Halaman

Selasa, 18 Agustus 2009

Nangis

Nangis adalah nama tengahku. Ha ha ha................ kayak di film2 barat ya? Tapi aku memang gampang nangis. Mungkin aku punya stock airmata yang cukup banyak ya. He he he............ matur nuwun, Gusti.

Entahlah kenapa aku gampang nangis, airmataku mudah tumpah, hatiku gampang tersentuh, bahkan oleh hal-hal yang bagi kebanyakan orang tidak mungkin membuat mereka sampai meneteskan airmata seperti pada diriku.

Film yang mengharukan, kisah yang menyedihkan, bahkan film kartun tentang anak lebah yang selalu mencari mamanya namun nggak pernah bisa ketemu saja, mampu menguras airmataku. Melihat anak kecil yang diperlakukan kurang baik oleh orang dewasa yang seharusnya bertanggungjawab, juga bisa membuatku nangis. Termasuk anak yang mendapat perlakuan permissivism, apa-apa boleh, nggak pernah dilarang, yang sebenarnya perlakuan ini sangat membahayakan perkembangan mental dan spiritual anak-anak tersebut. Ini jauh lebih jahat dibanding didikan keras.

Malahan, menyaksikan anak-anak SMA atau SMP yang mengendarai motor ugal-ugalan di jalan raya juga membuat hatiku teriris. Aku sedih karena bisa jadi mereka tidak mendapat arahan dan bimbingan serta contoh dari orangtuanya serta orang dewasa di sekelilingnya yang seharusnya memberi contoh yang baik. Kasihan sekali mereka menjadi seperti itu. Aku tidak pernah marah terhadap anak-anak yang ugal-ugalan di jalan, aku justru prihatin. Aku marah kepada orang-orang dewasa yang menyebabkan mereka seperti itu. Orangtua, bahkan guru, seringkali tidak memberi contoh dan teladan yang pantas untuk ditiru. Mereka hanya menyuruh anak-anak begini dan begitu, tanpa memberikan keteladanan.

Entah sudah menjadi apa jaman ini. Materialistis merajalela. Anak-anak terabaikan. Gelimang materi sudah menyingkirkan kepedulian orang dewasa terhadap nasib anak-anak. Seolah mengguyur mereka dengan berbagai fasilitas, mainan mahal, sekolah mahal, dan berbagai les bergengsi, namun hanya dalam pengasuhan pembantu, baby sitter, dan sopir sudah lebih dari cukup. Seolah anaknya tidak punya hati. Mereka sudah membuat hati anak-anaknya mengeras dan menghitam, seperti hati mereka sendiri, hati orangtuanya.

Orangtua, baik itu ayah maupun ibunya hanya cukup memberikan "sisa" tenaga, pikiran, hati, dan waktunya buat mereka. Semuanya habis untuk b e k e r j a, yang katanya sih buat anak-anak juga. Tapi............ entahlah! Apakah anak-anak memerlukan karir, uang berlebih, mobil berganti-ganti, atau orangtua yang sibuk bersosialisasi sana sini dengan teman2 kerjanya? Atau............. anak-anak lebih membutuhkan kehadiran, sentuhan, dan cinta tulus orangtuanya dengan materi secukupnya?

Belum lagi, orangtuanya juga sering lebih "sibuk" menyantuni anak yatim, kaum dhu'afa, bahkan mengulurkan tangan mereka untuk menyentuh dan mengelus kepala para yatim. Padahal anak-anak mereka tak tersentuh tangan orangtuanya sendiri, tangan mereka.

Kembali aku menangis jika mengingat anak-anak yang kesepian dalam kemewahan. Semoga mereka tidak tumbuh liar, "kelihatan" baik2 saja, hebat, namun hatinya kosong. Semoga mereka tidak menjadi "the lost generation".

Sedih sekali, aku hanya bisa menangis untuk mereka. Setidaknya aku tidak turut serta mempunyai andil dalam menjerumuskan mereka, merusak hati, pikiran, jiwa, dan mental mereka. Aku menangis kepada Allah, agar mereka masih bisa terselamatkan. Kembali ke fitrah mereka, tujuan penciptaan mereka, beribadah kepadaNya, menjadi khalifah Allah di bumi ini.

1 komentar:

gin mengatakan...

itulah, Teh, ternyata apapun memang cobaan: susah, senang, de-el-el itu sukanya bikin lupa diri.