Aku gak ngerti dengan kondisi pemikiran bangsaku (elite politik utamanya) sekarang ini. Sakjane mereka mikirin negara, mikirin partainya, mikirin golongannya, atau mikirin diri sendiri? Ribuuut aja! Simpang siur berita membuat rakyat (eh....aku sih) tambah gaje, kesanku kok pada kepo gitu. Keknya pada merasa paling bener, paling hebat, paling lurus, lha malah yang menyedihkan kok kesannya ada yang merasa paling suci, maksum, gak mungkin salah apalagi dosa! Gubrag banget deh.......ditambah seolah orang di luar kelompoknya pasti salah, harus ngertiin mereka, tapinya mereka sama sekali gak mau ngertiin orang lain. Dll...
Belum lagi yg sukanya ngebanggain si ini si itu yg notabene bukan orang Indonesia, bukan KITA...Padahal kalo mau lihat sejarah, haeiiii.......bangsa kita, orang kita sendiri hebat2.
Nih aku copas in tulisan temenku yg TOP deh menurutku;
Saya sedih melihat banyak orang Indonesia senang mendasarkan referensi pemikiran, anutan biografi pada orang-orang asing, mereka terasing dari sejarahnya sendiri, mereka terasing dari pemikiran nenek moyangnya sendiri.
Banyak yang lebih bangga mengutip bab-bab pemikiran Machiavelli dalam buku kecilnya Ill Principo, atau Sang Pangeran ketimbang membaca buku kisah Para Negarawan dalam Pararaton, mereka lebih hapal soal raja-raja Arab ketimbang raja bangsa sendiri, mereka lebih paham soal Salahuddin Al Ayubi tapi tak tau siapa Panembahan Senopati, siapa Iskandar Muda, mereka senang menangisi Imam Ali, tapi tak mengerti bagaimana Aryo Penangsang dibunuh atau Syekh Siti Djenar memberikan pelajaran tentang cinta pada Tuhan, mereka menyenangi puisi-puisi Gibran atau tarian Rumi tapi tak pernah mengerti kidung-kidung Sunan Kalijogo, tembang Asmaradhana atau bait gurindam serta olah batin yang diajari orang-orang kita terdahulu.
Mereka suka bicara Che Guevara tapi nggak tau soal Peris Pardede atau cerita soal Yunan Nasution, mereka suka cerita soal Daniel Ortega menyerbu pasukan pemerintah Nikaragua dan membangun gerakan sandinista tapi banyak yang tak tau cerita Mayor Untung diterjunkan ke Irian Barat dan menghantam 8 orang pasukan Inggris dan Belanda sendirian dengan belati, banyak yang hapal soal Jenderal-Jenderal bangsa lain tapi tak paham soal Dading Kalbuadi atau Witono, mereka suka penyerbuan D-Day tapi tak tau aksi gerilya soal Chaerul Saleh yang nenteng senjata di seputaran gunung gede dan ditembaki pasukan Nasution. Mereka bicara soal revolusi Sovjet tapi ketika bicara tatanan resopim dan pantja azimat revolusi dikiranya hanya sekedar jimat, mereka fasih bercerita soal ekonomi terencana Mao atau Rancangan Ekonomi New Deal FDR tapi jarang dari mereka membaca rancangan ekonomi Djuanda dalam Deklarasi Ekonomi 1960, mereka suka membesar-besarkan Ho Chi Minh dan mengecilkan arti Jokowi dan Bung Karno yang telah berkeringat membentuk peradaban bangsanya, setara atau tidak setaranya tokoh bukan ditentukan pada skala tapi ditentukan pada persepsi kecintaan, mencintai tokoh bangsa sendiri daripada bangsa asing adalah awal kita membangun rasa percaya diri sebagai bangsa.
Mereka naif bangga dengan apapun yang dari luar, padahal sejarah banyak mengajarkan pada kita bahwa orang tua kita sudah memberikan ilmu yang luas untuk kita belajar, belajar apa yang terjadi pada bangsa sendiri.
Mungkin hanya Sukarno dan Suharto, Presiden yang tahu soal bagaimana negeri ini bersejarah secara otentik sehingga mereka mengerti apa yang dimaui bangsa ini, apa suasana batin bangsa ini ditangkap dalam kebijakan publik mereka.
Hakikat Jangan Sekali-Kali Melupakan Sejarah atau Djasmerah, bukan soal kembali menyelami arti zeitgeist (semangat jaman) dimasa lalu, tapi juga pertama-tama adalah komplit soal referensi bangsa sendiri. Dan bangunlah dalam hatimu mencintai bangsa ini seperti mencintai tanpa sebab, sebab cinta yang tulus adalah cinta tak terdefinisi, mencintai bangsa ini harus dengan dasar bangga, sekali lagi bangga.
-Anton DH Nugrahanto-.
Belum lagi yg sukanya ngebanggain si ini si itu yg notabene bukan orang Indonesia, bukan KITA...Padahal kalo mau lihat sejarah, haeiiii.......bangsa kita, orang kita sendiri hebat2.
Nih aku copas in tulisan temenku yg TOP deh menurutku;
Saya sedih melihat banyak orang Indonesia senang mendasarkan referensi pemikiran, anutan biografi pada orang-orang asing, mereka terasing dari sejarahnya sendiri, mereka terasing dari pemikiran nenek moyangnya sendiri.
Banyak yang lebih bangga mengutip bab-bab pemikiran Machiavelli dalam buku kecilnya Ill Principo, atau Sang Pangeran ketimbang membaca buku kisah Para Negarawan dalam Pararaton, mereka lebih hapal soal raja-raja Arab ketimbang raja bangsa sendiri, mereka lebih paham soal Salahuddin Al Ayubi tapi tak tau siapa Panembahan Senopati, siapa Iskandar Muda, mereka senang menangisi Imam Ali, tapi tak mengerti bagaimana Aryo Penangsang dibunuh atau Syekh Siti Djenar memberikan pelajaran tentang cinta pada Tuhan, mereka menyenangi puisi-puisi Gibran atau tarian Rumi tapi tak pernah mengerti kidung-kidung Sunan Kalijogo, tembang Asmaradhana atau bait gurindam serta olah batin yang diajari orang-orang kita terdahulu.
Mereka suka bicara Che Guevara tapi nggak tau soal Peris Pardede atau cerita soal Yunan Nasution, mereka suka cerita soal Daniel Ortega menyerbu pasukan pemerintah Nikaragua dan membangun gerakan sandinista tapi banyak yang tak tau cerita Mayor Untung diterjunkan ke Irian Barat dan menghantam 8 orang pasukan Inggris dan Belanda sendirian dengan belati, banyak yang hapal soal Jenderal-Jenderal bangsa lain tapi tak paham soal Dading Kalbuadi atau Witono, mereka suka penyerbuan D-Day tapi tak tau aksi gerilya soal Chaerul Saleh yang nenteng senjata di seputaran gunung gede dan ditembaki pasukan Nasution. Mereka bicara soal revolusi Sovjet tapi ketika bicara tatanan resopim dan pantja azimat revolusi dikiranya hanya sekedar jimat, mereka fasih bercerita soal ekonomi terencana Mao atau Rancangan Ekonomi New Deal FDR tapi jarang dari mereka membaca rancangan ekonomi Djuanda dalam Deklarasi Ekonomi 1960, mereka suka membesar-besarkan Ho Chi Minh dan mengecilkan arti Jokowi dan Bung Karno yang telah berkeringat membentuk peradaban bangsanya, setara atau tidak setaranya tokoh bukan ditentukan pada skala tapi ditentukan pada persepsi kecintaan, mencintai tokoh bangsa sendiri daripada bangsa asing adalah awal kita membangun rasa percaya diri sebagai bangsa.
Mereka naif bangga dengan apapun yang dari luar, padahal sejarah banyak mengajarkan pada kita bahwa orang tua kita sudah memberikan ilmu yang luas untuk kita belajar, belajar apa yang terjadi pada bangsa sendiri.
Mungkin hanya Sukarno dan Suharto, Presiden yang tahu soal bagaimana negeri ini bersejarah secara otentik sehingga mereka mengerti apa yang dimaui bangsa ini, apa suasana batin bangsa ini ditangkap dalam kebijakan publik mereka.
Hakikat Jangan Sekali-Kali Melupakan Sejarah atau Djasmerah, bukan soal kembali menyelami arti zeitgeist (semangat jaman) dimasa lalu, tapi juga pertama-tama adalah komplit soal referensi bangsa sendiri. Dan bangunlah dalam hatimu mencintai bangsa ini seperti mencintai tanpa sebab, sebab cinta yang tulus adalah cinta tak terdefinisi, mencintai bangsa ini harus dengan dasar bangga, sekali lagi bangga.
-Anton DH Nugrahanto-.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar