Halaman

Kamis, 03 April 2008

BANK KAUM MISKIN

Belajar dari :
Kisah Muhammad Yunus dan Grameen Bank, dalam
Memerangi Kemiskinan

Oleh : Muhammad Yunus
Peraih Hadiah Nobel Perdamaian 2006
Bersama Alan Jolis

06. Bencana Kelaparan

TAHUN 1974 Bangladesh jatuh ke dalam cengkeraman bencana kelaparan.

Universitas tempat saya mengajar dan menjabat sebagai dekan Fakultas Ekonomi berada di ujung paling tenggara Bangladesh. Awalnya kami tidak terlalu menaruh perhatian pada berita-berita koran mengenai kematian dan kelaparan yang terjadi di desa-desa terpencil wilayah utara. Tetapi kemudian orang-orang sekurus-kering tengkorak mulai bermunculan di stasiun kereta api dan terminal bis ibukota Dhaka. Dengan cepat kedatangan mereka meluap bak air bah. Orang lapar ada di mana-mana. Seringkali mereka duduk begitu diam sampai sulit bagi kita untuk membedakan apakah mereka masih hidup atau sudah mati. Mereka semuanya kelihatan mirip: bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak. Orang tua terlihat seperti anak-anak, dan anak-anak terlihat seperti sudah tua.

Pemerintah membuka dapur-dapur umum darurat. Tapi setiap dapur umum baru langsung kehabisan beras. Wartawan-wartawan surat kabar mencoba mengingatkan masyarakat tentang luasnya bencana kelaparan ini. Lembaga-lembaga riset mengumpulkan statistik tentang sumber dan penyebab migrasi penduduk ke perkotaan. Organisasi-organisa si keagamaan memobilisir kelompok-kelompok warga untuk mengangkati mayat-mayat dari jalanan dan menguburkannya dengan ritual selayaknya. Tetapi segera saja kegiatan sederhana mengumpulkan mayat ini berubah menjadi tugas berat yang membuat kelompok-kelompok ini kewalahan menanganinya.

Orang-orang lapar itu tidak meneriakkan slogan apapun. Mereka tidak menuntut apapun dari kami, penduduk kota yang berkecukupan pangan ini. Mereka hanya terbaring dengan begitu sunyi di pintu-pintu rumah kami dan menunggu mati.

Ada banyak cara untuk mati, tapi bagaimanapun, mati akibat kelaparan adalah yang paling tidak bisa diterima. Kematian yang berjalan dengan lamban. Detik demi detik, jarak antara hidup dan mati menjadi susut dan kian susut, sampai keduanya menjadi begitu rapat dan kita tidak bisa lagi membedakannya. Ibarat tidur, mati akibat kelaparan berlangsung begitu senyap, tanpa bisa dihindari, orang, yang melaluinya pun bahkan tidak bisa merasakannya. Dan semua ini gara-gara tidak adanya sekepal nasi pada saat makan. Di dunia yang berlimpah ini seorang bayi mungil yang belum memahami sengsara dunia dibiarkan menangis dan menangis sampai akhirnya tertidur tanpa susu yang dibutuhkan untuk hidup. Esoknya, bayi mungil itu mungkin tidak memiliki kekuatan untuk melanjutkan hidupnya.

Saya biasa merasakan gelora dalam menguliahi mahasiswa-mahasiswa saya mengenai teori-teori ekonomi elegan yang dianggap bisa mengatasi segala macam persoalan kemasyarakatan. Tetapi di tahun 1974 itu, saya mulai muak dengan apa yang saya ajarkan. Apa hebatnya teori-teori rumit itu manakala orang-orang tengah sekarat kelaparan di trotoar dan emperan seberang ruang kuliah tempat saya mengajar? Kuliah-kuliah saya menjadi seperti film-film Amerika di mana orang baik selalu menang. Tetapi begitu saya keluar dari kenyamanan ruang kelas, saya dihadapkan pada realitas yang berlangsung di jalanan kota. Di sini orang-orang baik dihajar dan terhempas tanpa ampun. Kehidupan sehari-hari semakin memburuk, dan yang miskin jadi bertambah miskin.

Tak sedikit pun teon-teoni ekonomi yang saya ajarkan mencerminkan kehidupan yang tengah berlangsung di sekitar saya. Bagaimana saya bisa terus mengajarkan kisah bohong-bohongan ini ke pada mahasiswa saya atas nama ilmu ekonomi? Saya ingin kabur dari kehidupan akademis. Saya perlu melarikan diri dari teori-teori ini dan buku-buku mengajar saya, dan menemukan kehidupan ekonomi riil dari diri seorang miskin.

Saya beruntung karena letak desa Jobra kebetulan dekat dengan kampus. Tahun 1958, Marsekal Muda Ayub Khan, yang kemudian menjadi Presiden Pakistan, mengambil alih kekuasaan dalam sebuah kudeta militer. Karena takut terhadap pembangkangan mahasiswa, dia memutuskan agar setiap universitas baru dibangun jauh dari pusat kota. Ketakutannya terhadap agitasi politik membuat Chittagong University yang baru, tempat saya mengajar, di bangun di wilayah perbukitan di distrik Chittagong, bersebelahan dengan desa Jobra.

Dekatnya desa Jobra menjadikannya sebuah pilihan sempurna bagi mata kuliah saya yang baru. Saya memutuskan menjadi mahasiswa lagi, dan warga Jobralah yang akan menjadi dosen-dosen saya. Saya bersumpah akan belajar sebanyak mungkin tentang desa. Universitas- universitas yang ada sekarang menciptakan kesenjangan hebat antara mahasiswanya dengan kenyataan hidup sehari-hari di Bangladesh. Alih-alih belajar dari buku seperti yang biasa dilakukan, saya ingin mengajari mahasiswa saya cara memahami kehidupan seorang miskin. Saat Anda menggenggam dunia di tangan Anda dan mengamatinya dari atas laksana burung, Anda cenderung menjadi arogan. Anda tidak menyadari bahwa segala sesuatunya menjadi buram jika dipandang dari jarak yang sangat jauh. Sebaliknya, saya memilih “pandangan mata cacing.” Saya harap bila saya mempelajari kemiskinan dari jarak dekat, saya akan memahaminya dengan lebih tajam.

Perjalanan berulang kali ke pedesaan di sekitar kampus Chittagong University membuahkan temuan-temuan yang penting dalam mendirikan Grameen Bank. Kaum miskin mengajarkan saya ilmu ekonomi yang sepenuhnya baru. Saya mempelajari masalah-masalah yang mereka hadapi dari perspektif mereka sendiri. Saya menjajal banyak hal. Ada yang berjalan, ada yang tidak. Salah satu yang berjalan baik adalah menawari sedikit pinjaman kepada masyarakat untuk membangun usaha mandiri. Pinjaman ini menyediakan titik awal bagi industri rumah tangga dan kegiatan-kegiatan lain untuk meningkatkan pendapatan yang memanfaatkan keterampilan yang sudah dimiliki oleh masyarakat peminjam itu sendiri.

Saya tidak pernah membayangkan bahwa program kredit mikro ini akan menjadi basis bagi “bank untuk kaum miskin” berskala nasional yang melayani 2,5 juta orang. Saya juga tidak pernah membayangkan bahwa program ini akan diadaptasi di lebih dan 100 negara di 5 benua. Saya hanya mencoba menghapus perasaan bersalah saya dan memuaskan hasrat saya untuk bisa bermanfaat bagi beberapa orang yang tengah kelaparan. Tapi ternyata ini tidak berhenti hanya pada beberapa orang. Mereka yang pernah meminjam dan berhasil tidak membiarkan program ini hanya untuk beberapa orang saja. Dan setelah sekian waktu, saya pun juga tidak akan membiarkannya. ..!

[ bersambung ]

Sumber: Seluruh judul Bank Kaun Miskin adalah Posting seorang sahabat dari sebuah milist (Retno Kintoko)

Tidak ada komentar: