Halaman

Jumat, 11 September 2009

ZAKAT

Beberapa kawan, relasi, saudara, menanyakan tentang zakat. Lha.......... aku bukan ahli ilmu agama. Paling-paling aku ngerti dikit n diikuti logika berpikir aja. Tapi mereka bilang tanya ke aku justru karena mereka nggak puas dengan penjelasan para ahli agama (walaaah........... jangan gitu donk, nggak enak nih jadinya), juga pelaksanaannya.

"Saya kok kurang sreg dengan pemanfaatan zakat saya. Di masjid dekat rumah, di ustadz, bahkan di lembaga besar yang sudah punya nama. Gimana ya Bu, kalau hati nurani nggak sreg kata Ibu dulu berarti ada yang salah?"

Waduuuuh............ aku jadi bingung deh, kok ujung-ujungnya mengutip statementku yang sebenarnya aku gunakan untukku sendiri???? Bukan buat publik itu, lha aku bukan Superman........ eh salah, aku bukan seorang ahli yang statementnya pantas dipakai oleh publik sebagai rujukan.

Ya sudah, karena mereka bertanya dan mau menerima syaratku bahwa ini hanyalah pendapatku sebagai seorang Dewi, yang bukan siapa-siapa, ya aku jelasin aja. Secara garis besar aku jelasin, eee............. lha kok yang masih mahasiswa malah nyatat dan memintaku pelan penjelasannya! Kata mereka, "Hebaaat Bu, logis sekali dan orisinil pendapatnya." Weee............ jangan dipakai di kampus lho ya, nanti aku repot kalau harus berhadapan dengan para profesor itu. Bukan apa-apa sih, kasihan kan kalau sampai profesornya kalah argue sama aku. Hahaha.......... jangan diambil hati ya, itu cuma numpang narcist aja kok. Pas serieuse. Hehehe....

Menurutku sih, kalau zakat fitrah, sedekah, infaq, dll HARUS diberikan kepada mustahiq dan digunakan untuk konsumtif. Yah.......... silahkan saja dibagi-bagi, dihabiskan, ngak ada masalah. Karena zakat fitrah memang untuk konsumtif, untuk merayakan lebaran, jangan sampai ada yang kekurangan kebutuhan pokoknya saat lebaran. Makanan layak, pakaian pantas, yah.......... jangan ada yang sekedar untuk makan saja tidak ada. Kayaknya sampai di sini sih hampir tidak ada bedanya dengan pendapat semua orang ya, makanya mereka kelihatan bosan dan nggak minat. Mungkin mereka nyesel sudah nanya ke aku. Kirain pendapatnya spektakuler!! Hehehe.............

Nah, kalau zakat maal aku punya pendapat berbeda. Dan begitu aku menjelaskan, semua tekun menyimak, manggut-manggut (entah karena mengerti, setuju, atau ngantuk karena sedang puasa), dan para mahasiswa mulai mengeluarkan jurus-jurus mencatatnya. Nggethu! Wuih......... aku makin bersemangat menjelaskan dan agak sok dosen gitu.

Menurutku, zakat maal bukan untuk konsumtif. So, bukan untuk dibagi-bagikan sampai habis kepada semua yang dianggap mustahiq, dan setiap tahun selalu habis selalu dibagikan kepada semuanya, bahkan setiap tahun bukannya berkurang penerimanya malahan orang yang sudah menerima tahun sebelumnya pun masih selalu datang untuk menangguk "jatah" ditambah penerima baru. Sedih banget kalau aku melihat fenomena ini.

Padahal, semestinya zakat maal bermanfaat untuk menyelamatkan ekonomi umat, bahkan untuk mengembangkannya. So, zakat maal harusnya bersifat produktif, sama sekali bukan konsumtif, dan tujuannya untuk memberdayakan umat secara ekonomi. Dan zakat maal ini bisa mengentaskan ekonomi masyarakat (umat) terutama lingkungan di sekitar para muzaki sendiri. Dan lingkungan ini bisa secara geografis atau komunitas tertentu. Pengelolanya pun seharusnya memahami masalah ekonomi, keuangan, dan karakter umatnya.

Misalnya, zakat maal yang dikelola oleh masjid suatu kalangan perumahan. Maka sudah seharusnya bisa bermanfaat untuk umat di sekitar sana terlebih dahulu. Dan pemanfaatannya juga sesuai kadar "urgent" nya, yang tentu saja ini unik untuk masing-masing kalangan. Misalnya jika yang sedang urgent di sana adalah masalah pengangguran, maka zakat maal bisa digunakan untuk menanggulangi pengangguran. Bisa untuk "pinjaman" modal usaha disertai pendampingan dan bimbingan, bisa untuk membuka usaha yang menyerap para penganggur di sekitarnya, atau untuk mendidik mereka agar lebih berdaya, cukup keahlian dan ilmu sehingga memungkinkan bagi mereka untuk bekerja dan mendapatkan penghasilan yang cukup. Nah, orang yang tahun ini menjadi mustahiq, yang menerima zakat maal, maka diharapkan tahun depan tidak lagi menjadi mustahiq namun sudah menjadi muzaki. Hei........ bukankan dengan begini setiap tahun akan menelorkan muzaki baru? Sehingga bukan mustahil setelah masyarakat tersebut sejahtera secara ekonomi, maka zakat maal mereka bisa dimanfaatkan untuk mengentaskan kemiskinan di wilayah lain terdekatnya. Demikian seterusnya.

Idealnya memang demikian, dikelola oleh masjid setempat dengan profesional. Dan pengelolanya (amil) mempunyai kemampuan dan ilmu yang cukup untuk menanganinya, serta mereka mendapat renumerasi yang cukup pula. Bukan gratis, bukan hanya ucapan terima kasih, karena ini pekerjaan yang membutuhkan keseriusan, keahlian, dan dedikasi yang tinggi. Profesional, bahasa kerennya. Namun, oleh karena seringkali yang mengurus masjid hanya sampingan, atau jika dia full di masjid hanya karena dia tidak mempunyai pekerjaan lain, maka penanganan zakat yang seperti ini tentu saja aulit terwujud.

Jika zakat maal dibentuk dan dikelola oleh suatu komunitas tertentu, misalnya sebuah keluarga besar. Mereka mengumpulkan zakat maal mereka secara kontinyu, diurus oleh profesional yang mengerti masalah keuangan, ekonomi, dan amanah tentu saja, lalu memanfaatkannya untuk anggota keluarga besar tersebut yang membutuhkan (bukan konsumtif). Sama persis caranya dengan jika diurusi masjid, sampai seluruh anggota keluarga besar tersebut terentaskan dari kemiskinan, yang mustahiq sudah menjadi muzaki, maka kemudian pemanfaatan zakatnya bisa meluas ke sekitarnya.

Hhhhhhhh................... rasanya jika ini diterapkan, multiplier efffectnya akan sangat besar. Tidak akan terlalu lama membuat umat Islam sejahtera. Karena fungsi zakat sebagai penopang ekonomi umat benar-benar terwujud, zakat akan mendidik umatnya untuk semakin berdaya secara ekonomi, umat penerima zakat akan mempunyai kebanggaan, harga diri, karena mereka bukan peminta-minta yang tiap tahun datang menadahkan tangan, dan bukan hanya menjadi ajang pembagian "jatah" tahunan yang habis tak berbekas karena digunakan untuk konsumsi belaka.

Dan juga bukan zakat dipull di lembaga yang terlalu jauh dari masyarakat muzaki, kemudian pemanfaatannya pun tidak langsung mengena bagi masyarakat sekitar muzaki. Misalnya aku (dulu sering sih) berikan, amanahkan zakat maalku ke **** sebuah lembaga pengelola zakat. Trus zakat itu digunakan untk mengentaskan kemiskinan di Papua atau manalah yang aku sendiri nggak kenal. Nggak papa sih, tapi akan aneh kalau sebenarnya di sekitarku sendiri , komunitasku sendiri, temanku, saudaraku sendiri, butuh penanganan masalah ekonomi umat. Iya to? Bener to? Manteb to? He he he...........

Terlalu serius?? Kok sudah mulai ada yang tidur? Hehehe............ rupanya dia sejak sahur belum tidur, biarin aja deh. Semoga mimpinya tentang zakat, dan saat bangun dia sudah bisa menerapkan zakat yang benar. Eee................ yang mahasiswa minta ijin memakai catatannya jika suatu saat dia butuhkan. Hallaah.............. asal jangan aku disuruh berdebat dengan profesornya aja deh. He he he................... kalah status! Maksudnya siapa nih yang kalah???

Peace ah! Selamat berpuasa, selamat berzakat, tapi please............... jangan terus aku yang disuruh menangani zakat kalian ya. Kecuali kalian ikut membentuk, merekrut, mendidik, mengawasi, dan mensupervisi para pengelolanya.

Luv u full.......................

2 komentar:

gin mengatakan...

wilujeng idul fitri, teh (untuk nanti di hari H-nya)

Unknown mengatakan...

sama2, selamat Idul Fitri juga. Semoga berkah.