*****
“You cannot teach a man anything. You can only help him discover it within himself.” (Galileo Galilei)
Ketika membicarakan tentang pendidikan, sebagian besar fokus kita terletak pada bagaimana proses mengajarkan materi belajar. Di sekolah pada umumnya, kita berbicara dan memfokuskan pembahasan pada guru dan cara mengajar. Pada metode dan program yang cenderung harus menganut suatu pendapat atau paham yang spektakuler atau ngetop. Pada sarana dan prasarana mewah dan hebat. Pada simbol-simbol yang terkadang hanya kamuflase belaka. (itu pendapat kuno donk....)
Sebelum memasukkan anak ke sebuah sekolah, berbagai pendapat disampaikan oleh orangtua dengan nada yang seolah mereka mengerti betul apa dan bagaimana pendidikan yang seharusnya. Bahwa mereka memasukkan anaknya karena alasan-alasan logis dan sangat bijak. Padahal, tidak jarang mereka memasukkan anak ke sebuah sekolah justru dikarenakan alasan-alasan dangkal. Mungkin karena anaknya tidak bisa diterima di sekolah lain, mungkin karena orangtuanya tidak mampu atau tidak mau membayar di sekolah lain yang biayanya lebih mahal, mungkin juga karena berbagai keterbatasan mereka sendiri. Atau bahkan jika hanya dikarenakan sebuah sekolah itu favorit, keren, terkenal, atau karena anaknya mempunyai nilai bagus secara akademis, itu tetaplah alasan dangkal.
Demikian juga dalam melaksanakan homeschooling, atau memilih memasukkan anaknya ke sebuah pengelola lembaga praktisi homeschooling. Para peminat belum tentu melakukannya dengan kesadaran penuh akan homeschooling. Untuk melakukan homeschooling sendiri mereka selalu bertanya bagaimana cara mengajar anak-anak. Mereka khawatir karena tidak bisa mengajarkan materi-materi sulit kepada anak. Karena mereka merasa tidak mempunyai kemampuan dan pendidikan yang cukup. untuk mengajarkan materi pelajaram kepada anak.
Seolah-olah, sentral dari pendidikan adalah mengajar dengan guru/orangtua sebagai pelaksananya. Dan memang begitulah pandangan konvensional tentang pendidikan yang menekankan pada proses transfer pengetahuan dari otoritas eksternal (guru/orangtua) kepada anak-anak.
*****
Orangtua yang menyekolahkan anaknya selalu berharap agar anaknya hebat seperti yang dia mau, lalu menyerahkan segalanya kepada sekolah tersebut. Dia lupa bahwa bagaimanapun juga sebagai orangtua tidak boleh menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak mereka kepada sekolah. Sebenarnya, sekolah hanyalah merupakan bagian kecil dari proses pembentukan anak. Bagian terbesarnya adalah peran orangtua mereka sendiri. Bahkan jika anak disekolahkan di sekolah yang berasrama atau istilah kerennya boarding school, atau ke sekolah yang sangat mahal, orangtua tetaplah tidak boleh dan memang tidak akan bisa menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak pada sekolah.
Belum lagi kondisi bahwa sekolah pada dasarnya hanya menerima anak yang sudah terdidik oleh orangtuanya yang sangat mungkin tidak kondusif, tidak siap untuk belajar. tidak siap untuk bersosialisasi dengan lingkungan barunya.......sekolah. Karena seringkali orangtua tidak memahami bagaimana mendidik anak. Mereka menyikapi pendidikan secara ekstreem: KERAS atau PERMISIVISSM. Orangtua yang keras akan merasa mendidik anak dengan DISIPLIN sementara orangtua yang mengedepankan permissivism merasa sudah menerapkan DEMOKRASI dan memberi kebebasan berekspresi kepada anak. Padahal keduanya bukanlah pola didik dan pola asuh yang benar. Dalam mendidik anak selalu ada pemikiran, analisa, dan berbagai pertimbangan yang bijak dan melihat berbagai aspek yang tidak sederhana untuk menerapkan pola asuh dan pola didik kepada tiap anak. Karena anak unik.
Marilah para orangtua, didik dan asuh anak kita dengan baik. Karena mereka adalah titipan Allah yang menjadi tanggungjawab kita. Kita bisa menitipkan sebagian pendidikan anak kita pada sekolah manapun, namun sekolah hanyalah membantu. Bukan pemeran utama.
*****
Pandangan yang lebih modern justru menekankan bahwa proses pendidikan seharusnya lebih memfokuskan diri pada proses belajar yang dilakukan anak. Anak-anak bukanlah kertas kosong tanpa isi yang bebas dicorat-coret oleh orangtuanya, tetapi seorang individu yang juga memiliki potensi dan kehendak diri. Pendidikan bukan hanya berarti transfer pengetahuan, tetapi di dalam makna sejatinya adalah mengeluarkan potensi anak.
Mengutip tulisan Robert T. Kiyosaki, education dalam bahasa asalnya “educare” bermakna mengeluarkan. Jadi, pendidikan itu sejatinya bermakna mengeluarkan potensi-potensi yang diberikan Tuhan kepada seorang anak.
Dengan mengubah paradigma kita tentang pendidikan dari “mengisi kertas kosong” menjadi mengeluarkan potensi”, kita sebenarnya melakukan sebuah pergeseran penting. Perubahan yang kelihatannya sederhana itu sebenarnya fundamental.
Banyak hal yang akan berubah dari pergeseran itu, antara lain:
* fokus pendidikan bukan guru/orangtua, tetapi anak
* fokus kegiatan bukan mengajar, tetapi belajar
* fokus evaluasi bukan pada penguasaan materi, tetapi pada keluarnya potensi
* anak tak dipaksa menyesuaikan diri dengan kurikulum, tetapi kurikulum seharusnya ditujukan untuk melayani potensi anak. Jangan paksa anak agar memenuhi standart umum yang ditetapkan oleh para orang dewasa. Anak mempunyai potensi masing2.
* yang aktif bukan guru/orangtua, tapi anak
* arah kegiatan bukan top-down, tetapi bottom-up
* fungsi utama guru/orangtua bukan sebagai sumber ilmu, tetapi sebagai fasilitator
* dll
*****
Aku tidak tahu bagaimana gagasan seperti ini berinteraksi di dalam konteks sekolah yang pada saat ini fokus dan model dasarnya adalah “mengajar”. Tetapi dalam konteks homeschooling, pandangan yang seperti ini bukanlah hal yang baru. Pandangan yang seperti ini dan sangat membantu orangtua homeschooler menjalani proses pendidikan di rumah.
Dengan menggeser paradigma tentang pendidikan ini, maka proses homeschooling yang dijalani menjadi lebih mudah dijalankan, tanpa mengorbankan kualitas pendidikan. Beban psikologis tentang ketidakmampuan mengajar materi yang sulit bisa dieliminir karena fokus pendidikan lebih diarahkan untuk mengeluarkan potensi anak dan memfasilitasi anak menjadi pembelajar mandiri.
*****
Memilih sekolah biasa atau homesclooling, orangtua tetaplah harus berperan sebagai pendidik utama dalam mengembangkan potensi anak. Bukan membuat anak dijejali materi. Bukan menuntut pihak lain 'menyulap' anaknya agar menjadi seperti yang diharapkan oleh orangtuanya.
Syukurilah bagaimanapun keadaan anak. Usahakan dengan segenap kemampuan agar potensi anak berkembang optimal. Jangan menyalahkan siapapun jika gagal, karena orangtuanyalah yang paling bertanggungjawab atas anaknya. Bukan orang lain.
*****
Sumber: http://rumahinspirasi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar