Halaman

Jumat, 16 Juli 2010

Encouragement

*Encouragement*
*Thursday, 15 July 2010*
*
*
*LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah
sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. *
*
*
*Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu
telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat,bagus sekali.
Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.
Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya
dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan
itu buruk, logikanya sangat sederhana. *
*
*
*Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah.Rupanya karangan
itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai
buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah
pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai
tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes, ibu
guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?”
“Dari Indonesia,” jawab saya.Dia pun tersenyum.*
*
*
*Budaya Menghukum *
*
*
*Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya.
Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.
“Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap
simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang
anakanaknya dididik di sini,”lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit
memberi nilai.Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum,
melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement!” Dia pun
melanjutkan argumentasinya. *
*
*
*“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbedabeda. Namun untuk anak
sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris,
saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan
berbahasa Inggris yang dibuat anak saya. Dari diskusi itu saya mendapat
pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut
ukuran kita.Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang
bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor. Sementara di
Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman
drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya
pun dapat melewatinya dengan mudah. *
*
*
*Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar
siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya
dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan
jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafikgrafik yang
saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.
Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan
kekurangan penuh keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal
sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah
ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian. *
*
*
*Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan,
penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap
seakanakan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami
frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang
maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan
encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan
rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang
yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara
menekan. *
*
*
*Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana
guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah
anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat,
bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar
secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun,
bukan merusak. Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru
mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan
kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan.
Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam
bentuk verbal. *
*
*
*Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun
rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang
mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah
memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah
telah menunjukkan kemajuan yang berarti.” Malam itu saya mendatangi anak
saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di
tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif. Dia
pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna),tetapi
saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang
berbeda. *
*
*
*Melahirkan Kehebatan *
*
*
*Bisakah kita mencetak orangorang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan
rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh
sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur,
dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru,sundutan rokok, dan
seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas...;
Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas
kertas ujian dan rapor di sekolah. *
*
*
*Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi
lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan
mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata
menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil)
atau sebaliknya,dapat tumbuh.Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau
dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan
demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti
yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar
atau bodoh.*
*
*
*Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.
Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan
ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan
menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti. (*) *
*
*RHENALD KAS
ALI *
*Ketua Program MM UI*






Kalau di bawah ini pengalamanku sendiri. Aku share ya..............siapa tahu bermanfaat.

Aku juga sering (beberapa kali) harus mendatangi guru anak2ku saat mereka kecil karena anakku tidak terima dikasih nilai jelek . Bukan protes sih, hanya mengajak mereka melihat dari sisi pemikiran anak seusia anakku saat itu. Dan hasilnya kurang memuaskan meski bukan berarti mereka guru yang buruk. Mereka baik, hanya mungkin kurang diasah kemampuan mengapresiasi pendapat anak.

1. Saat anak pertamaku TK. Dia memang pandai menggambar & melukis. Gurunya pun selalu memujinya. Nilai menggambar selalu di atas 9 (ck...ck.... padahal ibunya nilai menggambar paling tinggi 6). Suatu hari dia diikutkan lomba menggambar di sekolah. Dia sudah berbunga-bunga berharap menang, karena dia merasa sudah mengeluarkan 'jurus pamungkas' menggambar sesuatu yang 'lain'.
Ternyata.............. eng ing eng............ bahkan juara harapanpun tidak dia terima. Protes berat dia, namun gurunya tetap bertahan dengan penilaian mereka. Pastinyalah anakku mengadukan ketidak puasannya ke aku, mamanya yang selalu memuji gambarnya karena memang mamanya nggak bisa nggambar sebagus dia. Hikcs...........
Usut punya usut, gambar berlianku dinyatakan kalah karena daunnya berwarna hitam, bukan hijau. Makanya meski bagus tetep tidak menang. Tidak bisa dijadikan bahan pendidikan anak lain katanya. Saat aku tanyakan ke anakku, dia bilang; "Emangnya kenapa daun hitam Ma? Aku pernah baca di buku kakek daun warna warni, bunga warna warni, ada yang hitam!" Demikian anakku kesal bukan main. Ya, anakku banyak membaca (termasuk melihat gambar-red) berbagai buku. Memang ada buku yang dia lihat-lihat dengan bunga dan daun warna hitam (aku juga baru lihat aslinya setelah tua ).
Lalu aku jelaskan ke gurunya sambil membawa buku yang ada foto daun hitam, namun mereka tetap bersikukuh dengan pendirian mereka juga. So, aku terpaksa menjelaskan ke anakku yg masih ungil2 itu agar bersabar, mengerti, dan memahami jika orang lain (gurunya juga) bisa punya pendapat berbeda oleh karena pengalaman dan pengetahuan yang berbeda. Orang yang lebih tua, termasuk gurunya belum tentu mempunyai pengetahuan lebih luas, pandangan lebih terbuka dibanding dia. Aku ajak dia berempati karena mungkin saja gurunya tidak lebih banyak membaca dibanding dia. Alhamdulillah berlian gantengku itu memang berlian. Dia bisa mengerti. Dan aku menghadiahkan buku2 pilihan dia sendiri atas kehebatannya, karena dia JUARA bagiku. Hehehe......... buku memang hadiah favoritnya sejak sebelum dia bisa baca hingga sekarang. Ampuuun.......... sekarang bukunya kelas berat, saingan sama papanya kalau baca.

2. Saat anak keduaku kelas 2 SD, di ujian PKN ada soal; Jika temanmu sakit dan dirawat di RS maka kamu akan: a. menengok ke RS. b. ... c. di rumah saja. d. ... (pilihan jawaban lain aku lupa). Dan saudara saudara....... jawaban anakku adalah C. DI RUMAH SAJA. Dari seluruh soal, ada beberapa pertanyaan yang dijawab anakku dengan jawaban yang tidak 'lumrah' sehingga disalahkan.
Hhhh............ dasar dia biasa punya mama yang tidak sembarang menyalahkan, maka dia protes berat karena hanya mendapat nilai 7! Sementara dia merasa benar semua. Alamaaaaak............... niru siapa ini???? Dan bisa dipastikan gurunya tidak mau menerima protesnya karena memang menurut gurunya itu salah.

Hehehe........... lagi-lagi mamanya harus ke sekolah untuk menjelaskan (tentu saja setelah aku menanyakan ke berlian gantengku itu kenapa dia tidak mau disalahkan). Dia bilang; "Mama..... aku yakin sekali kalau semua temanku menjawab a. menengok ke RS. Padahal kan di RS kamarnya kecil. Kalau semuanya ke sana, kan penuh. Nanti temanku tambah sakit karena oksigennya dipakai berebutan. Makanya aku di rumah saja mendo'akan dia biar cepet sembuh. Tidak usah ke RS semuanya. Aku bener kan Maaaa.................. mananya yang salah coba!!!

OMG.......... aku aja terkagum2 dengan pemikiran anak kelas 2 SD ini (wallaaah.......... lha wong anaknya sendiri ya dipuji). Tapi bagaimana aku mau meminta gurunya membenarkan??? Juklak juknis dari diknasnya nggak ada kali ya? Ya sudah deh, kembali aku yang mengapresiasi pendapat cemerlang berlianku ini agar tidak pupus karena merasa tidak dihargai.Untuuung....... mamanya 'kaya' pujian. Obral deh .

Dan masih banyak kisah lainnya yang aku nikmati dengan semua tingkah polah berlian-berlian indahNya yang diamanahkan ke aku yang sering pula membuatku tunggang langgang mengikuti irama mereka yang begitu dinamis. Intinya, jika anak berpendapat, mengeluarkan karya dan kreatifitasnya, kenapa sih harus mencela atau menghakimi kekurangannya jika ada sisi yang bisa dipuji? Kita boleh menyampaikan pendapat kita juga, tetapi pendapat mereka harusnya juga kita dengar dan kita nilai dari sudut pandang pemikiran polos mereka untuk diapresiasi, bukan?

Tidak ada komentar: