dipersiapkan menjadi pemimpin. Dan pada saatnya nanti dia memang sudah siap menjadi pemimpin. Bukan karbitan, bukan aji mumpung, bukan “nemu rejeki”, bukan kebetulan, bukan karena partainya menang, bukan karena punya masa, dsb. Ya, dia memang sudah disiapkan dan menyiapkan diri menjadi seorang pemimpin dari lahir!!! Bahkan, jikapun dia akhirnya tidak menduduki jabatan apapun, dia tetap seorang pemimpin!!
Bagaimana dengan anak anda? Anda menyiapkan mereka menjadi apa sejak sebelum mereka lahir? Orang kaya? Mapan? Pandai? Jujur? Pemimpin? Pekerja? Penyanyi? Atau asal dapat kerja? Atau bahkan jadi apa aja asal kaya? Dari mana saja asal kaya? Dengan cara apa saja asal menduduki jabatan? Atau anda justru sedang sibuk pada diri anda sendiri, karir anda, harta anda, eksistensi anda, dengan mengatas namakan semua itu untuk anak?
Jangan-jangan sampai sekarang belum kepikiran kalau anak anda harus anda siapkan?
“Susah amat sih, pokoknya sekarang badannya gendut, sehat, sekolah dulu, juara, les ini itu (nggak jelas), bisa bahasa Inggris, hafalan Al Qur’annya banyak, hebat, membanggakan, jadi apa nanti terserah dia!” apa iya seperti itu?
Atau memang sudah anda persiapkan baik-baik agar nanti mereka siap menghadapi kehidupan dan kematian mereka? (Iiiiiiiiiihhhhhhhhhh, serem amat?) Lho, memang semua kan pasti mati? Ya merekapun harus tahu dan bisa menyiapkan semuanya sebelum dan sesudah mati. Sehingga mereka hidup bermakna dan mati masuk syurga?!
Kenapa beliau bisa seperti itu? Apa keturunan? Takdir? Anugerah?
TIDAK !!! Bukan karena itu. Kalaupun ada unsur itu hanya berpengaruh sangat kecil. Katanya bakat itu hanya berperan 1%, sedangkan usaha berperan 99%. Saya sih setuju, meski tidak seekstrim itu.
Saya sangat yakin Sri Sultan bisa seperti itu karena memang sejak lahir sudah dipersiapkan untuk menjadi seorang pemimpin (sebelum lahir malah). Maka, beliau dilahirkan, dirawat, dididik, ditempa, untuk menjadi pemimpin. Ya, semuanya pasti akan diberikan yang terbaik. Bukan semua boleh atau semua mahal atau mewah lho!! Tapi, semua yang TERBAIK. Makanan yang terbaik (bukan terenak atau termahal), guru dan pendidikan yang terbaik (bukan sekolah termahal), pengawalan yang terbaik (bukan dikekang atau diikuti terus, tapi juga dibekali cara membela diri), dll.
“Ya jelas, anak raja, semua tersedia!”
Eit, tunggu dulu. Anak raja yang dibuang ke hutan oleh pengkhianat atau musuhnya, akan tetap disiapkan menjadi raja (baca: pemimpin).
Ya, dia tetap akan mendapatkan pendidikan sebagai calon pemimpin meski dalam keterbatasan dan kesederhanaan. Sejak sebelum lahir, dia sudah diyakini dan diyakinkan bahwa dia adalah calon pemimpin. Sehingga, dia rela menjalani kehidupan yang mungkin berbeda dan lebih berat dibanding dengan anak lain sebayanya yang tidak dipersiapkan menjadi pemimpin. Dan pada saatnya nanti dia memang sudah siap menjadi pemimpin. Bukan karbitan, bukan aji mumpung, bukan “nemu rejeki”, bukan kebetulan, bukan karena partainya menang, bukan karena punya masa, dsb. Ya, dia memang sudah disiapkan dan menyiapkan diri menjadi seorang pemimpin dari lahir!!! Bahkan, jikapun dia akhirnya tidak menduduki jabatan apapun, dia tetap seorang pemimpin!!
Bagaimana dengan anak anda? Anda menyiapkan mereka menjadi apa sejak sebelum mereka lahir? Orang kaya? Mapan? Pandai? Jujur? Pemimpin? Pekerja? Penyanyi? Atau asal dapat kerja? Atau bahkan jadi apa aja asal kaya? Dari mana saja asal kaya? Dengan cara apa saja asal menduduki jabatan? Atau anda justru sedang sibuk pada diri anda sendiri, karir anda, harta anda, eksistensi anda, dengan mengatas namakan semua itu untuk anak?
Jangan-jangan sampai sekarang belum kepikiran kalau anak anda harus anda siapkan?
“Susah amat sih, pokoknya sekarang badannya gendut, sehat, sekolah dulu, juara, les ini itu (nggak jelas), bisa bahasa Inggris, hafalan Al Qur’annya banyak, hebat, membanggakan, jadi apa nanti terserah dia!” apa iya seperti itu?
Atau memang sudah anda persiapkan baik-baik agar nanti mereka siap menghadapi kehidupan dan kematian mereka? (Iiiiiiiiiihhhhhhhhhh, serem amat?) Lho, memang semua kan pasti mati? Ya merekapun harus tahu dan bisa menyiapkan semuanya sebelum dan sesudah mati. Sehingga mereka hidup bermakna dan mati masuk syurga?!
Senin, 22 Oktober 2007
JAJAN 1
Tahun 1994 sampai 1996, anak pertama saya umur 2 sampai 4 tahun. Kami tinggal di Pondok Safari Jurangmangu Tangerang, menyewa sebuah rumah kecil sangat sederhana, dekat sebuah toko kelontong yang cukup lengkap dengan berbagai makanan ringan yang dipajang sangat menarik bagi anak kecil manapun.
Sering saya melihat sendiri bagaimana seorang anak minta dibelikan jajanan tersebut kepada orangtuanya, biasanya ibunya. Berbagai macam cara anak-anak itu merayu. Semakin sulit ibunya mengabulkan keinginan mereka, semakin heboh juga mereka merajuk. Bahkan ada yang sampai menagis meraung-raung dan berguling-guling. Ternyata mereka berhasil mendapatkan apa yang mereka mau.
Anak-anak itu hebat, cerdas, keras pendiriannya, atau ibunya yang gampang menyerah karena malu anaknya bertingkah seperti itu? Mungkin semuanya benar ya, anak-anak memang negosiator ulung!
“Kok Hafizh nggak pernah minta jajan ya Bu? Apalagi sampai nagis-nangis seperti anak lain? Padahal kan tiap hari dia keluar rumah dan melihat toko saya?” Pemilik toko pernah bertanya heran kepada saya.
“Mungkin dia tahu mama papanya harus berhemat, masih banyak keperluan lain yang lebih penting.” Begitu jawabku karena saya pikir dia belum tentu mengerti jika saya beri penjelasan yang sebenarnya. Mungkin saya salah ya? Harusnya saya beritahu saja kenapa, karena bisa jadi akan berguna.
Hafizh (dan adik-adiknya kemudian) juga pernah, sering malah, minta sesuatu yang saya tidak setuju memenuhinya karena alasan tertentu. Saya akan konsisten menolak, apapun yang dia lakukan. Nangis? Ya saya dengarkan tangisannya, dipeluk, saya bilang saya sangat sayang sama dia, tapi tetap TIDAK! Nangis di depan orang lain berharap saya kasih karena saya malu?
“Cinta mama, mama tidak malu kamu nangis di depan orang lain. Mama akan jauh lebih malu kalau mama salah didik dan anak mama nanti jadi orang yang nggak bagus.” Itu jawaban saya atas trik dia.
Tapi, saat tertentu, kalau memang saya mau ngasih, nggak usah nunggu dia nangis, saya akan langsung kasih. Kalau bisa justru saat dia manis tingkah lakunya. Alhamdulillah, sampai sekarang, mereka tahu, tidak akan berhasil jurus-jurus jelek dipakai untuk “menaklukkan” mama tercinta. Mereka juga tahu, kalau memang itu baik dan mereka perlukan, saya akan belikan, bahkan tanpa mereka minta. Jadi, buat apa buang-buang energi untuk nangis? Berguling-guling?
Sering saya melihat sendiri bagaimana seorang anak minta dibelikan jajanan tersebut kepada orangtuanya, biasanya ibunya. Berbagai macam cara anak-anak itu merayu. Semakin sulit ibunya mengabulkan keinginan mereka, semakin heboh juga mereka merajuk. Bahkan ada yang sampai menagis meraung-raung dan berguling-guling. Ternyata mereka berhasil mendapatkan apa yang mereka mau.
Anak-anak itu hebat, cerdas, keras pendiriannya, atau ibunya yang gampang menyerah karena malu anaknya bertingkah seperti itu? Mungkin semuanya benar ya, anak-anak memang negosiator ulung!
“Kok Hafizh nggak pernah minta jajan ya Bu? Apalagi sampai nagis-nangis seperti anak lain? Padahal kan tiap hari dia keluar rumah dan melihat toko saya?” Pemilik toko pernah bertanya heran kepada saya.
“Mungkin dia tahu mama papanya harus berhemat, masih banyak keperluan lain yang lebih penting.” Begitu jawabku karena saya pikir dia belum tentu mengerti jika saya beri penjelasan yang sebenarnya. Mungkin saya salah ya? Harusnya saya beritahu saja kenapa, karena bisa jadi akan berguna.
Hafizh (dan adik-adiknya kemudian) juga pernah, sering malah, minta sesuatu yang saya tidak setuju memenuhinya karena alasan tertentu. Saya akan konsisten menolak, apapun yang dia lakukan. Nangis? Ya saya dengarkan tangisannya, dipeluk, saya bilang saya sangat sayang sama dia, tapi tetap TIDAK! Nangis di depan orang lain berharap saya kasih karena saya malu?
“Cinta mama, mama tidak malu kamu nangis di depan orang lain. Mama akan jauh lebih malu kalau mama salah didik dan anak mama nanti jadi orang yang nggak bagus.” Itu jawaban saya atas trik dia.
Tapi, saat tertentu, kalau memang saya mau ngasih, nggak usah nunggu dia nangis, saya akan langsung kasih. Kalau bisa justru saat dia manis tingkah lakunya. Alhamdulillah, sampai sekarang, mereka tahu, tidak akan berhasil jurus-jurus jelek dipakai untuk “menaklukkan” mama tercinta. Mereka juga tahu, kalau memang itu baik dan mereka perlukan, saya akan belikan, bahkan tanpa mereka minta. Jadi, buat apa buang-buang energi untuk nangis? Berguling-guling?
Minggu, 21 Oktober 2007
ANAK HEBAT 3
Kembali saya mendapatkan amanah 1 berlian lagi. Kembali saya mengurus bayi dengan segala kerepotan dan kebahagiaan memperhatikan tingkah polah kemajuan kemampuannya. Saya berharap dan berusaha bisa lebih baik berbekal pengalaman dan pembelajaran mengurus kakak-kakaknya dulu.
Seperti juga saat dulu mengurus kakak-kakaknya, tiap detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, sangat berarti dan serasa tak ingin saya melewatkan moment-moment berharga dengan mereka. Memang saat mereka bayi, waktu yang berlalu sangat berharga dan sayang untuk dilewatkan. Pertambahan kemampuan bisa kapan saja terjadi. Bahaya juga bisa kapan saja mengancam, dengan efek yang bisa disandang anak seumur hidup.
Iya, saat saya mau mandi bayi saya belum bisa duduk. Namun, keluar dari kamar mandi bayi mungil saya sudah menunggu dengan posisi duduk di atas tempat tidur menghadap pintu kamar mandi dan senyum cantik mengembang di bibir mungilnya. Seolah dia mau menyambut saya dan memamerkan kemampuan barunya “Mama, lihat! Si cantik sudah bisa duduk.” Tentu saja saya kaget, senang, dan tergopoh-gopoh dalam syukur karena dia tidak jatuh dari tempat tidurnya. Sambil mencium memberi selamat atas kemampuan barunya, saya berfikir untuk melakukan tindakan pengamanan. Tempat tidur dibongkar atau pagar box ditinggikan? Karena jatuh bisa sangat membahayakan dan efeknya terbawa sampai dewasa apabila jatuhnya fatal. (anak bisa cacat!)
Kita tidak tahu kapan bayi bisa tengkurap, duduk, merangkak, bicara, jalan, dll. Tiap bayi akan berbeda kapan mereka mencapai kemampuan tertentu. Dan biasanya orangtua tidak terlalu mempermasalahkan kapan bayinya bisa ini dan itu selama masih dalam kewajaran. Orangtuapun biasanya waspada akan bahaya yang mungkin mengancam bayinya dan sudah mengantisipasi dengan berbagai cara.
Seharusnya, orangtua juga memahami bahwa setelah mereka lebih besar juga akan berbeda-beda dalam peningkatan kemampuan mereka. Kapan mereka bisa membaca, kapan bisa matematika, kapan bisa bahasa lain selain bahasa ibu, termasuk seberapa besar kemampuan mereka memahami setiap bidang. Jangan berharap anak kita “super kid”, “super hebat”, semua hal mumpuni, dan kita orangtuanya bisa bangga, sombong, ngetop, dll. Nah, demikian juga bahaya yang mengancam mereka harus kita antisipasi karena bisa berakibat hingga mereka dewasa. Bahayanya tidak hanya mengancam fisik yang bisa mengakibatkan cacat fisik, tetapi yang mengancam akhlak dan mengakibatkan cacat rasa dan akhlak jauuuuh lebih berbahaya. Akibatnya akan terbawa sampai mati, sampai di hari pembalasan akan diminta pertanggung jawaban kita.
Oleh karena itu Bapak dan Ibu yang baik, marilah kita menyiapkan anak-anak kita masing-masing namun jangan “memaksa” agar potensi mereka tergali dan terasah secara optimal sesuai kemampuan mereka. Disamping itu, yang tidak kalah penting, kita juga harus menjaga mereka dari bahaya agar tidak menjadi “cacat fisik”, dan jauuuuh lebih penting, kita harus menjaga mereka dari bahaya “cacat rasa” apalagi “cacat akhlak”. Naudzubillah.
Seperti juga saat dulu mengurus kakak-kakaknya, tiap detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, sangat berarti dan serasa tak ingin saya melewatkan moment-moment berharga dengan mereka. Memang saat mereka bayi, waktu yang berlalu sangat berharga dan sayang untuk dilewatkan. Pertambahan kemampuan bisa kapan saja terjadi. Bahaya juga bisa kapan saja mengancam, dengan efek yang bisa disandang anak seumur hidup.
Iya, saat saya mau mandi bayi saya belum bisa duduk. Namun, keluar dari kamar mandi bayi mungil saya sudah menunggu dengan posisi duduk di atas tempat tidur menghadap pintu kamar mandi dan senyum cantik mengembang di bibir mungilnya. Seolah dia mau menyambut saya dan memamerkan kemampuan barunya “Mama, lihat! Si cantik sudah bisa duduk.” Tentu saja saya kaget, senang, dan tergopoh-gopoh dalam syukur karena dia tidak jatuh dari tempat tidurnya. Sambil mencium memberi selamat atas kemampuan barunya, saya berfikir untuk melakukan tindakan pengamanan. Tempat tidur dibongkar atau pagar box ditinggikan? Karena jatuh bisa sangat membahayakan dan efeknya terbawa sampai dewasa apabila jatuhnya fatal. (anak bisa cacat!)
Kita tidak tahu kapan bayi bisa tengkurap, duduk, merangkak, bicara, jalan, dll. Tiap bayi akan berbeda kapan mereka mencapai kemampuan tertentu. Dan biasanya orangtua tidak terlalu mempermasalahkan kapan bayinya bisa ini dan itu selama masih dalam kewajaran. Orangtuapun biasanya waspada akan bahaya yang mungkin mengancam bayinya dan sudah mengantisipasi dengan berbagai cara.
Seharusnya, orangtua juga memahami bahwa setelah mereka lebih besar juga akan berbeda-beda dalam peningkatan kemampuan mereka. Kapan mereka bisa membaca, kapan bisa matematika, kapan bisa bahasa lain selain bahasa ibu, termasuk seberapa besar kemampuan mereka memahami setiap bidang. Jangan berharap anak kita “super kid”, “super hebat”, semua hal mumpuni, dan kita orangtuanya bisa bangga, sombong, ngetop, dll. Nah, demikian juga bahaya yang mengancam mereka harus kita antisipasi karena bisa berakibat hingga mereka dewasa. Bahayanya tidak hanya mengancam fisik yang bisa mengakibatkan cacat fisik, tetapi yang mengancam akhlak dan mengakibatkan cacat rasa dan akhlak jauuuuh lebih berbahaya. Akibatnya akan terbawa sampai mati, sampai di hari pembalasan akan diminta pertanggung jawaban kita.
Oleh karena itu Bapak dan Ibu yang baik, marilah kita menyiapkan anak-anak kita masing-masing namun jangan “memaksa” agar potensi mereka tergali dan terasah secara optimal sesuai kemampuan mereka. Disamping itu, yang tidak kalah penting, kita juga harus menjaga mereka dari bahaya agar tidak menjadi “cacat fisik”, dan jauuuuh lebih penting, kita harus menjaga mereka dari bahaya “cacat rasa” apalagi “cacat akhlak”. Naudzubillah.
Jumat, 19 Oktober 2007
RAMADHAN SEGERA BERAKHIR
Hari itu adalah hari terakhir puasa Ramadhan. Aku dan berlian-berlianku sedang bekerja bakti nyuci, nyapu, ngepel, siapin barang untuk mudik, dan masak tentu. Kami biasa masak ketupat ketan special yang gurih bersama. Ya, tentu special karena hasil karya kami bersama.
Sambil memasukkan beras ketan ke cangkang ketupat, kuajak berlian2ku diskusi. (biasa, memanfaatkan moment untuk belajar bersama).
“Menurut kalian, dengan berakhirnya puasa Ramadhan kita mesti seneng karena menang, atau gimana?” Aku memancing.
“Orang sih pada seneng Ma, katanya mereka merayakan hari kemenangan.”
“Emang apa mereka bener-bener menang sih?”
“Apa mereka kemaren puasanya betul-betul?”
“Padahal mereka mungkin seneng karena besok nggak puasa lagi lho Mas.”
“Adek aja sering lihat orang pada makan siang-siang di bulan Ramadhan.”
“Bener juga adek, Ma. Orang pada seneng besok boleh makan siang-siang.”
Itulah celoteh mereka yang sudah pasti jujur tentang masalah yang aku lempar.
“Iya, Mama harap, kalian tidak seperti itu. Harusnya berlalunya Ramadhan kita sedih. Coba bayangkan, bulan “bonus” dimana Allah janjikan segala hadiah besar dan indah akan berlalu. Padahal hari-hari kemarin selama sebulan itu kita belum tentu memanfaatkan bonus itu, besok sudah tutup. Kayak kalo kita main game, saat babak bonus kan keren tuh. Nah gimana rasanya babak bonusnya berakhir. Sedih nggak?”
“Iya Ma, adek sedih deh. Kemarin adek kan pernah bikin Mama sedih, Mas kesel, trus pas sakit juga pernah sahurnya sudah jam 7 pagi. Dapat bonus nggak ya?” Si ganteng terkecilku menjawab sambil kucek-kucek matanya. ( dia memang sensitif perasaannya)
“Hayoo, adek nangis ya?”
“Nggak kok, ini kelilipan.”
Kembali mereka saling lempar komentar sambil bercanda.
Hmm.....aku yang langsung pura-pura ada perlu ke kamar padahal mau nangis, menyesal banyak hal yang masih salah, namun bahagia karena berlian2ku ”hebat”, dan perasaan lain yang aku juga tidak tahu kenapa nangis. Mungkin memang “gembeng” ya?!!
Sambil memasukkan beras ketan ke cangkang ketupat, kuajak berlian2ku diskusi. (biasa, memanfaatkan moment untuk belajar bersama).
“Menurut kalian, dengan berakhirnya puasa Ramadhan kita mesti seneng karena menang, atau gimana?” Aku memancing.
“Orang sih pada seneng Ma, katanya mereka merayakan hari kemenangan.”
“Emang apa mereka bener-bener menang sih?”
“Apa mereka kemaren puasanya betul-betul?”
“Padahal mereka mungkin seneng karena besok nggak puasa lagi lho Mas.”
“Adek aja sering lihat orang pada makan siang-siang di bulan Ramadhan.”
“Bener juga adek, Ma. Orang pada seneng besok boleh makan siang-siang.”
Itulah celoteh mereka yang sudah pasti jujur tentang masalah yang aku lempar.
“Iya, Mama harap, kalian tidak seperti itu. Harusnya berlalunya Ramadhan kita sedih. Coba bayangkan, bulan “bonus” dimana Allah janjikan segala hadiah besar dan indah akan berlalu. Padahal hari-hari kemarin selama sebulan itu kita belum tentu memanfaatkan bonus itu, besok sudah tutup. Kayak kalo kita main game, saat babak bonus kan keren tuh. Nah gimana rasanya babak bonusnya berakhir. Sedih nggak?”
“Iya Ma, adek sedih deh. Kemarin adek kan pernah bikin Mama sedih, Mas kesel, trus pas sakit juga pernah sahurnya sudah jam 7 pagi. Dapat bonus nggak ya?” Si ganteng terkecilku menjawab sambil kucek-kucek matanya. ( dia memang sensitif perasaannya)
“Hayoo, adek nangis ya?”
“Nggak kok, ini kelilipan.”
Kembali mereka saling lempar komentar sambil bercanda.
Hmm.....aku yang langsung pura-pura ada perlu ke kamar padahal mau nangis, menyesal banyak hal yang masih salah, namun bahagia karena berlian2ku ”hebat”, dan perasaan lain yang aku juga tidak tahu kenapa nangis. Mungkin memang “gembeng” ya?!!
Kamis, 11 Oktober 2007
Shalat Taraweh 1
Kejadian ini saat anak ketigaku umur 2 tahun.
Pada saat itu bulan Ramadhan. Lha iyalah, kan shalat taraweh?! Seperti biasa, 2 anakku yang besar umur 9 dan 6 tahun, selalu pergi ke masjid untuk shalat taraweh, dari Isya’ sampai selesai. Di usia mereka itu, hafalan surat Al Qur'an mereka lumayan banyak. Entah bagaimana, mereka selalu hafal dengan surat-surat yang aku baca dengan terbata-bata dari Al Qur'an. Aku memang baru belajar baca Al Qur'an setelah dewasa, dan karena malu, maka aku belajar sendiri.
Nah, si kecil yang usianya 2 tahun, nggak mau ketinggalan dong! Pergilah dia sama mas-masnya. Tapi, sewaktu-waktu dia akan pulang ke rumah. Iya memang sewaktu waktu, seenaknya dia, nggak peduli harus pas jeda shalat. Terkadang baru satu dua rakaat, dia menghentikan shalatnya dan akan pulang kalau ingin. Trus, balik ke masjid lagi kapan dia mau. Ya sudah, mamanya nggak ikut shalat di masjid. Aku harus standby. Kalau tidak, mas masnya tidak akan tenang shalat karena mikirin adiknya. Mereka memang sayang dan care sama adiknya. Jadi ya aku shalat tarawehnya di rumah saja saat mereka sudah pulang dari masjid atau sebelum sahur.
“Mama baca apa kalau shalat taraweh?” anak sulungku bertanya penasaran.
“Ya baca bacaan shalat dong sayang.”
“Iya, aku tahu, tapi surat apa yang mama baca sesudah Al Fatihah?”
“Lho, memang Mas nggak tahu baca apa? Bukannya sayang mama sudah pinter shalat? Ya surat surat di dalam Al Qur'an, sayang.” aku masih tidak mengerti arah pertanyaannya.
“Maksud Mas, shalat taraweh kan rakaatnya banyak. Padahal hafalan surat mama kan sedikit. Mama baca suratnya apa nggak bingung? Atau mama ulang-ulang suratnya?”
Gubraaaaggggg?????????????!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Dewi
Pada saat itu bulan Ramadhan. Lha iyalah, kan shalat taraweh?! Seperti biasa, 2 anakku yang besar umur 9 dan 6 tahun, selalu pergi ke masjid untuk shalat taraweh, dari Isya’ sampai selesai. Di usia mereka itu, hafalan surat Al Qur'an mereka lumayan banyak. Entah bagaimana, mereka selalu hafal dengan surat-surat yang aku baca dengan terbata-bata dari Al Qur'an. Aku memang baru belajar baca Al Qur'an setelah dewasa, dan karena malu, maka aku belajar sendiri.
Nah, si kecil yang usianya 2 tahun, nggak mau ketinggalan dong! Pergilah dia sama mas-masnya. Tapi, sewaktu-waktu dia akan pulang ke rumah. Iya memang sewaktu waktu, seenaknya dia, nggak peduli harus pas jeda shalat. Terkadang baru satu dua rakaat, dia menghentikan shalatnya dan akan pulang kalau ingin. Trus, balik ke masjid lagi kapan dia mau. Ya sudah, mamanya nggak ikut shalat di masjid. Aku harus standby. Kalau tidak, mas masnya tidak akan tenang shalat karena mikirin adiknya. Mereka memang sayang dan care sama adiknya. Jadi ya aku shalat tarawehnya di rumah saja saat mereka sudah pulang dari masjid atau sebelum sahur.
“Mama baca apa kalau shalat taraweh?” anak sulungku bertanya penasaran.
“Ya baca bacaan shalat dong sayang.”
“Iya, aku tahu, tapi surat apa yang mama baca sesudah Al Fatihah?”
“Lho, memang Mas nggak tahu baca apa? Bukannya sayang mama sudah pinter shalat? Ya surat surat di dalam Al Qur'an, sayang.” aku masih tidak mengerti arah pertanyaannya.
“Maksud Mas, shalat taraweh kan rakaatnya banyak. Padahal hafalan surat mama kan sedikit. Mama baca suratnya apa nggak bingung? Atau mama ulang-ulang suratnya?”
Gubraaaaggggg?????????????!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Rabu, 10 Oktober 2007
BAJU LEBARAN
Masya Allah, saya tersentak sadar saat merapikan pakaian anak-anak. Ternyata baju mereka yang pantas untuk Shalat Iedul Fitri sudah tidak ada yang muat. Lha wong mereka sudah tinggi tinggi, cingkrang semua. Karena memang tidak biasa beli baju baru kalau tidak perlu, makanya saya sampai lupa. Bukan pelit, tapi saya belajar membeli karena perlu, bukan karena ingin. Hati-hati saja, dosa mungkin sudah banyak, mudah-mudahan saat ditanya dari mana asal dan bagaimana membelanjakan harta saya dan keluarga bisa menjawab dengan jawaban yang menyenangkan pemilik harta.
Karena sudah masuk minggu kedua Ramadhan, sudah hari pegawai gajian, maka hari Sabtu Ahad, yang namanya tempat perbelanjaan penuuh sekali. Masa, baru mau parkir saja setengah mati. Ya sudah keluar lagi saja. Alamat saya harus cari pada hari dan jam kerja nih. Berarti, saya mesti perginya berdua princess. Mudah-mudahan, dia nggak rewel duduk di sebelah dan saya nyetir.
Alhamdulillah, dengan hunting yang kilat, dapat 4 baju koko dan 1 gaun mungil, yang sedikit disulap agar pas dengan ukuran mereka (yang laki-laki kecil agak susah ngepasnya kalau tidak diajak).
Selesai puasa di bulan Ramadhan, maka Hari Raya Iedul Fitri (lebaran) akan datang. Hampir semua orang menyambut dengan gembira. Baju baru? Tidak hanya anak-anak yang mengharapkannya memakai di hari yang fitri ini.
Anak-anak saya memang tidak peduli dengan baju lebaran. Bukan tidak mau sih, kalau ada alhamdulillah, tidak ada ya tidak masalah. Benar-benar tidak masalah lho! Mereka tetep PD, nggak malu, semangat berangkat shalat, dan silaturrahim.Yang penting ada yang pantas dipakai shalat Ied. Ya, mereka tahu kalau shalat harus memakai pakaian bersih, rapi, dan yang paling bagus yang dimiliki. Tidak harus baru! Mereka lebih menikmati puasa, shalat tarawih, libur, main sama adik dan masnya, masak sama mama.
Karena sudah masuk minggu kedua Ramadhan, sudah hari pegawai gajian, maka hari Sabtu Ahad, yang namanya tempat perbelanjaan penuuh sekali. Masa, baru mau parkir saja setengah mati. Ya sudah keluar lagi saja. Alamat saya harus cari pada hari dan jam kerja nih. Berarti, saya mesti perginya berdua princess. Mudah-mudahan, dia nggak rewel duduk di sebelah dan saya nyetir.
Alhamdulillah, dengan hunting yang kilat, dapat 4 baju koko dan 1 gaun mungil, yang sedikit disulap agar pas dengan ukuran mereka (yang laki-laki kecil agak susah ngepasnya kalau tidak diajak).
Selesai puasa di bulan Ramadhan, maka Hari Raya Iedul Fitri (lebaran) akan datang. Hampir semua orang menyambut dengan gembira. Baju baru? Tidak hanya anak-anak yang mengharapkannya memakai di hari yang fitri ini.
Anak-anak saya memang tidak peduli dengan baju lebaran. Bukan tidak mau sih, kalau ada alhamdulillah, tidak ada ya tidak masalah. Benar-benar tidak masalah lho! Mereka tetep PD, nggak malu, semangat berangkat shalat, dan silaturrahim.Yang penting ada yang pantas dipakai shalat Ied. Ya, mereka tahu kalau shalat harus memakai pakaian bersih, rapi, dan yang paling bagus yang dimiliki. Tidak harus baru! Mereka lebih menikmati puasa, shalat tarawih, libur, main sama adik dan masnya, masak sama mama.
Selasa, 09 Oktober 2007
Mama itu akuntan, chef, dokter, atau apa sih.....????
Anak-anakku tahu bahwa latar belakang pendidikanku adalah akuntansi. Jadi, mereka faham betul kalau mamanya seorang akuntan. Meski aku tidak lagi “ngantor”, aku selalu kreatif mencari penghasilan tanpa harus meninggalkan mereka. Mereka bilang, Mama itu seorang “akuntan yang cukong”. He he he .................
Sejak kecil, aku tidak bisa masak. Ngaku ya! Memang, orangtuaku selalu mempunyai banyak asisten sehingga aku menjadi tidak kebagian porsi memasak. Nggak ngapa-ngapain tepatnya! Setelah menikah, kelabakan donk tidak ada yang masakin? Eit, tunggu dulu. Masa aku gitu lho......... bisa mempelajari banyak hal dengan baik, hebat, jawara, Cuma masak saja tidak bisa? Hmmm....... ya nggak mungkinlah!! Itulah aku, ke PD an. Apa malahan narcist ya? He he he........... Padahal, agak bingung juga sih awalnya!
Nah, makanya aku tidak mencari suami yang pengennya beristrikan tukang masak. Alesan ya? Sejak ada anak mertua yang menemani aku makan, ya aku sih maunya masak sendiri dengan bumbu coba-coba, logika, dan tentu saja bumbu yang paling mudah dan selalu bisa kita sediakan kapan saja.............CINTA. Gini lho, kalau rasa soup itu kan gurih agak anget, ya kira-kira bumbunya bla bla bla, gitu. Dengan kreatifitas dan inovasi sendiri tentu saja. Saat suami makan, aku hanya memperhatikan wajah ganteng suamiku dan berdo’a masakanku cocok di lidahnya. Ha ha ha.................
Demikian juga saat hadir berlian-berlianku satu persatu. Disamping masalah bumbu, aku juga berinovasi tentang jenis masakan. Walah, sok amat! Padahal karena nggak tahu jenis-jenis masakan tuh! Biarin!! Yang penting aku masak untuk suami tercinta dan buah hati kami, dan mereka makan dengan lahap, jadi sehat. Dan, anak-anak selalu terlibat dalam proses masak-memasak. (sudah baca ceritanya kan?)
Aku selalu menghadirkan masakan yang “beda” hasil kreatifitas dan inovasi Chef Dewi, ditambah lagi ide anak-anak. Mereka selalu bilang masakanku itu enak, lain dari yang lain. Top margotop! Tanpa MSG tentu!! Mereka bilang mama itu chef ya?!
He he he he, jangan protes donk!!!!
Saat mereka sakit, aku tidak langsung memberi obat kimia atau membawa mereka ke dokter karena tidak ingin tubuh mereka masuk banyak obat kimia (apa ngirit?). Aku lebih memanfaatkan pengalaman dulu waktu kecil kalau sakit Bapak Ibu memberikan obat tradisional dari tanaman di kebun kami. Aku juga pernah belajar dari dokter naturopati dan ahli jamu. Aku hanya akan membawa mereka ke dokter kalau sakitnya memang sudah perlu dokter. Adik dan kakakku beberapa kan dokter, jadi aku banyak belajar juga gejala klinis yang harus dicermati. Mama dokter ya??
Saat bayi, mereka aku urut sendiri, karena aku tidak tega melihat bayi yang nangis “kejer” karena diurut oleh mbok urut. Makanya aku belajar urut bayi langsung ke bu Woro, ahli pijatnya Martha Tilaar. Nah, acara urutpun menjadi ajang bercengkerama dengan baby. Dari cekikikan karena geli, makin lama pules karena keenakan. Tidak ada acara pijat bayi dengan tangisan melengking di rumahku. Pijit menjadi salah satu acara favorit bayiku.
Tapi, setelah mereka besar, waaah............. aku nggak kuat lagi, lha mereka lebih besar badannya daripada aku yang mungil ini?! Mereka akan pijit Papanya, tapi habis itu minta gantian. (Sebenarnya mereka memang suka minta pijit papanya, tapi biar agak sopan ya mereka akan nawarin mijit papanya duluan. He he he nggak kok, mereka sayang sama papanya, jadi kalau lihat papanya capek ya dipijitin)). Mama dukun pijit bayi??!!
ABG ku, sekarang mulai jerawatan. Karena hormon, produksi minyak, dan kotoran di jalanan saat dia pulang sekolah (naik angkot). Biasa, kalau sudah manja, dia akan minta aku melakukan facial. Untuk itu aku juga sudah belajar ke Martha Tilaar langsung tentang perawatan seluruh tubauh. Terlelaplah dia dengan muka bersih dan relax diurut mamanya dengan cinta. Biasanya juga, anak mertua akan ikutan minta facial (sebelum punya anak juga langganan sih). Berdua mereka lelap. Lha aku ngibrit gantian ke spa. Nggak mau kalah ya?? Kata mereka mama ahli kecantikan dan perawatan kulit.
Alhamdulillah juga, sampai sekarang aku masih bisa membantu anakku menyelesaikan soal-soal (terutama matematika, fisika, kimia) yang mereka rasa sulit. Anak yang SMA pun Alhamdulillah aku masih bisa bantu. Ngirit ya, nggak perlu les atau bimbingan belajar. Mereka bilang, mama guru ya??
Sering, teman atau kenalan bertanya (diskusi) tentang masalah anaknya; apakah itu susah makan, jajanan, jahat sama adiknya, dsb. Mungkin karena anakku cukup banyak, mereka pikir aku punya pengalaman lebih. Disamping aku memang suka belajar, baca buku, diskusi, makanya treatmentku ke anak lebih bervariasi dan "kaya". Ya, semampunya aku bantu.
Tahu nggak? Yang konsultasi ke aku tuh banyak lho! Mulai dari masalah keuangan, pajak, akuntansi, keluarga, anak, sampai.........masalah percintaan!! Trus....... yang konsultasi juga bukan cuma orang Indonesia! Hm........ banyak juga dari negara lain bahkan yang jauh............ dari Eropa sana! Dan itu orang bule, bukan adikku! Bule yang awalnya nggak aku kenal sama sekali!! Sekarang.......... bagai saudara dia curhat! Give me advise please................ gitcu!!! He he he........ sok banget nggak sih aku ini????!! Mama psikolog apa konsultan sih??
Aku menceritakan ini bukan nyombong, sama sekali tidak!! Aku hanya ingin berbagi, bahwa kita bisa berusaha, meski sebenarnya bukan bidang keahlian kita, alias sebenarnya kita tidak bisa sama sekali. Yang jelas, kita bisa dan wajib berusaha merawat mereka secara profesional.
Aku bukan serba bisa! Tapi saya belajar, mencari tahu, usaha, dan kreatif “ngakali” kalau sebenarnya tidak bisa, menjadi seakan-akan “ahli”. Dan, aku melakukan semuanya itu dengan CINTA. Makanya jadi lebih mudah karena niat dan ikhlas. Amanah Allah harus dirawat dengan cinta kalau mau dicintai Allah. Setuju donk!! Dan, anak-anak ku memang sering menjuluki aku dengan beraneka profesi seperti diatas. Bukankah itu saja sudah sangat membahagiakan?
Memang profesi IBU perlu banyaaak sekali keahlian. Doktor di berbagai bidang!!!! Makanya, sebisa mungkin saya belajar. Bisa lewat jalur formal (kalau ada waktu dan uang), baca buku, nonton TV, dengar radio, baca koran, bertanya, melihat, belajar dari pengalaman orang lain, dsb. Pokoke belajar. Dan sebagai ibu, belajar bukan untuk mencari gelar atau biar naik pangkat dan jabatan lho!!
Wuih, susah ya jadi ibu? Memang!! Salah sekali kalau ada yang bilang; “Sayang sekolah tinggi-tinggi kok CUMA jadi ibu rumah tangga, kan ilmunya mubadzir tidak diterapkan.” Lho, kok jadi curhat? He he he, memang dulu banyak yang mengomentari aku begitu. Tapi ya nggak papa, mereka tidak tahu.
Di mana-mana.............. yang waras ngalah! Hua....ha.............ha........... peace!!!
Sejak kecil, aku tidak bisa masak. Ngaku ya! Memang, orangtuaku selalu mempunyai banyak asisten sehingga aku menjadi tidak kebagian porsi memasak. Nggak ngapa-ngapain tepatnya! Setelah menikah, kelabakan donk tidak ada yang masakin? Eit, tunggu dulu. Masa aku gitu lho......... bisa mempelajari banyak hal dengan baik, hebat, jawara, Cuma masak saja tidak bisa? Hmmm....... ya nggak mungkinlah!! Itulah aku, ke PD an. Apa malahan narcist ya? He he he........... Padahal, agak bingung juga sih awalnya!
Nah, makanya aku tidak mencari suami yang pengennya beristrikan tukang masak. Alesan ya? Sejak ada anak mertua yang menemani aku makan, ya aku sih maunya masak sendiri dengan bumbu coba-coba, logika, dan tentu saja bumbu yang paling mudah dan selalu bisa kita sediakan kapan saja.............CINTA. Gini lho, kalau rasa soup itu kan gurih agak anget, ya kira-kira bumbunya bla bla bla, gitu. Dengan kreatifitas dan inovasi sendiri tentu saja. Saat suami makan, aku hanya memperhatikan wajah ganteng suamiku dan berdo’a masakanku cocok di lidahnya. Ha ha ha.................
Demikian juga saat hadir berlian-berlianku satu persatu. Disamping masalah bumbu, aku juga berinovasi tentang jenis masakan. Walah, sok amat! Padahal karena nggak tahu jenis-jenis masakan tuh! Biarin!! Yang penting aku masak untuk suami tercinta dan buah hati kami, dan mereka makan dengan lahap, jadi sehat. Dan, anak-anak selalu terlibat dalam proses masak-memasak. (sudah baca ceritanya kan?)
Aku selalu menghadirkan masakan yang “beda” hasil kreatifitas dan inovasi Chef Dewi, ditambah lagi ide anak-anak. Mereka selalu bilang masakanku itu enak, lain dari yang lain. Top margotop! Tanpa MSG tentu!! Mereka bilang mama itu chef ya?!
He he he he, jangan protes donk!!!!
Saat mereka sakit, aku tidak langsung memberi obat kimia atau membawa mereka ke dokter karena tidak ingin tubuh mereka masuk banyak obat kimia (apa ngirit?). Aku lebih memanfaatkan pengalaman dulu waktu kecil kalau sakit Bapak Ibu memberikan obat tradisional dari tanaman di kebun kami. Aku juga pernah belajar dari dokter naturopati dan ahli jamu. Aku hanya akan membawa mereka ke dokter kalau sakitnya memang sudah perlu dokter. Adik dan kakakku beberapa kan dokter, jadi aku banyak belajar juga gejala klinis yang harus dicermati. Mama dokter ya??
Saat bayi, mereka aku urut sendiri, karena aku tidak tega melihat bayi yang nangis “kejer” karena diurut oleh mbok urut. Makanya aku belajar urut bayi langsung ke bu Woro, ahli pijatnya Martha Tilaar. Nah, acara urutpun menjadi ajang bercengkerama dengan baby. Dari cekikikan karena geli, makin lama pules karena keenakan. Tidak ada acara pijat bayi dengan tangisan melengking di rumahku. Pijit menjadi salah satu acara favorit bayiku.
Tapi, setelah mereka besar, waaah............. aku nggak kuat lagi, lha mereka lebih besar badannya daripada aku yang mungil ini?! Mereka akan pijit Papanya, tapi habis itu minta gantian. (Sebenarnya mereka memang suka minta pijit papanya, tapi biar agak sopan ya mereka akan nawarin mijit papanya duluan. He he he nggak kok, mereka sayang sama papanya, jadi kalau lihat papanya capek ya dipijitin)). Mama dukun pijit bayi??!!
ABG ku, sekarang mulai jerawatan. Karena hormon, produksi minyak, dan kotoran di jalanan saat dia pulang sekolah (naik angkot). Biasa, kalau sudah manja, dia akan minta aku melakukan facial. Untuk itu aku juga sudah belajar ke Martha Tilaar langsung tentang perawatan seluruh tubauh. Terlelaplah dia dengan muka bersih dan relax diurut mamanya dengan cinta. Biasanya juga, anak mertua akan ikutan minta facial (sebelum punya anak juga langganan sih). Berdua mereka lelap. Lha aku ngibrit gantian ke spa. Nggak mau kalah ya?? Kata mereka mama ahli kecantikan dan perawatan kulit.
Alhamdulillah juga, sampai sekarang aku masih bisa membantu anakku menyelesaikan soal-soal (terutama matematika, fisika, kimia) yang mereka rasa sulit. Anak yang SMA pun Alhamdulillah aku masih bisa bantu. Ngirit ya, nggak perlu les atau bimbingan belajar. Mereka bilang, mama guru ya??
Sering, teman atau kenalan bertanya (diskusi) tentang masalah anaknya; apakah itu susah makan, jajanan, jahat sama adiknya, dsb. Mungkin karena anakku cukup banyak, mereka pikir aku punya pengalaman lebih. Disamping aku memang suka belajar, baca buku, diskusi, makanya treatmentku ke anak lebih bervariasi dan "kaya". Ya, semampunya aku bantu.
Tahu nggak? Yang konsultasi ke aku tuh banyak lho! Mulai dari masalah keuangan, pajak, akuntansi, keluarga, anak, sampai.........masalah percintaan!! Trus....... yang konsultasi juga bukan cuma orang Indonesia! Hm........ banyak juga dari negara lain bahkan yang jauh............ dari Eropa sana! Dan itu orang bule, bukan adikku! Bule yang awalnya nggak aku kenal sama sekali!! Sekarang.......... bagai saudara dia curhat! Give me advise please................ gitcu!!! He he he........ sok banget nggak sih aku ini????!! Mama psikolog apa konsultan sih??
Aku menceritakan ini bukan nyombong, sama sekali tidak!! Aku hanya ingin berbagi, bahwa kita bisa berusaha, meski sebenarnya bukan bidang keahlian kita, alias sebenarnya kita tidak bisa sama sekali. Yang jelas, kita bisa dan wajib berusaha merawat mereka secara profesional.
Aku bukan serba bisa! Tapi saya belajar, mencari tahu, usaha, dan kreatif “ngakali” kalau sebenarnya tidak bisa, menjadi seakan-akan “ahli”. Dan, aku melakukan semuanya itu dengan CINTA. Makanya jadi lebih mudah karena niat dan ikhlas. Amanah Allah harus dirawat dengan cinta kalau mau dicintai Allah. Setuju donk!! Dan, anak-anak ku memang sering menjuluki aku dengan beraneka profesi seperti diatas. Bukankah itu saja sudah sangat membahagiakan?
Memang profesi IBU perlu banyaaak sekali keahlian. Doktor di berbagai bidang!!!! Makanya, sebisa mungkin saya belajar. Bisa lewat jalur formal (kalau ada waktu dan uang), baca buku, nonton TV, dengar radio, baca koran, bertanya, melihat, belajar dari pengalaman orang lain, dsb. Pokoke belajar. Dan sebagai ibu, belajar bukan untuk mencari gelar atau biar naik pangkat dan jabatan lho!!
Wuih, susah ya jadi ibu? Memang!! Salah sekali kalau ada yang bilang; “Sayang sekolah tinggi-tinggi kok CUMA jadi ibu rumah tangga, kan ilmunya mubadzir tidak diterapkan.” Lho, kok jadi curhat? He he he, memang dulu banyak yang mengomentari aku begitu. Tapi ya nggak papa, mereka tidak tahu.
Di mana-mana.............. yang waras ngalah! Hua....ha.............ha........... peace!!!
AL QUR"AN SOBEK ?????????
“Dek, aku bacain Al Qur’an ya.”
“Eee......, jangan ditarik dek, itu Al Qur’an.”
Breet, ternyata sudah keburu ditarik sama tangan mungil adiknya, dan.............terlepaslah cover Al Qur’an itu.
“Waduh Mama!!! Al Qur;an nya robek! Adek berdosa nggak Ma kalau ngrobek Al Qur’an?”
“Tapi kan adek nggak tahu Ma, dia masih bayi. Lagian memang Al Qur’an ini sudah mau rusak. Wajar aja gampang robek.”
Ya, si Mas yang sangat sayang adiknya sangat khawatir kalau adiknya berdosa dan sibuk membela adiknya. Dia sama sekali tidak marah karena Al Qur’annya robek.
“Ma, sebenarnya kalau Al Qur’an robek boleh nggak? Dosa nggak kita?”
Wuih, pernyataan dan pertanyaannya yang bertubi-tubi dan memang di luar dugaanku sungguh membuat aku bingung. Lha aku sendiri banyak tidak banyak tahu hukum fiqh.
“Menurut Mama sih nggak apa-apa sayang, kan Al Qur’an itu ditulis dalam kertas (buku). Kalau sering digunakan ya gampang rusak. Allah pasti lebih suka Al Qur’an robek karena anak shaleh seperti Mas Rafi rajin membacakan buat adeknya daripada selalu baru dan rapi karena tidak pernah dibaca. Tapi cintaku, Mama akan cari tahu hukumnya ya. Mama minta maaf untuk hal ini belum paham. OK?!”
Jawaban itu rupanya cukup memuaskannya. Aku tidak tahu dia puas karena adeknya terlepas dari dosa atau karena aku akan segera memberitahukan yang benar. Lalu dia mulai membaca dengan khusyu’ dan hukum tajwid yang bagus untuk anak seusianya (8 tahun). Tidak lupa dia mengingatkan Papanya untuk memberitahukan yang benar jika ada yang salah. Ya, memang mereka sudah tahu kalau untuk membaca Al Qur’an, bahasa Arab, Papanya lebih pandai dibanding mamanya. Tapi, mas-masnya pasti akan mendapat peringkat lebih tinggi lagi. Ya, dia memang selalu mengidolakan masnya. Apalagi kadang saat dia membaca Al Qur’an, masnya mengoreksi tanpa melihat tulisannya karena sudah hafal. “Maaa, mas kok hebat, padahal yang aku baca Al Baqarah, tapi mas hafal!” begitulah kira-kira komentarnya. Tentu saja masnya senyum-senyum bangga.
Tanpa ada yang suruh, Rafi, 8 tahun, selalu baca Al Qur’an setiap hari. Dia sendiri yang menargetkan 20 ayat sehari. Kalau ayatnya panjang-panjang dia akan berdebat sendiri yang intinya dia hari itu tidak membaca 20 ayat, tetapi 15 atau 10 ayat.
Begitulah buah hatiku. Tingkahnya yang lucu, shaleh, pintar, menggemaskan. Yah, meski kadang keluar akal cerdiknya dalam mensiasati sesuatu untuk keuntungan pribadinya. Sangat wajar dan untuk masalah itupun harus belajar supaya berkembang ke arah yang bagus, bukan?
Belajar lagi saya sama malaikat kecil saya ini. Dia tidak peduli orang lain di rumah sedang ngapain, dia akan shalat ke masjid saat mendengar Iqamat (he he he memang dia masih santai saat mendengar adzan karena masjidnya dekat rumah) dan baca Al Qur’an setiap hari.
Yang jadi masalah disini adalah, aku memang tidak tahu hukum fiqh mengenai mushaf Al Qur’an. Bapak Ibu yang baik, bisa minta tolong diberitahukan kepada saya mengenai masalah ini? Sekalian dasar hukumnya dari mana, bunyinya bagaimana, pokoke lengkap deh. Maklum, saya sebagai mama biasanya juga ditanya terus sampai komplit.
Matur nuwun.
“Eee......, jangan ditarik dek, itu Al Qur’an.”
Breet, ternyata sudah keburu ditarik sama tangan mungil adiknya, dan.............terlepaslah cover Al Qur’an itu.
“Waduh Mama!!! Al Qur;an nya robek! Adek berdosa nggak Ma kalau ngrobek Al Qur’an?”
“Tapi kan adek nggak tahu Ma, dia masih bayi. Lagian memang Al Qur’an ini sudah mau rusak. Wajar aja gampang robek.”
Ya, si Mas yang sangat sayang adiknya sangat khawatir kalau adiknya berdosa dan sibuk membela adiknya. Dia sama sekali tidak marah karena Al Qur’annya robek.
“Ma, sebenarnya kalau Al Qur’an robek boleh nggak? Dosa nggak kita?”
Wuih, pernyataan dan pertanyaannya yang bertubi-tubi dan memang di luar dugaanku sungguh membuat aku bingung. Lha aku sendiri banyak tidak banyak tahu hukum fiqh.
“Menurut Mama sih nggak apa-apa sayang, kan Al Qur’an itu ditulis dalam kertas (buku). Kalau sering digunakan ya gampang rusak. Allah pasti lebih suka Al Qur’an robek karena anak shaleh seperti Mas Rafi rajin membacakan buat adeknya daripada selalu baru dan rapi karena tidak pernah dibaca. Tapi cintaku, Mama akan cari tahu hukumnya ya. Mama minta maaf untuk hal ini belum paham. OK?!”
Jawaban itu rupanya cukup memuaskannya. Aku tidak tahu dia puas karena adeknya terlepas dari dosa atau karena aku akan segera memberitahukan yang benar. Lalu dia mulai membaca dengan khusyu’ dan hukum tajwid yang bagus untuk anak seusianya (8 tahun). Tidak lupa dia mengingatkan Papanya untuk memberitahukan yang benar jika ada yang salah. Ya, memang mereka sudah tahu kalau untuk membaca Al Qur’an, bahasa Arab, Papanya lebih pandai dibanding mamanya. Tapi, mas-masnya pasti akan mendapat peringkat lebih tinggi lagi. Ya, dia memang selalu mengidolakan masnya. Apalagi kadang saat dia membaca Al Qur’an, masnya mengoreksi tanpa melihat tulisannya karena sudah hafal. “Maaa, mas kok hebat, padahal yang aku baca Al Baqarah, tapi mas hafal!” begitulah kira-kira komentarnya. Tentu saja masnya senyum-senyum bangga.
Tanpa ada yang suruh, Rafi, 8 tahun, selalu baca Al Qur’an setiap hari. Dia sendiri yang menargetkan 20 ayat sehari. Kalau ayatnya panjang-panjang dia akan berdebat sendiri yang intinya dia hari itu tidak membaca 20 ayat, tetapi 15 atau 10 ayat.
Begitulah buah hatiku. Tingkahnya yang lucu, shaleh, pintar, menggemaskan. Yah, meski kadang keluar akal cerdiknya dalam mensiasati sesuatu untuk keuntungan pribadinya. Sangat wajar dan untuk masalah itupun harus belajar supaya berkembang ke arah yang bagus, bukan?
Belajar lagi saya sama malaikat kecil saya ini. Dia tidak peduli orang lain di rumah sedang ngapain, dia akan shalat ke masjid saat mendengar Iqamat (he he he memang dia masih santai saat mendengar adzan karena masjidnya dekat rumah) dan baca Al Qur’an setiap hari.
Yang jadi masalah disini adalah, aku memang tidak tahu hukum fiqh mengenai mushaf Al Qur’an. Bapak Ibu yang baik, bisa minta tolong diberitahukan kepada saya mengenai masalah ini? Sekalian dasar hukumnya dari mana, bunyinya bagaimana, pokoke lengkap deh. Maklum, saya sebagai mama biasanya juga ditanya terus sampai komplit.
Matur nuwun.
Jumat, 05 Oktober 2007
SEGERA BANGUN SETELAH JATUH
Malam ini seperti biasa kalau sedang berkumpul, kami (saya, suami, dan semua anak) tumplek blek di tempat satu tidur (hancur hancur tuh tempat tidur, pada nggak sadar kalau sudah kelas berat.....). Anak-anak yang besar membaca buku (dasar semua kutu buku), si kecil cantik yang berumur 9 bulan sedang belajar berdiri, suami rebahan kecapekan pulang kantor, dan saya memperhatikan mereka semua sambil melakukan hal lain. Biasa, ibu-ibu, nggak mau diem. (sebenarnya saya juga capek sekali, tapi rasanya tidak tega memperlihatkan pada mereka). Dan tentu saja, semua sambil memperhatikan tingkah lucu si cantik. Ya, kehadirannya di keluarga ini memang mampu menyerap perhatian seluruh anggota keluarga.
Bayi cantik saya memang sedang mulai belajar berdiri tanpa berpegangan. Beberapa hari yang lalu dia mulai berjalan berkeliling boxnya berpegangan pada pinggiran box. Setiap hari dia melakukan itu tanpa bosan. Kemudian sesekali dia lepas tangannya dari pegangan meski kemudian jatuh.
Tapi hari ini, malam ini, dia tidak mau berpegangan sama sekali. Dia berdiri, bertepuk tangan beberapa saat, lalu jatuh. Langsung berdiri lagi, bertepuk tangan, jatuh. Begitu berulang-ulang, tanpa bosan dia bangun lagi segera setelah jatuh dengan riang dan semangat. Tepuk tangan kami menambah semangatnya mencoba lagi. Ciuman dari mas-masnya bergantian mendarat di pipi montoknya.
Mungkin dulu saat bayi, sebagian besar dari kita melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan bayi saya malam ini. Segera bangun dengan riang (semangat) saat terjatuh. dan orang-orang di sekitarnya selalu memberi semangat dan dukungan untuk bangun kembali. Namun sayang, sebagian besar dari kita sekarang, tidak segera bangun saat jatuh, tetapi meratapi, bahkan sering menyalahkan orang lain atas kejatuhan kita. Dukungan dari orang sekitarpun sulit kita dapatkan.
Tuh kan...............saya belajar lagi dari nara sumber yang hebat, orisinil, jujur, yang selalu ada di dekat saya, gratis pula. Jadi untuk belajar tidak harus pergi jauh dan keluar biaya banyak bukan? Bagaimana kalau kita mulai menerapkan pelajaran yang saya dapat hari ini untuk anak kita yang sudah besar? Iya, kalau mereka gagal jangan dimarahi apalagi disalahkan, tetapi kita beri semangat dan dukungan untuk mencoba lagi, mencoba lagi, dan mencoba lagi. Jangan lupa, juga untuk diri kita dan suami atau istri. Kita bangun dengan semangat, segera setelah jatuh. Dan kita memberi semangat, dukungan pada suami atau istri kita untuk bangun kembali jika dia jatuh. We always love n supporting each other.
Bayi cantik saya memang sedang mulai belajar berdiri tanpa berpegangan. Beberapa hari yang lalu dia mulai berjalan berkeliling boxnya berpegangan pada pinggiran box. Setiap hari dia melakukan itu tanpa bosan. Kemudian sesekali dia lepas tangannya dari pegangan meski kemudian jatuh.
Tapi hari ini, malam ini, dia tidak mau berpegangan sama sekali. Dia berdiri, bertepuk tangan beberapa saat, lalu jatuh. Langsung berdiri lagi, bertepuk tangan, jatuh. Begitu berulang-ulang, tanpa bosan dia bangun lagi segera setelah jatuh dengan riang dan semangat. Tepuk tangan kami menambah semangatnya mencoba lagi. Ciuman dari mas-masnya bergantian mendarat di pipi montoknya.
Mungkin dulu saat bayi, sebagian besar dari kita melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan bayi saya malam ini. Segera bangun dengan riang (semangat) saat terjatuh. dan orang-orang di sekitarnya selalu memberi semangat dan dukungan untuk bangun kembali. Namun sayang, sebagian besar dari kita sekarang, tidak segera bangun saat jatuh, tetapi meratapi, bahkan sering menyalahkan orang lain atas kejatuhan kita. Dukungan dari orang sekitarpun sulit kita dapatkan.
Tuh kan...............saya belajar lagi dari nara sumber yang hebat, orisinil, jujur, yang selalu ada di dekat saya, gratis pula. Jadi untuk belajar tidak harus pergi jauh dan keluar biaya banyak bukan? Bagaimana kalau kita mulai menerapkan pelajaran yang saya dapat hari ini untuk anak kita yang sudah besar? Iya, kalau mereka gagal jangan dimarahi apalagi disalahkan, tetapi kita beri semangat dan dukungan untuk mencoba lagi, mencoba lagi, dan mencoba lagi. Jangan lupa, juga untuk diri kita dan suami atau istri. Kita bangun dengan semangat, segera setelah jatuh. Dan kita memberi semangat, dukungan pada suami atau istri kita untuk bangun kembali jika dia jatuh. We always love n supporting each other.
Rabu, 03 Oktober 2007
ANAKKU SUSAH MAKAN ???
Sering saya mendengar keluh kesah ibu-ibu yang memiliki anak usia balita, bahkan yang lebih besar, mereka susah makan. Yang menyedihkan, ada yang menyalahkan pemberian ASI ekslusif dan ASI selama 2 tahun. Dan lebih menyedihkan lagi, beberapa diantara mereka seorang dokter, atau ustadzah, bahkan dokter yang ustadzah. yang mestinya punya dasar keilmuan yang cukup dan pemahaman Al Qur'an yang baik.
Saya ingin berbagi pengalaman dan keyakinan saya. Dari anak pertama sampai keempat sekarang ini, alhamdulillah cara saya sangat manjur. Anak-anak saya semua ASI ekslusif 6 bulan (bahkan saat itu anjuran ASI eksklusif 4 bulan sebenarnya, tapi saya 6 bulan), dan diteruskan dengan makanan pendamping namun ASI tetap sampai 2 tahun tanpa susu formula (ya, namanya juga makanan pendamping ASI, jadi ASI tetap yang utama). Apa karena saya “beruntung” karena Allah memberi ASI bagus buat saya? Mungkin, but, I don’t think so. Ya, Allah maha adil, tidak pernah membedakan hambanya, apalagi bayi yang belum punya dosa. Semua bayi semestinya Allah siapkan ASI yang cukup. Tinggal bagaimana ibunya menyongsong rejeki buah hatinya ini?
Saya sangat yakin dengan usaha dan persiapan (sunatullah). Sejak sebelum hamil, saya berusaha siap menjadi IBU. Saya pelajari berbagai literatur tentang bayi, ASI, anak, dll. Jangan lupa literatur utama yang harus saya yakini kebenarannya mutlak adalah sumber segala literatur, Al Qur’an. Setuju donk?! Ya, Allah suruh kita menyusukan bayi 2 tahun, jadi kita HARUS YAKIN akan bisa memberi ASI bagus selama 2 tahun. Ingat, “Aku adalah bagaimana prasangka hambaku.” Berprasangka baiklah pada Allah. Jangan pemberian ASI dijadikan tersangka penyebab anak susah makan.
Setelah bayi 6 bulan saya memberi makanan tambahan perlahan-lahan, bertahap, ingat, ini pendamping, jadi jangan harap bayi akan makan 1 piring penuh. Saya buat sendiri, bukan oleh pembantu atau siapapun, saya yakin ini juga berpengaruh pada pemberian makanan pada anak. Bagaimana tehnik memberikan? Nah, ini kuncinya. Ibu, anak pada dasarnya senang suara menarik, gerakan menarik, jadi kenapa tidak kita menyanyi dan menari untuk mereka saat mereka makan? Anda tidak bisa nari atau nyanyi? Siapa bilang anak kita minta perform dari penari profesional atau Indonesian Idol? Mereka butuh ibu mereka. Ya, ibu mereka, bukan pembantu, baby sitter, atau yang lain.
Saya akan menyanyi, menari, bahkan sedikit akrobatik untuk mereka, saat memberi makan (sebenarnya hampir di semua kegiatan). Bahkan kita bisa sambil menyelam minum air. Ya, saya menyanyi dengan syair dan irama saya, kata-katanya sesuai apa yang saya ingin masukkan ke hati dan pikiran mereka. Eeee..... ternyata belajar lagi ya mereka?! Memang Ibu, setiap kegiatan kita dengan anak-anak adalah belajar. Tinggal kita mau anak belajar dengan kita atau pembantu, baby sitter, kita mau anak kita belajar membentak, memaksa, intimidasi dengan menakuti, atau kata indah, manis, cinta, dan santun? Ya, itu warna yang akan membentuk anak.
Alhamdulillah, anak-anak saya mendapat ASI ekslusif 6 bulan, ASI (tanpa susu formula) dan makanan pendamping ASI 2 tahun, makanan sehat dan susu formula setelah 2 tahun sampai sekarang. Semua lancar, meski perlu perjuangan dan pengorbanan.
Bagaimana dengan saya yang wanita bekerja? Kita bahas lain kali ya, ssssttttttt.............................. baby cantik saya mau tidur. Saya harus menyanyi lagi, ada lagu favorit pengantar tidurnya. Tiap anak saya punya lagu favorit yang berbeda. Tapi, penyanyinya sama, saya, MAMAnya.
Saya ingin berbagi pengalaman dan keyakinan saya. Dari anak pertama sampai keempat sekarang ini, alhamdulillah cara saya sangat manjur. Anak-anak saya semua ASI ekslusif 6 bulan (bahkan saat itu anjuran ASI eksklusif 4 bulan sebenarnya, tapi saya 6 bulan), dan diteruskan dengan makanan pendamping namun ASI tetap sampai 2 tahun tanpa susu formula (ya, namanya juga makanan pendamping ASI, jadi ASI tetap yang utama). Apa karena saya “beruntung” karena Allah memberi ASI bagus buat saya? Mungkin, but, I don’t think so. Ya, Allah maha adil, tidak pernah membedakan hambanya, apalagi bayi yang belum punya dosa. Semua bayi semestinya Allah siapkan ASI yang cukup. Tinggal bagaimana ibunya menyongsong rejeki buah hatinya ini?
Saya sangat yakin dengan usaha dan persiapan (sunatullah). Sejak sebelum hamil, saya berusaha siap menjadi IBU. Saya pelajari berbagai literatur tentang bayi, ASI, anak, dll. Jangan lupa literatur utama yang harus saya yakini kebenarannya mutlak adalah sumber segala literatur, Al Qur’an. Setuju donk?! Ya, Allah suruh kita menyusukan bayi 2 tahun, jadi kita HARUS YAKIN akan bisa memberi ASI bagus selama 2 tahun. Ingat, “Aku adalah bagaimana prasangka hambaku.” Berprasangka baiklah pada Allah. Jangan pemberian ASI dijadikan tersangka penyebab anak susah makan.
Setelah bayi 6 bulan saya memberi makanan tambahan perlahan-lahan, bertahap, ingat, ini pendamping, jadi jangan harap bayi akan makan 1 piring penuh. Saya buat sendiri, bukan oleh pembantu atau siapapun, saya yakin ini juga berpengaruh pada pemberian makanan pada anak. Bagaimana tehnik memberikan? Nah, ini kuncinya. Ibu, anak pada dasarnya senang suara menarik, gerakan menarik, jadi kenapa tidak kita menyanyi dan menari untuk mereka saat mereka makan? Anda tidak bisa nari atau nyanyi? Siapa bilang anak kita minta perform dari penari profesional atau Indonesian Idol? Mereka butuh ibu mereka. Ya, ibu mereka, bukan pembantu, baby sitter, atau yang lain.
Saya akan menyanyi, menari, bahkan sedikit akrobatik untuk mereka, saat memberi makan (sebenarnya hampir di semua kegiatan). Bahkan kita bisa sambil menyelam minum air. Ya, saya menyanyi dengan syair dan irama saya, kata-katanya sesuai apa yang saya ingin masukkan ke hati dan pikiran mereka. Eeee..... ternyata belajar lagi ya mereka?! Memang Ibu, setiap kegiatan kita dengan anak-anak adalah belajar. Tinggal kita mau anak belajar dengan kita atau pembantu, baby sitter, kita mau anak kita belajar membentak, memaksa, intimidasi dengan menakuti, atau kata indah, manis, cinta, dan santun? Ya, itu warna yang akan membentuk anak.
Alhamdulillah, anak-anak saya mendapat ASI ekslusif 6 bulan, ASI (tanpa susu formula) dan makanan pendamping ASI 2 tahun, makanan sehat dan susu formula setelah 2 tahun sampai sekarang. Semua lancar, meski perlu perjuangan dan pengorbanan.
Bagaimana dengan saya yang wanita bekerja? Kita bahas lain kali ya, ssssttttttt.............................. baby cantik saya mau tidur. Saya harus menyanyi lagi, ada lagu favorit pengantar tidurnya. Tiap anak saya punya lagu favorit yang berbeda. Tapi, penyanyinya sama, saya, MAMAnya.
Langganan:
Postingan (Atom)