Halaman

Senin, 17 September 2007

Tanggapan "Padamu Negri" MetroTV

Acara Padamu Negri MetroTV Kamis, 7 Juni 2007 tentang kekerasan dalam rumah tangga. Dalam pooling ditanya apakah wanita lebih baik bekerja atau tidak, hampir semua setuju bahwa wanita itu berhak untuk bekerja dan lebih baik bekerja dengan berbagai alasan. Yang cukup menggelitik saya adalah alasan seorang ibu bahwa "wanita sudah capek-capek sekolah tinggi kok tidak bekerja!!".

Aku merasa prihatin sekali. Temanya seperti itu, tetapi sepertinya semua lupa!!! Bahwa di dalam rumah tangga tidak hanya ada suami dan istri, tetapi ada anak-anak yang juga punya hak. Anak-anak yang sebenarnya tidak pernah ikut merencanakan terbentuknya rumah tangga tersebut dan tidak minta untuk menjadi bagian dari rumah tangga tersebut. Yang keberadaan mereka dalam rumah tangga tersebut sebagian besar karena diharapkan oleh orang tuanya (suami dan istri) baik dengan do'a maupun usaha lain. Anak-anak yang berhak untuk tidak mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga baik fisik maupun mental. Anak-anak yang berhak mendapat ASI, asuhan ayah dan ibu yang berpendidikan tinggi dan mendidik mereka dengan penuh kasih dan ikhlas. Bukan oleh pembantu maupun baby sitter yang kadang tidak mereka kenal, berpendidikan rendah, bahkan mungkin sekali melakukannya tidak dengan kasih tetapi hanya karena dibayar.

Apakah itu bukan mengambil hak anak?

Aku pribadi setuju bahwa bekerja adalah salah satu hak istri. Namun, TIDAK BEKERJA adalah juga hak istri. Jadi apabila seorang istri memutuskan untuk tidak bekerja karena alasan yang benar, maka dia berhak untuk tidak bekerja. Dan dia berhak untuk tetap dihargai, dihormati, diakui keberadaannya di dalam rumah tangga tersebut meskipun tidak ada kontribusi berupa pemasukan uang atau materi.

Coba saja dihitung berapa saving yang berhasil dilakukan jika seorang istri memutuskan tidak bekerja namun dengan profesional merawat anak, suami, rumah. Belum lagi mendidik anak yang memerlukan seribu satu keahlian. Bagaimana jika dibandingkan dengan apabila kita meng ”hired” tenaga profesional dengan pendidikan yang cukup (paling tidak selevel istri) untuk semua tugas tersebut yang sudah pasti tidak mungkin bisa ditangani 1 orang.

Aku sangat tidak setuju pendapat “sudah capek-capek sekolah tinggi kok tidak bekerja”. Karena apabila seorang istri memutuskan untuk tidak bekerja karena ingin konsentrasi dengan profesi “menyiapkan generasi” maka justru sangat diperlukan kepandaian dan keahlian yang lebih kompleks dan tinggi. Orang yang berpendapat “sudah capek-capek sekolah tinggi kok tidak bekerja”, berarti, kalaupun dia tidak bekerja dikarenakan keterpaksaan. Mungkin di PHK, tidak ada yang mau mempekerjakan dia, permintaan suami, dsb.

Maka memang lebih baik istri seperti ini bekerja keluar rumah saja. Jauh-jauh deh dari mendidik anaknya. Kasihan anak yang diasuh dan dididik oleh ibu yang melakukannya karena keterpaksaan.

Dalam dunia wanita karir, sekolah kembali biasanya untuk mencari gelar agar menunjang kenaikan karirnya, yang berujung pada kenaikan pendapatan. Tetapi sebagai ibu, sekolah kembali agar lebih pintar, wawasan lebih luas, lebih bijak karena memiliki dasar keilmuan yang lebih baik, dan tujuan lain yang biasanya jauh lebih berdasar.

Anak-anak tidak pernah peduli dengan titel ibunya, namun mereka peduli dengan bagaimana ibu memberi sentuhan, jawaban atas pertanyaan kritis mereka, bagaimana ibu bisa piawai mengemas masalah yang sebenarnya sangat kompleks menjadi sederhana dan masuk akal bagi otak cerdas mereka namun kemampuan verbal yang masih anak-anak. Apakah itu cukup dari ibu yang tidak terdidik? Dari ibu yang terpaksa? Atau cukup dari pembantu dan baby sitter? I don't think so!!

Mengenai ijin suami, aku sih setuju tidak perlu ijin suami untuk bekerja atau tidak. Yang diperlukan adalah kompromi, diskusi sehat, pembicaraan mesra, mengenai segala keputusan termasuk keputusan apakah seorang istri bekerja atau tidak. Karena suami istri dalam rumah tangga adalah partner, bukan ketua dan wakil, atasan dan bawahan, bos dan pegawai. Menafkahi keluarga, mengurus dan mendidik anak, dll masalah dalam rumah tangga adalah kewajiban bersama suami dan istri. Bagaimana semua itu agar bisa berjalan selaras adalah terserah masing-masing rumah tangga menyikapinya. Tidak ada pakem yang kaku untuk pembagian peran, tugas, atau tanggung jawab untuk itu.

Yang jelas, jangan karena egoisme suami dan istri, anak-anak menjadi korban. Ingatlah bahwa keberadaan mereka dalam rumah tangga bukanlah kehendak dan pilihan mereka. Mereka adalah generasi penerus yang harus kita siapkan. Jangan kita sibuk dengan urusan kita, sibuk dengan eksistensi diri kita, sibuk dengan alasan mencari uang untuk mereka, dll. Yang mereka perlukan bukan hanya materi, bukan hanya sisa waktu, tenaga, dan pikiran kita, akan tetapi justru waktu, pikiran, dan tenaga kita yang paling prima yang mereka perlukan.

Bagaimana solusinya? Terserah masing-masing rumah tangga. Namun, menurutku kondisi seperti yang ada sekarang sangat diperlukan introspeksi diri semua suami dan semua istri untuk melihat diri masing-masing dengan mata hatinya sendiri. Apakah mereka sudah menjadi suami, istri, maupun orang tua yang baik dan benar?

Tidak perlu menyalahkan orang lain ataupun masyarakat dan pemerintah apalagi pemimpin. Karena pemimpin yang baik akan ada jika masyarakat yang memilih sudah baik. Masyarakat akan baik jika tiap keluarga sudah baik. Keluarga akan baik jika tiap anggota keluarga baik. Semua itu akan bersumber pada suami dan istri yang baik sebagai "penggagas" terbentuknya rumah tangga tersebut.

Setuju donk................

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Law of motivation
“To motivate is to inspire and to inspire is to motivate.
They are twins” [Harry uncommon]


2 Langkah praktis mendidik anak:

1. Yakini, bahwa tetap kuat dan tegar itu kualitas anak manusia yang unggul. Mari gembleng jiwa dan nurani anak dengan tantangan dan perjuangan yang keras bukan yang lembek-lembek, jangan suka dimanja oleh lingkungan atau memanjakan anak. Hentikan bermanja ria yang tidak mendidik. Mulailah dengan motivasi yang benar untuk masa depan anak "berlian".
2. Yakini, akar keberhasilan adalah perjuangan mati dan hidup kita sendiri, bukan warisan orang tua kita. Orang tua kaya tidak menjamin sama sekali anak sukses. Jika anak ingin sukses seperti orang tuanya, harus berjuang sendiri, memotivasi diri sendiri dan menginspirasi diri sendiri. Tidak baik bergantung kepada orang lain.

Seorang ibu harus memilih yang terbaik bagi keluarganya..Amin

harry uncommon

Unknown mengatakan...

Law of motivation
“To motivate is to inspire and to inspire is to motivate.
They are twins” [Harry uncommon]


2 Langkah praktis mendidika anak:

1. Yakini, bahwa tetap kuat dan tegar itu kualitas anak manusia yang unggul. Mari gembleng jiwa dan nurani anak dengan tantangan dan perjuangan yang keras bukan yang lembek-lembek, jangan suka dimanja oleh lingkungan atau memanjakan anak. Hentikan bermanja ria karena lingkungan yang nyaman dan enak. Mulailah dengan motivasi yang benar.
2. Yakini, akar keberhasilan adalah perjuangan mati dan hidup kita sendiri, bukan warisan orang tua kita. Orang tua kaya tidak menjamin sama sekali anak sukses. Jika anak ingin sukses seperti orang tuanya, harus berjuang sendiri, memotivasi diri sendiri dan menginspirasi diri sendiri. Tidak baik bergantung kepada orang lain.

IBU HARUS MEMILIH YANG TERBAIK UNTUK KELUARGANYA..JUGA KAUM BAPAK lho....hmmm..

harry uncommon